Recommended

Manda 23 September 2014: Berburu

140923-png-manda-hunting-1Berburu masih merupakan cara hidup utama di pedalaman Papua Nugini. Di sini, bisa dikatakan semua orang adalah pemburu. Orang tua, laki-laki, perempuan, sampai anak-anak dan anjing-anjing, semua harus bisa berburu, kalau mereka ingin tetap bisa makan dan hidup.

Di Manda, saya tinggal dengan keluarga pemburu. Kakek Leo Isaac yang berambut gimbal rasta itu sudah berburu sejak masih bocah. Reynold anaknya adalah pemburu buaya paling ulung di kampung. Sedangkan menantunya Francis berburu ke hutan setiap minggu demi menyediakan sumber protein bagi keluarga besar itu.

Pagi itu Reynold datang ke rumah membawa kabar gembira. Tengah malam tadi dia berburu buaya, dan berhasil membunuh tiga ekor: satu besar, satu sedang, dan satu kecil. Selain itu masih ada lagi bayi buaya, yang dibiarkan hidup dan dipeliharanya di dalam drum besar di belakang rumah.

Sungai Fly terkenal karena banyak buayanya. Tetapi selama saya berada di sini, saya tidak pernah melihat sendiri buaya yang masih hidup di alam. Itu karena kebanyakan buaya menyelam di bawah air. Kalau pun mereka naik ke darat untuk berjemur atau bertelur, warna tubuh mereka juga sulit dibedakan dari warna tanah atau pepohonan. Lalu bagaimana mereka menangkap buaya?

Reynold menjelaskan rahasianya. Pemburu buaya beraktivitas pada malam hari. Justru di malam gelap, buaya akan terlihat jelas. Buaya akan mengambang di permukaan air, dengan tubuh di bawah air dan mata di atas air. Mata buaya berwarna merah menyala bagai sepasang lampu di tengah kegelapan malam.

Untuk buaya besar, satu-satunya cara adalah membunuh mereka dengan menombak bagian kepala yang menyambung dengan badan. Sedangkan untuk bayi buaya yang mau ditangkap hidup-hidup, yang pertama dilakukan adalah mencengkeram mulutnya supaya tidak bisa menggigit. Bagaimana membedakan buaya besar dari buaya kecil? Lihat matanya. Apabila jauh dari muka air, itu berarti buaya besar. Kalau dekat dari muka air, itu buaya kecil.

Buaya tidak suka berada di sungai yang alirannya deras. Karena itu buaya kebanyakan berada di rawa-rawa atau danau yang tenang yang banyak ikannya. Manda dikelilingi rawa, karena itu buayanya juga melimpah. Buaya sebenarnya takut manusia, sambung Reynold. Apabila manusia datang ramai-ramai, atau dengan perahu yang mesinnya berisik, buaya akan bersembunyi. Karena itulah pemburu buaya beraksi seorang diri, hanya dengan kano kecil yang didayung pelan-pelan. Tetapi itu juga sangat berbahaya, karena buaya tidak takut jika dia yakin bisa mengalahkan manusia itu. Buaya bisa saja menyerang pemburu. Sesudah pemburu berhasil membunuh buaya pun, dia tetap perlu perjuangan untuk menaikkan tubuh buaya ke kano. Pemburu jangan sampai kehilangan keseimbangan atau perahu terguling, karena bisa jadi di bawah air masih banyak buaya lain yang siap menerkamnya.

Reynold sang pemburu buaya

Reynold sang pemburu buaya

Di zaman dulu, buaya hanya dimakan dagingnya. Di zaman sekarang, berkat globalisasi, berburu buaya bisa menghasilkan uang. Buaya yang ditangkap akan dikuliti, dan kulitnya akan dijual ke Indonesia atau Papua Nugini. Sama seperti pembeli Indonesia, para pengepul kulit buaya Papua Nugini juga akan mengekspor kulit buaya itu ke negara ketiga, terutama Singapura dan Jepang. Karena itu, pemburu seperti Reynold harus sangat berhati-hati mengayunkan tombaknya, jangan sampai merusak kulit si buaya.

Bagian kulit yang dipakai hanya kulit badan sampai pangkal ekor. Bagian ekor dan kepala sama sekali tidak dibutuhkan. Di permukaan atas kulit tubuh buaya, ada garis lurus yang melintang antara badan dan ekor. Pemburu memotong menurut garis ini. Kualitas kulit buaya ditentukan berdasarkan ada tidaknya cacat pada permukaan kulit. Ada sedikit saja cacat, maka kelasnya akan turun dan harganya berbeda jauh.

“Tidakkah kalian takut apabila semua orang berburu buaya, maka buaya akan punah dari Sungai Fly?” tanya saya.

“Di sini buaya terlalu banyak,” kata Reynold, “Satu ekor ibu buaya bisa bertelur sampai 80, atau seratus. Dan mereka ini monster.”

“Dari siapa kau belajar berburu?”

“Kami adalah pemburu sejak lahir. Tahun 1950an, nenek moyang kami adalah pemburu kepala manusia. Ketika Kapten Cook datang ke sini, dia diburu dan dimakan,” kata Reynold bangga.

Walaupun saya sangat tertarik dengan berburu buaya, tetapi saya tidak punya keberanian untuk ikut Reynold berburu buaya. Lagi pula, saya masih belum bisa mendayung sampan sendiri.

Mereka berburu sejak anak-anak

Mereka berburu sejak anak-anak

Satu aktivitas berburu yang bisa saya ikuti hanyalah berburu di hutan. Ini tidak terlalu berbahaya, bahkan anak-anak kecil di Manda pun ikut ramai-ramai berburu. Pagi ini, Francis mengajak keluarga besarnya berburu. Ini termasuk Pak Tua Leo, istri Francis, sejumlah keponakan dan tetangga, juga bocah-bocah dan tujuh ekor anjing. Para anjing di Manda, seperti manusianya, juga dalam keadaan mengenaskan, kurus kering dan diserang penyakit kulit yang sangat parah.

Para anjing itu sangat antusias dinaikkan ke atas speedboat. Mereka tak henti menggonggong dan mengaum. Anak-anak kecil juga berloncatan riang, karena hari berburu bagi mereka adalah hari bermain yang mengasyikkan. Para perempuan Manda yang ikut dalam rombongan kami bahkan ada yang membawa bayi di pelukan, selain tongkat kayu, parang, busur, dan panah yang baru diasah. Pak Tua mendayung kano kecil, yang diikat dengan tali di belakang speedboat.

Tujuan kami adalah hutan di belakang rawa, di utara desa. Rawa ini sangat tenang dan airnya bening. Pak Tua mengingatkan saya untuk tidak sekali-sekali menyentuh airnya, karena di sini ada buaya. Begitu mendekati hutan, kami berpencar. Pak Tua dan tiga anak kecil mendayung kano ke seberang rawa, sedangkan speedboat kami merapat di sisi rawa sebelah sini.

Begitu perahu merapat ke daratan, yang paling antusias adalah para anjing. Mereka sudah sengaja dibuat lapar sejak kemarin, sehingga makin beringas mengejar mangsa. Para anjing itu berlompatan ke darat, lari pesat ke dalam hutan tanpa menunggu kami para manusia.

Anjing adalah andalan para pemburu

Anjing adalah andalan para pemburu

Menjelajah hutan mencari makanan.

Menjelajah hutan mencari makanan.

Kelompok besar kami berpencaran ke berbagai penjuru hutan, untuk mengepung binatang. Saya mengikut di belakang Francis, yang membawa busur dan panah. Sementara di belakang saya adalah para bocah yang tertawa-tawa. Hutan ini cukup lebat. Tanah sepenuhnya tertutup daun kering. Sinar matahari sama sekali tidak bisa menyentuh lantai hutan, karena rimbunannya pepohonan tinggi. Para ibu dan bocah membawa parang, untuk menebas belukar liar. Mereka semua bertelanjang kaki, tetapi langkah mereka sangat lincah menembus rapatnya belukar. Sedangkan saya, dengan celana jins panjang, sepatu, dan kaus kaki pun, masih sering tergelincir dan terbenam lumpur. Ketakutan terbesar saya adalah ular. Ular Papua Hitam terkenal sebagai salah satu ular paling beracun di dunia, korban yang digigit dipastikan tewas dalam waktu kurang dari satu jam.

Francis berlari. Busur berat di pundak tidak mengurangi kecepatan larinya. “Kasuari!” dia berseru, setelah mendengar suitan kode dari pemuda yang berpencar di kelompok lain. Mereka membuat suara melengking menirukan suara hewan, mungkin untuk menipu hewan mangsa itu. Anjing-anjing juga berpencaran ke segala penjuru untuk mengepung. Untuk mengomando anjing, para lelaki itu berteriak mendesis-desis, “As!”, “As!”.

Saya terengah-engah mengejar Francis. Napas saya hampir putus ketika saya berhasil menemukannya. Kasuari itu sudah kabur, sayangnya. Menangkap kasuari itu sangat sulit, kata Francis, karena burung itu punya kecepatan lari yang luar biasa. Untuk menangkap kasuari, mereka hanya bisa mengandalkan anjing. Tetapi bagi anjing juga berbahaya, karena sepakan kaki kasuari yang berkuku keras itu bisa melukai mereka.

Demikianlah kami berlari-lari ke sana ke sini di dalam hutan kecil ini, dengan semangat memburu setiap kali nama binatang disebut. Kasuari. Rusa. Babi hutan. Tapi tak satu pun yang berhasil tertangkap.

Dua jam kami berburu, tetap tidak mendapat apa-apa. “Pernahkah kalian berburu tanpa berhasil menangkap hewan satu pun?” tanya saya pada Francis.

“Pernah,” katanya, “Berburu tergantung nasib. Kalau beruntung, kita bisa dapat banyak. Kalau sial, kita pulang dengan tangan kosong.”

Busur dan panah

Busur dan panah

Dia kemudian berteriak, “Rusa! Rusa!” dan berlari kencang. Saya berusaha mengikutinya. Hutan ini bagi saya semua sama, hanya pohon dan belukar yang tidak ada ciri apa-apa. Tetapi bagi mereka, hutan ini sama akrabnya dengan rumah sendiri. Mereka tahu pasti di mana rawa, di mana batang kayu yang melintang jembatan, di mana pohon sagu, dan segala macam penanda lokasi lainnya. Francis mengatakan, rusa itu ada di seberang rawa sagu. Dia dengan santai menyeberangi rawa air hitam itu dengan meniti balok pohon yang melintang panjang. Tetapi dia tidak mengizinkan saya mengikutinya. Air ini beracun, katanya, kalau kena kulit bisa kena kudis.

Saya memutar jauh hingga ke ujung rawa, sampai akhirnya menemukan rusa malang itu. Para anjing sudah membunuhnya. Francis terus mengusir anjing-anjing itu, supaya jangan sampai memakan daging rusa. Dia kemudian memotong kepala rusa itu, membedah perutnya dan mengeluarkan ususnya (yang tidak perlu dibawa pulang karena berat dan tidak bisa dimakan), lalu menggantung usus rusa di pohon agar jangan sampai termakan anjing. Para anjing harus dibiarkan tetap lapar supaya tetap beringas.

Francis kemudian memanggul tubuh rusa itu dan anak-anak memanggul kepala rusa. Mereka mengantarkannya ke satu titik di hutan (pohon tertentu yang mereka kenal) supaya Pak Tua bisa mengangkutnya ke perahu.

Perburuan dilanjutkan. Kami terus berlarian di hutan, mengikuti para anjing yang tidak juga surut semangatnya. Berselang satu jam, para perempuan berteriak riang karena anjing sudah berhasil menggigit mati seekor bandicoot. Sejauh ini, para manusia sama sekali belum menggunakan busur dan panah mereka. Semua binatang ditangkap dan dibunuh oleh para anjing. Para anjing itulah pemburu sebenarnya.

Lewat tengah hari, anjing-anjing sudah jauh berkurang antusiasmenya. Mereka lebih banyak berjalan daripada berlari. Stamina saya lebih buruk daripada para anjing itu. Mata saya berkunang-kunang dan kaki saya semakin sulit digerakkan. Ketika saya membuka sepatu, saya temukan seekor lintah menempel di telapak kaki saya, ukurannya sudah sebesar telapak tangan. Itu pasti gara-gara tadi kaki saya tercebur di rawa sagu.

 

Hasil buruan kami hari ini.

Hasil buruan kami hari ini.

Rusa malang

Rusa malang

Saya mengikuti para perempuan untuk pergi ke sebuah Point yang ditunjuk Francis, supaya saya bisa beristirahat di kano Pak Tua, sementara mereka terus berburu. Saya sebenarnya sudah hampir pingsan. Tidak ada air minum, bahkan tidak ada tempat untuk duduk. Di Point yang berada di samping rawa besar itu, tidak ada Pak Tua. Kami berteriak-teriak memanggilnya, tidak pula berguna. Malah nyamuk yang tidak terkira banyaknya, bahkan masuk ke dalam mulut setiap kali saya mencoba bicara.

Kami menunggu satu jam, dua jam, tiga jam. Tidak ada juga ada yang datang menjemput kami. Langit gelap. Gerimis turun, dengan cepat menjadi deras. Mereka buru-buru menancapkan batang-batang pohon yang mereka temukan, lalu menggantungkan daun-daun palem di atasnya. Ini adalah perlindungan darurat dari hujan. Saya meringkuk dan menggigil di bawah dedaunan.

Temaram senja sudah menangkup alam, ketika kano dayung Pak Tua akhirnya datang menjemput kami. Kami ternyata menunggu di tempat yang salah. Francis berteriak-teriak marah pada istrinya. Sementara Pak Tua mengatakan, tangkapan hari ini sedikit gara-gara saya menyemprotkan cairan penolak nyamuk ke tubuh saya, dan kami berjalan mengikuti arah angin, para binatang sudah bisa mencium kehadiran kami dari jarak jauh. Apa pun itu, saya bersyukur akhirnya hari perburuan yang berat ini berakhir

Betapa susahnya mendapat makanan. Saya jadi mengerti, kenapa di sini sama sekali tidak ada orang gemuk, malah semua lelaki dan perempuan berotot kekar. Saya juga jadi belajar mensyukuri apa pun yang tersaji di piring di hadapan saya. Apa pun.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

12 Comments on Manda 23 September 2014: Berburu

  1. ya ampyun…makan buaya?

  2. kenapa mereka tidak belajar bercocok tanam ya?

  3. lintah sdh sebesar telapak tangan. gak bisa mbayangin. brapa bnyk darah yg sdh disedot pdhl cak agus blm maem n minum. ngeri amir

  4. Halo…mas wibowo…pak kbr….

  5. saya suka dengan artikel2 yg mas agustinus tulis,,cukup menginspirasi ….😄

  6. Apakah mereka juga menanam padi-padian atau umbi-umbian…?

  7. Ya Allah susah bener mereka cari makannya…alhamdulillah tulisan ini setidaknya mengingatkan kita tuk slalu bersyukur dengan segala kemudahan2 yang kita miliki.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*