Titik Nol 84: Ajmer Sharif
Sebelas kilometer dari Pushkar yang menjadi kota sucinya umat Hindu, Ajmer Sharif adalah salah satu kota paling suci bagi umat Muslim India. Di sini, guru Sufi Chishsti bersemayam dan raja-raja Afghan menghancurkan patung-patung berhala Jain.
India, walaupun namanya Hindustan dan mayoritas penduduknya beragama Hindu, bukanlah negara Hindu. Di sini, beragam agama dan kepercayaan kuno terlahirkan, jauh sebelum datangnya Kristen dan Islam. Jain, agama asli India sudah ada sejak beratus tahun sebelum Masehi, masih hidup hingga hari ini, dengan sisa-sisa kebesaran masa lalunya.
Kuil Merah Nasiyan di kota Ajmer membuat saya ternganga.
“Seumur hidupmu, engkau tak akan pernah melihat tempat seindah ini,” kata bapak tua penjual karcis.
Ia benar. Saya tak pernah begitu terpesona melihat sebuah kuil seperti saat ini.
Ruang utama Nasiyan disebut Swarna Mandir, Kuil Emas, karena segala sesuatu yang berkilau di sini adalah … emas. Sebuah negeri dongeng, penafsiran dunia dalam mitologi Jain, kota kuno Ayodhya dan Prayoga, terukir dari seribu kilogram emas murni setinggi bangunan dua lantai. Negeri antah berantah ini dijuluki Swarna Nagari – Negeri Emas.
Ada istana berkubah besar dengan raja dan hulubalangnya. Ada pandita Jain sekte Digambar yang tak berpakaian sama sekali. Ada para penari wanita dengan rok besar mengembang, memberikan persembahan pada sang ningrat. Ada kota besar dan ramai oleh hiruk pikuk segala jenis manusia. Ada tentara yang berbaris. Juga perahu terbang dengan nahkodanya, mengelilingi angkasa di sekeliling menara zigurat raksasa.
Emas, emas, dan hanya emas. Dunia Jain ini terpahat begitu megah, detail, estetis, menggiring ke alam fantasi dan membangkitkan semua daya imajinasi. Selain pahatan emas, ada pula lukisan, ukiran kayu, menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dalam mitologi Jain.
Saya tak tahu banyak tentang Jain kecuali Mahavira, seorang tirthankar atau nabi sekte Digambar yang selalu bertelanjang bulat. Biksu Digambar beranggapan bahwa pakaian juga barang duniawi, dan moksa akan tercapai salah satunya kalau kita sudah melepaskan segala macam keterikatan. Kuil Nasiyan ini dibangun untuk menghormati tirthankar pertama agama Jain, sang guru pendiri, Risabha.
Kuil ini dibangun oleh seorang pengusaha Jain pada akhir abad ke-19. Saudagar Jain terkenal sangat kaya dan tak segan-segan menghabiskan uang banyak untuk membangun kuil-kuil agama ini dengan luar biasa megah, penuh dengan ukiran, curahan segala citarasa seni. Setiap detail dunia penuh fantasi terukir sempurna. Seperti yang dikatakan oleh penjual karcis, Anda tak akan pernah melihat tempat seindah ini di dunia.
Tak jauh dari Kuil Jain, ada tempat ziarah Muslim. Ajmer adalah kota suci bagi berbagai agama di India. Di sini, tak masalah orang suci itu adalah Muslim, Hindu, Sufi, Jain, Budha, Sikh, atau bahkan Kristen, semuanya dihormati oleh segala umat sebagai guru yang mencapai pencerahan.
Salah satunya adalah guru Sufi Kwaja Moinuddin Chishti dari tanah Afghan, yang mendirikan tarekah Chishtiya di seluruh India. Ketika sang guru datang, komunitas Muslim di India belum sebesar sekarang. Ia punya andil besar dalam menyebarkan ajaran Islam di anak benua. Sang guru berdiam di Ajmer dan wafat di kota ini. Tempat peristirahatannya, disebut dargah atau ziyarat, menjadi tujuan berziarah di hari raya Urs – peringatan kematian sang Guru – bukan hanya umat Muslim tetapi juga Hindu dan Sikh.
Di depan pintu gerbang makam keramat, lautan manusia mengalir perlahan. Kartik Purnima bukan hanya hari besar bagi umat Hindu, tetapi juga waktu berziarat ke makam guru-guru Sufi. Karena dargah Chishti begitu suci, semua yang masuk harus menutup kepala. Di depan gerbang, di daerah Pasar Dargah, banyak sekali bocah jalanan yang menjual kain penutup kepala untuk para peziarah yang tak bertopi.
Saya dan Lam Li bersama mengunjungi tempat suci ini. Kami terseret lautan manusia yang hanya bisa maju. Saya merasakan kekuatan dorongan spiritual yang begitu menghanyutkan. Lantunan doa-doa Islami mengalun merdu. Para pria berjubah menunaikan salat berjamaah. Kaum wanita berjilbab dan berburqa duduk di bangunan suci tempat makam sang guru bersemayam.
Sufi adalah aliran yang mengombinasikan Islam dengan kultur lokal dan mistisme. Di pekarangan Dargah ada sebuah sumur besar. Orang-orang melemparkan koin ke dalam sumur itu, mengharapkan keberuntungan. Kegiatan mencari keberuntungan di makam-makam orang suci adalah salah satu karakter Sufisme di India, yang sebenarnya tidak ada dalam Islam.
Adhai Din ke Jhonpra, Pondok Dua Setengah Hari, terletak tak jauh dari dargah.. Tempat ini pun dibanjiri umat Muslim, kebanyakan berasal dari negara bagian tetangga Gujarat. Mengingat kedekatan sejarah Islam di Indonesia dengan tanah Gujarat di India, saya merasa seperti bertemu saudara lama. Orang-orang Gujarat ini begitu ramah. Mereka sendiri datang berziarah, dalam rombongan besar, tetapi masih menyempatkan berbagi teh dan mengajak bermain bulu tangkis dengan bet pingpong.
Pondok Dua Setengah Hari memang sudah tinggal reruntuhan, tetapi peziarah masih mendirikan salat di tempat ini. Pilar-pilar kayu berukir, menjulang tinggi, berbaris rapi. Dari puluhan pilar di sini, tak satu pun yang ukirannya sama. Keindahan dan kedalaman hiasan pada setiap pilar menunjukkan betapa tingginya kesempurnaan arsitektur India sejak masa silam.
Dua setengah hari, nama ini pun mengandung misteri. Sebagian orang percaya, masjid ini dinamai demikian karena dibangun hanya dalam waktu dua setengah hari. Raja dari tanah Afghan, Mohammad Gauri, menyerbu Rajasthan. Kala itu, di sini hanya ada kaum Rajput pemeluk Jain dan umat Hindu. Sang raja Afghan kemudian menghancurkan kuil Jain yang berdiri megah di tempat ini, menggantikannya dengan masjid coklat yang indah. Adhai Din, mungkin juga berasal dari perayaan rutin di sekitar Ajmer yang diselenggarakan dalam waktu dua setengah hari.
Saya hanya terpesona oleh keagungan agama-agama kuno yang bersinar di kota Ajmer Sharif, Ajmer Yang Agung.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 November 2008
Agustin mengingatkan saya pd Al Buldan karya al Ya’kubi .