Papua Nugini (5) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Sungai yang Mengering
Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.
“Dumori desa kami adalah surga,” kata Mama Ruth saat kami bersama menumpang kano menuju desanya di muara Sungai Fly, “Itu tempat terbaik di dunia.”
Kano kayu kami terayun-ayun di laut tenang. Perlu waktu 12 jam untuk menempuh jarak 130 kilometer dari Daru ke Dumori dengan kano besar ini. Kami tiba di Dumori tengah malam, badan saya menggigil hebat. “Welcome to Paradise,” kata Mama Ruth. Senyumnya menampilkan barisan gigi putih yang seakan melayang di tengah kegelapan. Surga? Di sekeliling saya hanya tampak air, memantulkan samar sinar bulan. Rumah-rumah panggung dan pohon seperti mengambang.
Dulu, Dumori terletak di tebing tinggi dan hampir tak pernah banjir. Sekarang, seminggu dalam sebulan desa ini pasti terendam air. Setelah banjir surut, seluruh desa tertutup lumpur tebal.
Kerusakan alam terjadi sangat radikal di Sungai Fly gara-gara aktivitas pertambangan emas dan tembaga Ok Tedi di hulu sana. Saat baru beroperasi tiga puluh tahun lalu, pertambangan itu membuang limbah beracun ke Sungai Fly. Air sungai kini tidak bisa diminum dan penduduk terpaksa mengandalkan air hujan. Sagu makanan utama mereka diolah dengan air sungai, kini hitam dan pahit. Hampir semua orang di sini juga menderita penyakit kulit parah.
Pertambangan itu terus membuang residu ke sungai, sehingga terbentuk sedimen di dasar sungai. Sungai Fly menjadi dangkal dan lebar, airnya meluap membanjiri desa-desa. Dalam lima tahun terakhir, di daerah muara terjadi fenomena alam baru yang mengerikan. Tsunami.
Setiap pagi, air sungai surut dan mengering, menjadi hamparan pasir luas. Orang bisa bermain sepak bola atau rugby di dasar sungai. Namun setiap pukul sepuluh, naiklah pasang dari laut yang menjadi gelombang bergulung-gulung dengan suara bergemuruh menerjang sungai. Kecepatannya sangat tinggi, bisa menyeret apa pun yang dilewati. Setelah itu, hanya dalam lima menit, Sungai Fly pun kembali selebar dan sekuning Sungai Kuning.
Sungai sepanjang seribu kilometer ini adalah sungai terbesar kedua di Papua Nugini. Namanya berasal dari kapal korvet HMS Fly yang digunakan eksplorer Barat yang pertama kali menemukan sungai ini pada tahun 1842. Sungai Fly kini adalah jalur transportasi utama di Western Province yang hampir tidak memiliki jalan raya sama sekali.
Walaupun demikian, daerah Sungai Fly termasuk tempat paling terpencil di seluruh negeri. Saya berencana membonceng kano penduduk lokal untuk menyusuri Sungai Fly dari muara sampai ke hulu, berhenti di satu desa ke desa berikut. Semua penduduk mengatakan itu mustahil; mereka tidak pernah dengar orang melakukan ini sebelumnya, apalagi orang asing. Mungkin ada benarnya. Terkadang saya terdampar di satu desa berhari-hari, bahkan sampai seminggu, hanya untuk menunggu perahu yang bisa mengangkut saya ke tujuan berikut.
Bahaya lain di Sungai Fly adalah buaya. Monster itu teramat banyak di sini, dan mereka tidak segan menyerang manusia di atas kano. Sudah banyak penduduk tewas saat menangkap ikan atau sedang mendayung menuju ladang. Selama perjalanan, saya tidak berani sekali pun mencelupkan tangan dan kaki ke dalam sungai keruh ini.
Tetapi suku-suku di sepanjang aliran Sungai Fly adalah bangsa pemburu, dan buaya adalah salah satu sumber makanan mereka. Para lelaki memburu buaya di malam gelap dengan tombak. Dalam kegelapan, mata buaya berwarna merah menyala bagaikan lampu, yang menjadi petunjuk penting bagi para pemburu. Selain untuk dimakan dagingnya, kulit buaya juga mereka jual kepada pedagang Indonesia atau pebisnis lokal.
Cara hidup berburu dan meramu masih merupakan cara hidup utama di sini. Ciri khasnya adalah ikatan kekerabatan di antara mereka sangat kuat, dan mereka juga fleksibel mengikuti perubahan alam. Ketika mereka menghadapi masalah yang tidak bisa diatasi, maka satu desa utuh bisa berpindah bersama-sama.
Contoh desa nomaden ini adalah Suwame. Lokasi desa ini bukan di aliran utama Sungai Fly, tetapi sangat jauh di pelosok anak sungai yang semakin menyempit hingga menjadi parit selebar satu meter. Saking sempitnya parit itu, untuk mencapai desa, orang mesti berganti perahu sampai tiga kali sampai menjadi kano yang paling kecil.
Perpindahan Suwame yang paling awal yang masih mereka ingat terjadi di tahun 1940an, ketika mereka diserbu suku pemburu kepala manusia dari daerah hulu Sungai Fly. Mereka kemudian mengungsi ke desa lain yang sama bahasanya—sebuah wantok, tinggal bersama puluhan tahun. Lalu sering terjadi perkelahian antara anak-anak mereka, sehingga orang Suwame memutuskan untuk pindah lagi ke tempat asal mereka di tepi Sungai Fly. Suku pemburu manusia sudah tidak ada, tetapi kini Sungai Fly justru mengamuk setelah pertambangan beroperasi. Desa mereka, seperti Dumori sekarang, sering dilanda banjir, sehingga mereka terpaksa pindah ke anak sungai. Anak sungai itu pun banjir, sehingga mereka pindah lagi ke pedalaman parit ini. Perpindahan terakhir hanya terjadi lima tahun lalu.
Untuk berpindah, pertama pemimpin harus meyakinkan semua anggotanya. Para lelaki pemberani kemudian dikirim untuk merintis tanah yang baru untuk membangun ladang. Ladang itu harus sudah bisa menghasilkan makanan sebelum seluruh desa pindah. Untuk menanam pisang dibutuhkan satu tahun, sedangkan kelapa dan sagu delapan tahun. Selama merintis ladang ini, mereka mesti bolak-balik ke desa asal untuk memindahkan barang dan membangun rumah permanen secara bertahap. Setelah semua siap, barulah semua orang di desa itu berpindah bersama. Sementara desa yang ditinggalkan perlahan akan kembali ditelan alam, hingga sama sekali tidak menyisakan jejak kehidupan manusia. Demikianlah siklus kehidupan berputar di sini.
Tanah adalah masalah sensitif bagi bangsa Melanesia. Walaupun negeri ini tampak kosong dan penuh rimba liar, tidak ada tanah yang tanpa pemilik. Setiap tanah dimiliki oleh suku adat. Tidak ada tanah pribadi, dan tanah tidak diperjualbelikan. Mereka berburu, membuka ladang, mengambil kayu, menangkap ikan, membangun desa,… semuanya hanya dilakukan di tanah adat mereka. Mereka tidak berani menginjakkan kaki di tanah yang bukan milik suku mereka, karena itu bisa menimbulkan perang. Tanah adalah nyawa mereka, bangsa pemburu.
Konsep tanah itulah yang tidak dipahami Indonesia ketika menduduki sisi barat Pulau Nugini ini. Papua Barat begitu luas namun penduduknya sangat sedikit, sedangkan pulau-pulau lain di Indonesia terlalu penuh penduduk. Pemerintah Indonesia saat itu kemudian memindahkan orang-orang Asia dari Pulau Jawa yang padat untuk membuka lahan di Papua Barat, yang mereka kira tanah kosong tanpa pemilik. Tetapi bagi suku-suku Melanesia yang asli tinggal di sana, itu adalah penjajahan. Semakin lama, pendatang Asia dari pulau-pulau Indonesia lainnya semakin banyak, hingga bangsa Melanesia menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Para pendatang itu bukan hanya mengambil tanah, tetapi juga mendominasi kesempatan kerja, hingga penduduk asli terpinggirkan. Itu faktor utama yang memicu pemberontakan separatis di sisi barat perbatasan: Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Di daerah perbatasan ini banyak terdapat pengungsi dari Papua Indonesia. Sebagian dari mereka bahkan adalah pejuang OPM garis keras yang sangat anti-Indonesia. Sebagai orang Indonesia, saya harus sangat berhati-hati dengan identitas saya di daerah ini.
Timotius adalah salah satu pengungsi itu. Saya berjumpa dengannya di desa Sapuka, sekitar 100 mil dari Suwame di aliran utama Sungai Fly. Senyum kekanak-kanakan selalu tersungging di wajah lelaki tua yang letih itu. Dia masih bisa berbahasa Indonesia, dan sangat senang bertemu saya yang dari seberang perbatasan.
Dia semula adalah kepala suku di kampung adat dekat Merauke, dan tidak ada masalah dengan pendatang. Istrinya bahkan adalah perempuan Asia dari Jawa. Suatu hari di tahun 2001, datang tentara Indonesia ke rumahnya untuk merampas ikan arwana yang dipeliharanya. Dia tidak mau memberikan. Lalu tentara memukulinya di jalanan kampung, disaksikan warga sukunya. Itu adalah penghinaan terbesar dalam hidupnya. Timotius kemudian lari menyeberang perbatasan tanpa memberitahu siapa-siapa.
Sekejap saja, Timotius sudah 14 tahun tinggal di Papua Nugini. Dia sebenarnya ingin pulang, tetapi dia takut tentara. Dia rindu istri dan anaknya, tapi di sini dia sudah punya istri dan anak baru. Beberapa pedagang Indonesia singgah ke desa ini, membujuknya dengan berkata, “Bapa, pulanglah! Indonesia sudah tidak sama dengan yang dulu. Orang-orang yang memukulmu sudah tidak ada lagi.”
Mungkin, rasa tercabut dari tanah itu yang membuat Timotius langsung akrab dengan saya. Keesokan paginya, Timotius membawa saya ke kandang rusa peliharaannya. Dengan penuh kasih sayang, dia memberi hewan-hewan itu sejumput rumput. Dia bersenandung, “Rusa… rusa…”
Hewan ini pun, sama seperti Timotius, sebenarnya adalah pengungsi dari Indonesia. Rusa adalah hewan Asia yang aslinya tidak ada di Papua. Rusa pertama kali dibawa orang Belanda ke Papua Barat yang mereka duduki, dan pernah ada peternakan rusa besar di Merauke. Ketika Indonesia menggantikan Belanda berkuasa di Papua, tentara Indonesia banyak berburu rusa di hutan. Di tahun 1960an, terjadi migrasi besar rusa dari barat menyeberang perbatasan ke sini. Kini, rusa sudah hampir habis di Papua Indonesia, para pedagang justru datang ke Papua Nugini untuk membeli tanduk rusa.
Ratapannya di hadapan rusa-rusa itu begitu pilu. Manusia, sebagaimana hewan, membutuhkan tanah yang bisa memberi mereka rasa aman. Sepetak tanah yang bisa dia sebut rumah. Sepetak tanah yang walaupun tidak sempurna tetap bisa dia panggil surga.
Saya mendengarkan gumamannya dengan lebih saksama. “Aku ini rusa… yang merindukan sungainya… aku ini rusa…”
(TAMAT)
Papua Nugini (1): Bahaya di Ibukota
Papua Nugini (2): Satu Bahasa
Papua Nugini (3): Perbatasan Segitiga
Papua Nugini (4): Orang Hitam dan Orang Putih
Papua Nugini (5): Sungai yang Mengering
menarik bagian yg ini https://t.co/A5kN4TmcgD
setelah membaca tulisan ini gw baru sadar Pulau Boigu, Australia cm berjarak 4 km dr PNG! https://t.co/gOB0Mu02tU
kebersamaannya sangat erat ternyata…..saya senang dengan kebersamaan ini. hal ini jarang terlihat di kota-kota besar…sangatlah ironis…individual yang di tonjolkan padahal dahulu kala semua orang indonesia seprti di daerah itu………
Wah kasihan rusa-rusa yang diburu untuk dijual tanduknya. Bisa punah tuh…
aku larut dalam tulisannya mas Agus, sedih melihat kita sebagai manusia sendirilah yang ternyata dari dulu memang merusak alam 🙁
The way you tell the story amazed me…
Sedikit miris ketika tahu ada tentara Indonesia yang berlaku kasar seperti itu, seperti hilang saja jati diri Indonesia yang terkenal sebagai bangsa ramah 🙁
Untuk urusan travel writer, you’re the best, Mas!
Aku sudah memiliki 3 bukumu itu.
Jujur aku bosan dengan travel blog kebanyakan yang cuma begitu2 aja. Tapi dirimu memang unik dan luar biasa!