Manda 22 September 2014: Tunggu dan Tunggu
Di desa kecil di penjuru yang sangat terpencil di Papua Nugini ini, hati saya diliputi kecemasan luar biasa. Visa Papua Nugini saya tinggal dua minggu lagi, sementara saya tidak sedikit pun berada di dekat perbatasan resmi untuk meninggalkan negara ini. Plus, saking terpencilnya tempat ini, tak seorang pun tahu pasti kapan akan ada perahu melintas. Bisa-bisa, saya terdampar di sini sampai satu bulan.
Sebelum saya datang ke Manda, saat berada di Obo, saya dengar ada penduduk Obo yang berencana untuk berangkat ke Kiunga. Saya perkirakan perahu mereka akan lewat dalam sehari dua hari ini. Itu sebabnya, sepanjang hari dari pagi sampai petang, saya duduk di tepi sungai menunggu melintasnya perahu. Saya akan berteriak pada mereka, melambai-lambaikan tangan, siapa tahu mereka mau memberi saya tumpangan.
Penduduk Manda hanya menertawakan saya. Tidak usah ditunggu begitu, mereka bilang, kalau ada perahu pasti kami dengar.
Orang-orang ini memang memiliki pendengaran luar biasa, mungkin karena mereka senantiasa hidup tenang tanpa ingar-bingar modernitas. Walaupun mereka berada jauh dari bibir sungai, dan perahu itu masih beberapa kilometer jauhnya, mereka sudah bisa mendengar, bahkan bisa mengatakan berapa kekuatan mesin perahu itu, pergi ke mana, punya siapa. Oh, itu 15 tenaga kuda, perahu nelayan Mipan mau ke hutan. Oh, itu perahu 60 tenaga kuda, punya perusahaan Ok Tedi, ke arah Obo. Oh, itu perahu 40 tenaga kuda, dari arah border, pasti baru datang dari pasar Indonesia. Dari sedikit perahu yang lewat, tak satu pun yang menuju utara, menuju arah Kiunga.
Menjelang siang, satu perahu merapat ke Manda. Itu milik seorang pedagang Indonesia. Para lelaki, perempuan, dan anak-anak Manda langsung mengerubung penuh semangat.
Orang Indonesia itu adalah lelaki Papua bernama Modestus Kabeljai. Berkulit hitam dan berambut keriting, secara fisik dia tidak kelihatan berbeda dengan orang-orang sini. Tetapi garis batas negeri telah membuat mereka hidup dalam dunia berbeda. Dia hanya bicara bahasa Indonesia, sedangkan orang-orang Papua Nugini ini berbahasa Inggris. Bahasa asli mereka juga tidak sama, sehingga mereka hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia—yang telah dipelajari dengan sangat baik oleh warga Manda. Orang Papua Indonesia ini juga memiliki kulit yang tidak penyakitan. Baju, jaket, dan celana yang dia pakai juga jauh lebih baru dan rapi daripada yang melekat di tubuh orang-orang Manda. Ditambah pula arloji yang melingkari pergelangan tangannya, menunjukkan bahwa waktu adalah hal yang berarti baginya.
Perahunya membawa berbagai produk Indonesia: rokok, mi instan, beras subsidi, bensin subsidi, tepung, minyak goreng, pinang dan sirih. Modestus bilang, ini baru pertama kali dia berjualan di Papua Nugini, sebelumnya dia hanya masuk untuk beli kayu gaharu.
“Bantu-bantu mereka lah, supaya mereka bisa hidup,” katanya.
Tetapi harga barang dagangannya sama sekali bukan harga “bantu-bantu”. Pembeli bisa membayar dengan rupiah atau kina, tetapi kurs yang ditetapkan Modestus adalah 1 kina = 1.000 rupiah, padahal normalnya 1 kina = 4.000 rupiah. Sebotol minyak goreng dijualnya 10.000 rupiah atau 10 kina, sedangkan sekarung tepung adalah 200 ribu rupiah atau 150 kina. Saya tercengang karena penduduk Manda santai membayar dengan kina. Mereka tidak terlalu bisa berhitung, bahkan untuk hitungan paling sederhana pun mereka perlu waktu lama. Pedagang Indonesia itu yang melakukan hitung-hitungan buat penduduk di sini. Melihat ini, saya menyadari kenapa para penduduk Papua Nugini sering ditipu ketika berbisnis dengan orang Indonesia.
Paman Charles, lelaki sangar berjenggot yang kurapnya merata di dada hingga leher dan masih memakai jaket tentara Korea yang sudah kumal, dengan semangat memanggil pedagang Indonesia itu sebagai “Ipar”. Mereka memang ternyata saudara ipar, tapi dari kerabat jauh. Walaupun pada iparnya, Modestus si pedagang Indonesia tidak memberi diskon apa-apa. Paman Charles membeli tepung, dan membayar dengan uang kina dengan harga normal (kalau dikurskan, Rp 600.000 satu karung), dan masih tersenyum gembira sambil mengucap “terima kasih” pada ipar Indonesianya itu.
Barang dagangan Modestus yang satu perahu itu sudah berkurang banyak setelah diserbu warga Manda 2. Tujuannya berikut adalah desa utama Manda 1, dan dia yakin semua barangnya akan habis karena jumlah penduduk Manda 1 tiga kali lipat lebih banyak.
Setelah perahu Modestus pergi, desa ini kembali ke kesunyiannya. Saya kembali ke penantian.
***
Keesokan harinya, kegelisahan saya semakin menjadi-jadi. Bagaimana kalau tetap tidak ada perahu lewat dan visa saya habis di sini? Apakah saya harus kabur saja ke Indonesia, yang cuma 10 kilometer jauhnya dari sini?
Francis Geradus, si lelaki pemilik rumah tempat saya menginap, mengatakan bahwa para lelaki Manda 1 dan Manda 2 dalam beberapa hari ini berencana berangkat ke Kiunga. Tujuan keberangkatan mereka adalah mengambil uang kompensasi tahunan dari perusahaan pertambangan Ok Tedi. Besarnya memang cuma 150 kina per orang per tahun, tapi dikali jumlah penduduk yang ratusan jiwa, mereka akan dapat uang cukup banyak untuk belanja ke Indonesia. Francis bilang, kalau mereka jadi berangkat, saya pasti boleh menumpang, gratis.
Tapi kapan? Francis tidak bisa bilang. Para pemimpin klan tinggal di desa utama, di Manda 1. Dia perlu pergi ke Manda 1 untuk rapat dengan para pemimpin klan, memastikan tanggal berangkat.
Kami memulai perjalanan ke desa utama, Manda 1. Hati saya semakin risau, karena saya bukan semakin dekat dengan tujuan, malah semakin jauh. Manda 1 terletak di selatan, sekitar 20 mil di aliran Sungai Fly. Francis dan Paman Charles mendayung melintasi kali dan rawa jalan pintas, yang tertutup rerumputan rapat bahkan sampai tidak terlihat airnya. Kami harus mengirit bensin, karena bensin adalah barang langka dan sangat berharga di sini. Apa lagi, mereka harus menyisakan bensin untuk bahan bakar perjalanan jauh ke Kiunga nanti.
Sekitar dua jam mendayung dan sesekali menyalakan mesin motor, akhirnya perahu kami tiba di Manda 1. Di desa utama inilah tinggal para pemimpin desa. Tapi desa utama ini justru kelihatan lebih miskin daripada desa Manda 2. Rumah-rumah sangat rapat dan kumuh.
Kepala desa, Terrence Loka, bisa bicara bahasa Indonesia dengan sangat baik. Dia bilang, orang sini mulai bicara bahasa Indonesia sejak 1963, karena para nenek mereka belajar di Sekolah Misionaris Belanda yang ada di Merauke. Terrence sudah sering ke Merauke, dan yang paling mengagumkan baginya adalah pembangunan di sisi perbatasan sana yang sangat pesat.
“Papua Nugini juga adalah negeri yang sangat kaya, dan Western Province dilimpahi tambang emas dan tembaga,” kata saya, “Tetapi kenapa desa Manda ini tidak terlihat seperti desa yang berada di atas tumpukan emas?”
“Karena kita bukan pemilik tanah dari lokasi tambang emas,” kata Terrence, “Jadi kita tidak menikmati keuntungan apa-apa. Tapi kita juga berubah. Kita punya generasi muda dengan ide-ide luar biasa. Yang kita tidak punya adalah anggaran.”
“Dan kalian menganggarkan dana kompensasi dari Ok Tedi?” tanya saya.
“Iya. Tetapi selalu ada masalah. Anggaran selalu ditunda-tunda. Sampai hangus semua.”
Kami datang jauh-jauh dari Manda 2 ke sini untuk rapat mengenai pengambilan anggaran kompensasi di Kiunga. Tetapi sudah tiga jam kami menunggu di balai-balai, rapat tidak juga dimulai. Para lelaki itu hanya merokok dan mengobrol santai. Stok rokok mereka sedang melimpah, baru saja dibawa si pedagang Indonesia yang perahunya merapat kemarin. Hujan turun deras, seketika tanah di sekeliling kami menjadi lautan lumpur. Tangisan bocah-bocah dan kotek ayam mengiringi suara hujan. Para lelaki itu masih dengan santai duduk, merokok. Entah menunggu apa.
Mungkin orang sini dikaruniai kesabaran yang luar biasa. Mereka menghabiskan hidup dengan menunggu dan menunggu. Tanpa tahu hingga kapan. Tanpa tahu menunggu apa.
Saat itulah, datang seorang lelaki tua. Dia menyapa saya dengan bahasa Indonesia yang sangat bagus. Lelaki 60 tahunan itu bernama Anton Mahose, sudah 37 tahun merantau di Merauke sebagai kuli bangunan. Tahun 1998 dia balik dari Indonesia ke Papua Nugini.
“Waktu saya kembali kepala desa tanya kenapa balik ke sini, mana yang lebih baik di sanakah atau di sini,” kata Anton yang memakai kaus salah satu kandidat pilkada Merauke, “Saya jawab, betul di sana lebih baik, tapi kita tahu kita itu asalnya dari mana, lahir di mana, kita tidak bisa menyangkal kita punya tanah tumpah darah.”
Walaupun jenggotnya sudah putih, Anton masih bercerita dengan penuh semangat seperti anak muda. Cita-citanya kembali dari Indonesia ke Papua Nugini adalah untuk membangun kampung asalnya, berbekal pengetahuan dan kebiasaan hidupnya di sisi perbatasan sana. Tetapi, alangkah terkejutnya dia, sampai di sini dia cuma bisa “lipat tangan dan lipat kaki”. Tidak ada apa-apa yang bisa dilakukan, tidak ada anggaran atau program apa pun, hanya tunggu dan tunggu.
“Saya ingin membangun sesuai target saya, kebisaan saya di sana. Tetapi tenaga saya dari mana untuk mengubah desa ini?” dia berkata.
“Ada penyesalan kembali ke sini?” tanya saya.
“Sudah jelas!” Lelaki itu terkikik, lalu mengisap dalam-dalam sebatang rokok gulungan kertas.
Langit sudah semakin gelap, tapi rapat tidak juga dimulai. Para lelaki masih duduk-duduk santai sambil mengobrol tanpa arah. Saya beranjak ke tepi sungai. Alam kelabu dalam kabut dan rintik hujan. Di atas Sungai Fly, “pulau-pulau” onggokan eceng gondok terapung dan terseret arus, bagai perahu yang berlayar lambat. Penduduk bilang, mereka tidak pernah menyaksikan ini sebelumnya, mereka tidak tahu rumput apa itu yang bisa membentuk pulau terapung di atas sungai.
Di sini, bahkan alam pun berubah dengan kecepatan yang lebih pesat daripada manusianya.
Izin share …. 😆😆😆; bolehkah?
sekarung tepung 200 rupiah ko?
Mas, kpn perjalanan ke papua dibukukan?..sdh lama lho njenengan nggak nerbitkan buku lagi..:(
Wahh menarik mas.
akan lebih menarik jika ditambahkan keterangan lokasi dengan menggunakan display peta mas, untuk meningkatkan pemhaman pada alur cerita.
Tks