Manda 21 September 2014: Kaki di Papua Nugini, Tanah di Indonesia
Kedatangan saya di Manda 2 disambut dengan kewaspadaan tinggi oleh para lelaki penghuni kampung. Saya tahu, letak kampung mereka yang dekat dengan perbatasan Indonesia dan keberadaan kamp OPM di sekitar sini membuat mereka sangat mencurigai saya.
Tiba-tiba saya teringat pada sepucuk surat sakti teronggok di dasar tas ransel saya. Surat yang dikeluarkan Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, menyatakan bahwa saya adalah “fotografer Indonesia yang ingin mengabadikan keindahan alam dan budaya Papua Nugini”. Kepada para lelaki Manda itu, saya menunjukkan surat itu lengkap dengan paspor saya.
Mereka mengamati lekat-lekat, bergiliran.
Ketegangan mereda. Kini mereka tersenyum ramah.
“Banyak orang Indonesia yang datang ke sini, tapi tak pernah ada yang seperti kau,” kata salah seorang dari mereka, “Tadi kita kira kau mata-mata tentara Indonesia. Apalagi kau tanya-tanya soal OPM. Kita mesti hati-hati.”
Kini kami sudah tidak saling curiga. Mereka mengajak saya berjalan-jalan keliling kampung.
Manda 2 mungkin adalah desa termiskin yang saya saksikan sejauh ini di Papua Nugini. Semua rumah terbuat dari bahan hutan, nyaris tidak ada bahan logam sama sekali. Bahkan tangki penadah air hujan pun masih belum terpasang. Dengan air Sungai Fly yang sudah tercemar, kini satu-satunya sumber air minum mereka adalah mata air yang jauh di dalam hutan di belakang kampung, yang airnya pun sangat sedikit.
Desa ini tidak besar, hanya ada dua puluhan rumah panggung tersebar cukup berjauhan satu sama lain. Semua rumahnya terbuat dari gedek, berupa rumah panggung, dan berukuran cukup besar. Rumah terbesar dimiliki oleh keluar Benny Gradus, yang dihuni dua keluarga terdiri 23 orang dan dibangun selama delapan tahun, dan butuh 250 tiang penyangga. Dia bisa dikata sebagai keluarga terkaya di sini, dan rumah ini adalah istana. Dia adalah pemburu buaya, memiliki satu genset dan segalon bensin.
Anak-anak sebagian besar bertelanjang dada, tidak sedikit pula yang telanjang total. Anak-anak maupun orang dewasa semuanya bertelanjang kaki, berjalan di atas tanah merah yang kalau basah berubah menjadi lumpur licin. Pakaian mereka hampir semuanya berasal dari Indonesia, umumnya bergambar lambang partai-partai politik, foto calon kepala daerah, atau iklan produk, yang biasanya dibagikan gratis di seberang perbatasan sana. Semua pakaian itu dalam kondisi kumal dan penuh lubang. Penduduk kebanyakan memakai baju terbalik-balik: bagian belakang ke depan atau bagian dalam ke luar. Itu karena mereka tidak punya baju ganti, sehingga baju pun dipakai seperti kaset yang diputar Side A lalu Side B.
Yang paling mengenaskan tentang orang-orang kampung ini adalah hampir semua menderita penyakit kulit parah. Bercak-bercak putih berulir sambung-menyambung membentuk pola seperti bunga. Saya melihat seorang bocah yang bercak-bercak putih itu merata dari ujung kaki hingga ke leher dan ujung tangan. Mereka mengatakan, itu sejenis kurap karena air yang tercemar. Sangat gatal, tapi kalau digaruk bisa jadi borok berdarah.
Di Manda, banyak laki-laki bisa bicara bahasa Indonesia dengan cukup baik, walaupun saya harus konsentrasi tinggi untuk bisa mengerti karena logat mereka serta kosakata yang terbatas. Ketika mereka bicara dalam bahasa mereka Buazi, juga sering terdengar kata-kata bahasa Indonesia terselip. Seperti: parang, pisau, belanja, piring, sendok, kapak. Mereka tidak menyebut bahasa itu sebagai “bahasa Indonesia”, melainkan “Bahasa” atau “Malay”.
“Bagaimana kalian bisa bicara bahasa?” tanya saya.
“Karena kita orang border,” kata pemuda bernama Johny Atabakai (namanya berarti “Bapak Sirih”).
Mereka sebenarnya belajar bahasa Indonesia hanya baru-baru ini. Sejak empat tahun lalu, mereka hampir setiap minggu pergi ke Indonesia. Itu karena dibukanya pasar perbatasan setiap Rabu dan Sabtu, sehingga para penduduk dari desa-desa Papua Nugini di sekitar perbatasan pergi ke Indonesia untuk menjual hasil bumi, seperti ikan mujair, daging rusa, kura-kura, kulit buaya, kayu gaharu. Dari Indonesia mereka membeli barang kebutuhan sehari-hari, seperti baju, beras, bensin (dengan harga subsidi), minyak goreng, baterai, dan lain-lain.
Pasar di Indonesia itu terletak di daerah Asiki, yang harus ditempuh dengan berperahu selama enam jam menyusuri Sungai Fly sampai di daerah lekukan perbatasan, lalu berbelok ke barat menyusuri anak sungai Wonem, kemudian masuk ke rawa-rawa. Tidak dekat sebenarnya. Tetapi dibukanya pasar itu bagi penduduk Manda adalah anugerah, karena seketika mereka punya akses untuk mendapat uang dan mendobrak keterpencilan mereka.
Tinggal di dekat negara sebesar Indonesia, bagi Johny adalah keuntungan sekaligus sumber kerisauan. Warga sini takut suatu hari tanah mereka akan dicaplok Indonesia. Walaupun mereka warga Papua Nugini, tanah adat mereka sebenarnya ada di sisi border sebelah sana, di Indonesia.
Konsep tanah adat adalah kekhasan masyarakat Papua (termasuk yang ada di wilayah Indonesia), yang masih hidup dengan sistem kesukuan. Walaupun sebagian besar tanah Papua masih liar dan tak berpenghuni, sebenarnya sudah dibagi-bagi oleh suku-suku yang hidup di sini. Tanah itu adalah tempat mereka (atau nenek moyang mereka) berburu dan berkebun. Orang dilarang menginjakkan kaki di tanah suku lain tanpa izin, karena mereka tidak segan untuk membunuh. Perang antar suku di Papua biasanya berkaitan dengan perebutan tanah. Tanah adalah milik suku, tidak ada pribadi yang memiliki tanah. Tanah juga tidak bisa diperjualbelikan.
Konsep tanah adat ini sudah ada jauh sebelum orang-orang Barat menduduki Pulau Papua (Pulau Nugini) dan mengiris-iris daerah kekuasaan mereka—yang kemudian menjadi garis batas antara Indonesia dan Papua Nugini. Akibatnya, setelah negaranya merdeka, orang-orang di perbatasan ini menemukan bahwa tanah adat mereka berada di seberang batas, di luar negeri.
Garis batas tanah adat yang mereka jadikan pegangan adalah hasil kesepakatan perang suku yang terjadi sekitar seabad silam. Saat itu terjadi pertempuran dahsyat antara suku-suku Buazi (di Indonesia disebut suku Marind), yang diakhiri dengan kesepakatan damai dan pertukaran perempuan. Mereka membagi wilayah mereka dengan garis batas mengikuti pegunungan, yang disebut “Urat Tanah Merauke”. Garis batas adat itu sekarang letaknya di dalam wilayah Indonesia, sehingga tanah adat suku Buazi Papua Nugini ini juga berada di dalam wilayah Indonesia. Menurut Johny, tanah adat klan Makuin yang masuk wilayah Indonesia sekitar 600 hektar, klan Gakuin 300 hektar, dan klan Dokuin 200 hektar. Dengan kata lain, sebanyak 500 hektar adalah milik warga Manda.
Sekarang, proyek pembangunan di Indonesia sudah mencapai perbatasan, dengan adanya perkebunan, penebangan kayu, dan kamp-kamp transmigran yang dihuni bukan lagi oleh orang Papua melainkan kaum pendatang dari Jawa. Orang-orang Papua Nugini ini hanya bisa menyaksikan tanah adat mereka di seberang batas sana kini diduduki orang-orang asing.
“Saya marah dan tidak senang,” kata Johny, “Mereka mengambil hasil dari tanah kita, mengubah kehidupan alam kita, jual hasilnya ke negara lain. Tapi kita tidak dapat apa-apa.”
“Lalu apa rencana kalian?”
“Kita mau sistem sewa. Mereka boleh menebang kayu di tanah kita, tetapi orang Manda harus dibayar 1,5 juta rupiah setiap orang setiap bulan.”
“Apakah pihak Indonesia setuju?” tanya saya.
“Mereka harus setuju. Itu tanah kita!”
Saya rasa, tidak akan semudah itu. Ini bukan hanya masalah perbedaan antara hukum adat dengan hukum modern, tetapi juga sistem hukum dua negara berbeda. Hukum Indonesia tidak mengizinkan kepemilikan tanah oleh orang asing, dan tidak ada aturan tentang tanah adat yang dimiliki suku negara lain. Lagi pula, bagaimana orang-orang Papua Nugini ini bisa membuktikan bahwa mereka punya tanah ratusan hektar di Indonesia? Mereka tidak punya surat bukti apa-apa, hanya cerita dari leluhur yang pasti akan didebat oleh suku-suku Papua di seberang batas sana. Setidaknya, suku-suku Papua Nugini ini masih diizinkan untuk berkebun di wilayah Indonesia. Cukup banyak orang-orang Buazi (terutama dari desa Mipan, desa asal Johny) yang membangun kamp di sepanjang aliran Sungai Wonam, yang sudah masuk wilayah Indonesia.
Johny pertama kali pergi ke Indonesia tahun 1993. Sebelum itu, dia terlalu takut bahkan untuk membayangkan tentara Indonesia. “Banyak pengungsi kasih tahu kita, tentara Indonesia sangat kejam,” katanya. Yang dimaksud dengan pengungsi adalah para pengungsi OPM yang datang dari Papua di sisi Indonesia. “Tetapi setelah saya lihat sendiri Indonesia, ternyata tentara baik-baik. Iya, memang ada oknum pukuli orang Papua Nugini sampai jatuh merayap dan rampas barang dagangan kami. Tapi itu oknum.” Dia mengatakan, tentara di perbatasan darat di daerah Simpang sering meminta mereka membayar Rp 100 ribu setiap kali mereka masuk dan keluar wilayah Indonesia, sedangkan para tentara Indonesia di rawa Sungai Wonam suka meminta ikan mujair, daging rusa, atau kayu gaharu.
“Kalian tetap pergi walaupun barang dirampas?” tanya saya.
“Sumber makanan kita sudah kena racun. Walaupun bahaya, kita mesti tetap pergi. Hanya sedikit oknum tentara saja yang bahaya, kebanyakan orang Indonesia baik. Kecuali kalau mereka tipu-tipu kita. Ya, itu oknum juga.”
Sejak melihat Indonesia sendiri, Johny tidak lagi simpati kepada para pengungsi OPM yang kini mendiami kamp-kamp di sepanjang Sungai Fly yang menjadi perbatasan antara kedua negeri. “Justru mereka itu sumber masalah,” kata Johny, “Mereka juga menguasai tanah kita, tanah mereka ada di Indonesia sana. Kalau kau jalan sendirian di hutan, mereka bisa bunuh kau. Mereka bawa parang, panah, palu, juga mencuri dari kebun kami. Sejarah mereka penuh darah. Seharusnya mereka pulang ke Indonesia sana.”
Warna kulit ternyata bukan pemersatu mereka. Setiap kali pergi ke Indonesia, Johny mengaku tidak pernah berkawan dengan orang Papua Indonesia sesama “orang hitam”. Dia hanya mau berteman dengan “orang putih”. Dari para “orang putih” itu (kebanyakan Jawa dan Tionghoa), Johny belajar gaya hidup orang Indonesia, yang baginya adalah simbol kemodernan.
Contoh paling nyata adalah makanan. Keluarganya kini sudah bisa menggoreng mujair, dengan membuang sisiknya terlebih dahulu, sementara kebanyakan orang Papua Nugini di daerah ini hanya tahu merebus dan membakar tanpa bumbu, tanpa membuang sisik. Johny juga sudah bisa makan cabai dan membuat sambal. Itu kebanggaannya, menjadi orang border yang modern.
“Waktu kecil kita orang makan tidak ada rasa,” katanya, “Sekarang sudah tahu enaknya makanan Indonesia, jadi kita tidak mau lagi makan tanpa rasa.”
Johny menjamu saya makan malam dengan ikan gurami goreng—yang membuat saya tiba-tiba sangat merindukan Jawa. Saat kami bersantap, datang seorang kerabatnya yang bicara bahasa Indonesia selancar orang Indonesia. Perempuan muda bercelana pendek dan bergigi kemerahan karena sirih itu bernama Sule. Dia mengaku sudah pernah tinggal dan kerja di Merauke selama dua tahun menanam padi dan kelapa sawit.
Tahu saya berasal dari Jawa, raut muka Sule langsung sumringah. “Di Indonesia, saya cuma mau tinggal dengan orang Jawa, karena saya tidak suka putra daerah,” katanya, “Putra daerah suka mabuk, suka main perempuan. Kalau orang Jawa sering bagi ilmu, saya jadi pintar.”
Selama di Papua Indonesia, Sule tinggal di kamp transmigrasi. Di situ hanya ada orang Jawa, sama sekali tidak ada orang Papua. Semula dia Katolik, tapi karena di kamp transmigrasi tidak ada gereja, akhirnya dia masuk Islam. Sule kini adalah satu-satunya Muslim di desa ini. Sampai sekarang, dia mengaku, masih rutin bersalat, dua kali sehari, dan ikut puasa satu bulan. Tapi dia bilang sebenarnya tak tahu banyak tentang Islam, tidak hafal dan tidak tahu arti doa-doanya. Agama barunya itu, saya temukan, semata-mata karena kekagumannya pada Jawa.
“Siapa orang Jawa yang paling kamu suka?” saya bertanya.
Sule tidak perlu waktu berpikir. Dia menjerit. “Jokowi!”
bang kapan buku yg serial papua nugini ini keluar bang? tidak sabar aku pengen beli
..siapa orang jawa paling kau suka ..@jokowi ….hahahaha..serius nih mas agus..
Tulisan yg luar biasa. Saya selalu merasa berada di tempat yg mas Agustinus Wibowo ceritakan. Thanks udah share tulisan tulisan bagus. Dg baca tulisan mas agus membuat saya semakin bangga jadi orang Indonesia. Wish all the luck will be with you, always.
“Siapa orang Jawa yang paling kamu suka?” saya bertanya. Sule tidak perlu waktu berpikir. Dia menjerit. “Jokowi!” Tetap ngulang lagi kata ini, Lucu hahaha.
Selalu suka gaya penceritaannya Mas Agus. Ditunggu bukunya terbit.
5 tahun mengabdi di Papua membuat saya bisa merasa pengharapan mereka dan membenarkan apa yang mas Agus tuliskan. Sisi lain saya sangat senang bahwa negara kita masih berarti di mata orang lain. Jawa memang menjadi tolok ukur di Indonesia. Sayang tak banyak orang bersyukur dengan apa yang ada. Coba mereka mau membuka diri berjalan seperti mas Agus maka akan terbuka pemikiran mereka bahwa Indonesia itu teramat indah untuk dijelek2an. Coba pula para anggota dewan mau down to earth maka mereka akan sibuk mengajak masyarakat kita utk berbagi dan mengabdi .Bukan memprovokasi kita utk membenci..#.i love my country
Matur nuwun Gus, tulisanmu selalu menginspirasi, salam sesama Smada
Kehidupan yang sangat keras di Desa Manda, kasihan anak-anak itu harus menjalani kehidupan yang seperti itu.
Memang rata-rata cerita daerah perbatasan selalu saja menyimpan cerita-cerita yang miris.
Dari semua tulisan perjalanan anda yang paling menarik adalah perjalanan anda di papua nugini ini.enta saya merasa kita terlihat menjadi bangsa yang maju.
Maaf sebelumnya, judulnya 2014 tapi ditulis 2016 ya?
Saat sule jawab jokowi apa dia sudah jadi presiden?