Suki 18 September 2014: Kematian Sebuah Budaya
Peringatan kemerdekaan Papua Nugini dirayakan sebagai libur tiga hari hingga dua minggu di seluruh negeri. Di Suki, daerah pedalaman terpencil dan malas di pedalaman Western Province ini, sepertinya setiap hari sudah sama dengan hari libur. Hari Kemerdekaan hanyalah pembenaran bagi ratusan orang untuk bersenang-senang dan bermain bersama di lapangan selama berminggu-minggu, secara resmi.
Perayaan kemerdekaan dibuka tiap pagi pukul 9 pagi dan ditutup pukul 5 sore, dengan bendera nasional dikibarkan di tiang bambu. Di antara rentang itu adalah waktu bagi para ratusan penduduk menggelar perlombaan rugbi, voli, dan basket. Musik yang dimainkan kencang berdentum-dentum juga adalah lagu disko. Saya jadi bertanya, apakah makna hari kemerdekaan ini jika semua yang dirayakan adalah budaya luar negeri?
Mengiringi musik yang membahana, ibu-ibu menari di lapangan. Beberapa dari mereka membuka baju, payudara hanya ditutup beha. Mereka bergerak seperti kesurupan, memantul-mantulkan pantat dan menendang-nendang seperti gorila, lebih menyeramkan daripada indah. Melihat saya mengambil gambar, seorang ibu mendekat dengan wajah beringas, seperti hendak mencium wajah saya dan menempelkan payudaranya ke dada saya. Saya berusaha menghindar sampai terjatuh. Meledaklah tawa ratusan perempuan yang menonton.
Kepada Justin Tutamasi si kepala desa, saya bertanya kenapa tidak ada acara tradisional di perayaan hari kemerdekaan ini.
“Ini salah pemerintah,” katanya, “Mereka tidak serius dengan kami. Masa tahun ini desa kami hanya diberi uang 500 kina buat main. Pantas saja, orang-orang malas keluar rumah.”
Tetapi pertanyaan saya itu justru membuat Joseph Miria, mantan kepala desa yang kini ketua komite acara, tercenung. “Besok, kamu datang lagi ke lapangan ini,” katanya, “Saya jamin pasti ada acara tradisional yang kamu mau.”
Keesokannya, saya datang lagi ke lapangan. Masih para ibu dan pemuda dengan permainan-permainan yang lagi-lagi sama: basket, rugbi, voli. Juga musik disko.
Joseph si ketua acara mengatakan, semula hari ini memang rencananya mau ada tarian tradisional, tapi genderang kundu (di Indonesia disebut tifa) milik penari itu rusak, sedangkan di desa mereka sudah tidak ada lagi genderang tradisional yang masih berfungsi. Tapi dia masih berusaha meyakinkan saya, “Kamu datang lagi besok. Besok saya jamin pasti ada. Pasti ada.”
Apakah orang-orang sini sudah tidak berminat lagi pada tradisi mereka?
“Tahun kemarin kami main perahu dayung,” jelas Justin si kepala desa, “Tapi kami juga butuh variasi. Rugbi dan voli memang sedang populer. Lagi pula, kami khawatir dengan patroli tentara Papua Nugini di sini. Sekarang kriminal diperlakukan sangat buruk.”
“Apa hubungannya acara tradisional dengan kriminal?” tanya saya.
Dua bulan lalu, katanya, terjadi pemerkosaan di desa ini yang dilakukan oleh dua pemuda dari desa Seki terhadap murid perempuan kelas 7. Tiba-tiba datanglah tentara, menggiring para pelaku itu ke Morehead. Bukannya diserahkan kepada polisi, pelaku itu malah dipukuli dan disiksa oleh tentara. Sekarang warga desa jadi takut menggelar acara tradisional, takut ditangkap tentara.
Mereka kini bahkan telah menyamakan antara tradisi dengan tindakan kriminal.
Rasa malu dan hina terhadap budaya sendiri itu tentunya diawali dengan ide bahwa budaya nenek moyang mereka itu primitif. Ide ini dibawa oleh orang kulit putih, dan kini mereka telah mengimaninya. Gereja (khususnya dari sejumlah aliran Kristen Protestan) di sini melarang umatnya untuk menyanyikan lagu-lagu dan tarian tradisional—karena diidentikkan dengan pemujaan roh. Banyak gereja yang juga melarang umatnya memakai pakaian tradisional—karena pakaian leluhur mereka banyak memperlihatkan tubuh dan mereka menyebut ketelanjangan itu sebagai dosa, sumber malapetaka. Itu sebabnya, semakin mereka mengenal agama dan peradaban global, budaya leluhur pun semakin memudar dan mati.
Justru kini orang asinglah yang berdatangan ke Papua Nugini, untuk mendokumentasikan tradisi-tradisi yang sebentar lagi hilang ini. Di pedalaman Papua Nugini, saya menemukan para linguis asing—kebanyakan dikirim oleh universitas di Australia—yang bertugas untuk mendokumentasikan bahasa lokal, membuat kamus, dan mempelajari budaya mereka.
Di Suki, saya berjumpa dengan gadis Belanda, Charlotte van Tongeren, yang sudah tinggal satu tahun dan sudah mengadopsi budaya lokal. Charlotte bepergian ke mana-mana dengan naik kano dan mendayung sendiri dengan berdiri (butuh latihan keseimbangan khusus), juga ikut berburu rusa ke hutan dan berburu buaya ke sungai. Charlotte datang ke sini dengan kemampuan bahasa Suki nol sama sekali, tetapi kini dia justru bicara bahasa Suki jauh lebih murni daripada penduduk setempat yang sering mencampuri bahasa mereka dengan kosakata Inggris.
Di hari ketiga, acara di lapangan Suki ini masih tetap sama. Rugbi. Basket. Voli.
Barulah ketika sore hari, terdengar tetabuhan genderang kundu. Dua lelaki dengan dada yang berbalut lumpur, ditutupi rerumputan dan daun-daun hijau seperti semak belukar, ditambah bulu-bulu kasuari di kepala, meloncat-loncat dengan menabuh genderang kundu. Mereka ditemani lima perempuan yang membungkus diri dengan daun kelapa dan rok dari daun kering. Semua busana tradisional mereka diambil langsung dari alam, nyaris tanpa diolah, kecuali para perempuan itu yang mengenakan kaos dan beha dan rok dari kain yang diimpor dari luar negeri untuk menutup kulit mereka.
Tarian mereka didominasi loncatan dan mengayun-ayunkan daun. Mereka berasal dari desa Aramba—yang saya tidak tahu pasti di mana tetapi seharusnya tidak terlalu jauh dari sini. Penduduk warga Suki berkerumun di lapangan. Mereka menonton sambil tertawa terbahak-bahak, seolah ini adalah sajian yang lucu buat mereka.
Sehabis tarian, Joseph berteriak marah dengan megafonnya di tengah lapangan. “Kalau ada orang menari, kalian harus hormati!” serunya, “Kalian sudah melupakan budaya kalian sendiri. Kalian sudah tersesat dan kalian tidak akan ke mana-mana! Dulu nenek moyang kita punya budaya yang tinggi, mereka bisa membuat kano, sekarang kita sudah tidak tahu caranya lagi. Memang tarian dari Aramba ini berbeda dengan tarian kita, tapi kalian tidak usah menertawakannya. Kalian harusnya malu, kalian sudah lupa tarian kalian sendiri.”
Penonton terdiam. Joseph masih terus berceramah berapi-api. “Justru orang kulit putih yang tertarik dengan budaya kita! Sekarang di sini ada dua orang putih”—dia menyebut saya dan Charlotte—“Mereka bilang pada saya mereka tidak mau menonton voli dan rugbi. Ini justru kesempatan kita mempromosikan budaya kita sendiri supaya dikenal dunia, dan turis-turis akan datang ke sini. Masa tujuh hari peringatan Hari Kemerdekaan kita hanya memainkan olahraga orang Barat? Aku beritahu kalian, kalian sudah jauh dari budaya kalian sendiri!”
Tetapi apakah itu alasan untuk mempertahankan budaya? Hanya supaya ditonton orang asing? Justru itu akan menghasilkan budaya yang berupa wujud tanpa jiwa, atraksi eksotis tanpa makna, dan hanya menjadi eksploitasi.
Tengoklah bagaimana orang Indonesia dan turis asing menggambarkan tanah Papua, yang tidak pernah jauh dari budaya tribal eksotis, orang-orang telanjang, keprimitifan. Itulah yang kemudian menjadi komoditas dalam promosi pariwisata di Papua. Suku-suku adat pun sudah tahu nilai jual mereka, yang meminta bayaran pada turis yang memotret mereka dalam pakaian tradisional. Semua ini sebenarnya adalah menjual budaya leluhur demi memuaskan nafsu orang asing yang haus akan keeksotisan. Pelacuran budaya, tidak lebih!
Di Papua Nugini, atraksi wisata budaya yang paling terkenal bagi turis internasional adalah Mt Hagen Festival yang setiap tahun digelar di kawasan Highland di bagian tengah negeri ini. Turis membayar tiket sebesar 300 kina (A$ 150, atau Rp 1.500.000) per orang, lalu masuk ke dalam sebuah lapangan yang dikelilingi pagar. Di dalam lapangan, turis seperti masuk ke mesin waktu terlempar ke masa lalu—suku-suku pedalaman Papua Nugini dengan pakaian tradisional tribal aneka warna dan nyaris telanjang, yang sudah tidak kita saksikan lagi dalam kehidupan sehari-hari di negara ini. Sedangkan penduduk setempat tidak boleh masuk ke dalam lapangan ini, kecuali mereka membayar tiket atau memakai pakaian seperti itu. Ini bukan festival budaya. Ini kebun binatang manusia.
Joseph rupanya salah mengartikan pertanyaan saya tentang budaya tradisional. Bagi saya, semua budaya pasti berubah, dan kita tidak mungkin mengharapkan sebuah bangsa untuk hidup seperti cara nenek moyang mereka ratusan tahun lalu. Tetapi setidaknya, perubahan budaya itu harus muncul dari dalam diri orang-orang itu sendiri, berlangsung secara natural. Dan itu bukan karena pengaruh luar yang membuat mereka malu terhadap leluhur sendiri. Karena mereka yang menghina budaya leluhurnya sesungguhnya sedang menghina diri sendiri.
Para penari dari Aramba itu meninggalkan lapangan. Berikutnya, muncul seorang lelaki botak dengan tubuh telanjangnya dan kepala yang dilumuri cat putih. Dia memakai koteka, terbuat dari tanduk binatang. Tetapi dia tidak telanjang bulat. Dia memakai celana dalam bermotif bunga-bunga. Koteka tanduk hewan itu dia pakai di luar celana dalam itu. Sedangkan di belakang celana, dia memasang “ekor” yang berupa keresek merah muda. Seperti orang tolol dia menari-nari di lapangan: menggaruk-garuk kepala dan ketiak sambil loncat-loncat seperti kingkong, memegang koteka seperti memegang penis, lalu menggesek-geseknya seperti bermasturbasi.
Pecahlah tawa ratusan warga yang menonton. Mereka tergelak-gelak tanpa henti. Ini adalah pertunjukan paling meriah hari ini.
Bersama dengan gelak tawa itu, saya menangis dalam hati.
Membuat sy mensyukuri keberadaan sy sebagai orang dayak dimn tradisi dan budaya msh mnjadi roh dan jiwa..tp d satu sisi km tidak menolak modernitas, justru mnjadi alat utk mengaktualisasi diri, tp memang ada yg melacurkn budaya dm duit..
kalo PNG bisa mempromosikan budayanya kayaknya banyak turis dr indo yg tertarik. liat Singapur ama malaysia setiap tahun ada turis dr indo masing2 2 juta orang. kalo PNG bs menarik 1 juta turis dr indo saya kira bs mensejahterakan penduduknya
Sampurasun. Suksme tulisannya. Inspiratif. Ya, jebakan modernisasi luar biasa daya rusaknya. Dan pada titik tertentu nanti, saya yakin, mereka yang secara sistemastis menghancurkan tradisi, akan menanggung akibatnya. Soalnya sekarang ialah, sejauh mana kita mampu menjaga semangat dan bersiasat menghadapi aksi sang penghancur dengan segala teknik kejinya. Bung Agustinus dengan caranya sudah bergarak lincah. Mari, mari, kita semua yang masih merindukan kemerdakaan lahir dan batin, lebih kreatif dan punya daya tahan kesabaran tinggi. Pun.
saya kutip kalimat mas agus, “Gereja (khususnya dari sejumlah aliran Kristen Protestan) di sini melarang umatnya untuk menyanyikan lagu-lagu dan tarian tradisional—karena diidentikkan dengan pemujaan roh.”
agama(gereja) penghilang budaya, yang gak sesusai dogma pasti ditakut2 dosa dan neraka.
saya kutip kalimat mas agus, ”
agama(gereja) penghilang budaya, yang gak sesusai dogma pasti ditakut2 dosa dan neraka.
Budaya dan modernitas memang ibarat 2 mata koin.
Ironis…semoga saudara kita di propinsi Papua tidak begitu.
budaya harus tetap dilestarikan karena kalau bukan kita siapa lagi??
kasian nanti generasi penerus kita jika mereka benar2 buta akan tradisi dan budaya tempat kelahiranya.
semakin hancur generasi yg sekarang miris ngeliatnya 🙁
Jangan jauh2 nyari contoh, Indonesia jadi Arab
maaf yang anda maksud indonesia yang mana? yang dari sabang sampai merauke ini atau yang sepetak kecil itu yang kita sebut medsos? jangan2 anda sendiri tidak mengenal budaya arab seseungguhnya 🙂