Titik Nol 91: Pernikahan Tengah Malam (2)
Sorak sorai bergemuruh ketika sang dulha –pengantin pria, berhasil menaiki kuda putih dengan pelana berbalut permadani cantik. Ia kini bagaikan seorang pangeran dari negeri fantasi di atas kuda putih, berangkat untuk menjemput sang putri.
Arak-arakan ini sungguh ramai. Puluhan gadis dengan sari yang cantik menari sepanjang jalan, mengiringi tetabuhan genderang dan trompet yang bersahut-sahutan. Kami bersama-sama menyusuri jalan-jalan kota kuno Jodhpur yang sempit. Kuda putih sang pengantin memimpin. Tari-tarian dan band menyusul. Selanjutnya barisan orang yang tertawa riang, dalam busana mereka yang terbaik, bak parade karnaval akbar. Di musim kawin India, arak-arakan ramai seperti ini ada setiap hari membawa suasana semarak ke tengah kota.
Barat artinya iring-iringan pengantin pria menyambut sang wanita. Dalam tradisinya, pengantin menunggang kuda putih sampai ke rumah sang gadis. Tetapi sekarang zaman sudah modern. Sudah ada mobil dan bus. Apalagi rumah sang pengantin wanita di kota Nagaur, lebih dari 100 kilometer jauhnya dari sini. Iring-iringan kuda pengantin hanya beberapa ratus meter saja sampai kami mencapai jalan utama. Di sana sudah ada dua bus besar menunggu, siap mengantar semua orang dalam iringan barat ini.
Berawal dari turis yang memotret-motret band kawinan, sekarang kami berdua malah sudah duduk dalam bus bersama sanak saudara dan kerabat dekat sang pengantin. Saya dan Lam Li sempat berlari pulang ke losmen, ganti baju yang (sedikit) lebih pantas, dan siap berangkat ke Nagaur.
Kami sampai di Nagaur pukul empat sore. Seratusan orang yang datang dipersilakan menunggu di balairung di dalam rumah besar bercat biru. Kami disuguhi teh dan kue yang semuanya manis. Yang menikah ini adalah orang Brahmin, dan tamunya pun kebanyakan orang Brahmin, kaum vegetarian. Dalam pesta pernikahan ini sama sekali tidak tersaji daging dalam bentuk apa pun.
Waktu pernikahan didasarkan berdasarkan hitung-hitungan astrologi, kebanyakan diadakan sekitar tengah malam. Itulah sebabnya di malam yang damai di India, kita sering tiba-tiba dikejutkan oleh semaraknya band dan parade di jalan raya. Semuanya ini semata-mata demi nasib dan peruntungan baik bagi kedua mempelai yang menjalani hidup baru.
Pengantin pria dirias, dibedaki lagi. Keringat tadi sempat membasahi wajahnya yang tegang. Sekarang ia sudah mulai santai, terkadang bercanda ,tertawa, lalu memasang wajah serius lagi. Ia sempat mengolok saya yang tidak bawa kado sama sekali.
Acara baru dimulai pukul delapan malam. Para pria duduk bersila, mengelilingi barang-barang sesaji. Sang pengantin duduk di satu sisi, tinggi dan gagah. Pandita membaca mantra yang mengalun bak musik bermelodi mistis. Ia kemudian mengikatkan benang mouli berwarna merah kuning di pergelangan tangan sang pengantin, melepas sepatu dan kaus kakinya.
Kaki pengantin itu indah. Bukan hanya bentuknya yang sempurna, tetapi juga ornamen-ornamen henna bermotif bunga-bunga merambah setiap sudutnya. Kuku kaki dipoles pewarna warna merah. Kaki kanan diletakkan di atas baki.Pandita menyiramkan cairan putih seperti yoghurt ke atas kaki yang indah itu, kemudian mengelapnya perlahan-lahan.
Keheningan menyelimuti tempat ini. Puluhan orang duduk bersila, dalam takzim menyaksikan pandita memberkati sang pengantin. Seorang kerabat membubuhkan tika ke dahinya. Sang pengantin kemudian menciumi jerami yang diikat dengan benang mouli bersama uang sejumlah tepat 101 Rupee. Angka ganjil berakhiran 1 adalah perlambang keberuntungan. Kemudian pandita memasangkan ‘benang Brahmin’ ke tubuh sang pengantin – jalinan benang putih yang melingkar dari pundak kiri ke pinggang kanan. Barang sesaji, yang berupa kacang, biji-bijian, kismis, diedarkan kepada semua yang hadir. Semua pria juga mendapat pemberkatan berupa pengolesan tika di dahi.
Arak-arakan keliling kota pun dimulai. Pengantin dengan tenang duduk diatas kuda putih, digiring menuju jalan. Di hadapannya, sanak saudara dan para tamu berpawai. Di bagian paling depan ada rickshaw yang dipasangi lima loudspeaker berukuran besar, cukup untuk menggoncang malam. Penyanyi yang bersuara sangat fales, melantunkan lagu yang tak jelas sama sekali isinya, tenggelam dalam gaung pengeras suara yang berbunyi ringsek. Tetabuhan genderangdan trompet bersahutan nyaring, memecah keheningan malam kota kecil ini.
Untuk menerangi malam, bocah-bocah kecil berbaris mengusung kotak yang berujung seperti pohon bohlam. Kabel panjang menghubungkan lampu si bocah dengan bocah lain di depan dan di belakang. Seperti pagar ayu, bocah-bocah ini memagari pawai pengantin tengah malam ini.
Tak kurang juga tentunya ada tari-tarian. Dalam tetabuhan musik yang meriah seperti ini, orang India tentunya tidak tahan untuk tidak menari. Pertama-tamapara wanita, lenggak-lenggok tubuh mereka yang terbalut sari indah begitu cantik. Mereka memutar cepat, menjentikkan jari, meliukkan jemari. Kemeriahan semakin bertambah dengan petasan yang meledak, menyemburkan nyala api yang indah. Kemudian giliran para pria menari. Gerakannya amburadul, mengkangkangkan kaki ke kanan dan ke kiri, membentangkan tangan ke depan dan ke atas, memasang raut wajah yang aneh-aneh. Yang penting adalah keriangannya. Bocah-bocah juga menyemprotkan tabung berisi bahan kimia untuk salju buatan, menghadirkan nuans amusim salju di tengah sejuknya malam Nagaur.
Iring-iringan ini memutari kompleks, sampai akhirnya kami tiba kembali ke mandap, tempat pasangan pengantin akan bersanding.Sekarang tamu pun dipisah. Yang laki-laki bersama pengantin pria, yang perempuan bersama sang mempelai wanita. Di atas singgasananya sang dulha menantikan kedatangan pasangan pendamping hidupnya, yang berpakaian sari warna merah menyala dengan sulam-sulaman benang emas. Para pengiringnya menaburkan potongan bunga mawar hingga sang pengantin mencapai mandap.
Sekarang masing-masing pengantin memegang seuntaian besar bunga kuning dan putih. Pengantin wanita mengalungkan ke sang pria, kemudian pria mengalungkan bunga ke tubuh istrinya .Baru sekarang terlihat senyum lebar di wajah sang pria. Ia resmi menjadiseorang suami. Sementara si istri, mengulum senyum malu-malu, menundukkan kepala. Keduanya tak pernah kenal sebelum dijodohkan keluarga mereka. Tetapi mulai detik ini mereka akan mengarungi bahtera kehidupan bersama.
Para tamu dijamu makanan lezat. Semuanya vegetarian. Banyak makanan ini yang konon berharga mahal, jarang dijumpai sehari-hari, dan hanya hadir dalam acara pernikahan megah. Tetapi makan tengah malam tak lagi menggairahkan saya yang sudah terlarut dalam gegap gempita pesta pernikahan.
(bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 Desember 2008
jadi mas agus kapan menyusul….?