Titik Nol 93: Bishnoi
Tak secuil pun daging pernah masuk kerongkongan mereka, karena mereka adalah pengasih semua makhluk yang ada di alam raya.
Kakek Mamohan membonceng saya dan Lam Li di atas sepeda motor tuanya. Lam Li di tengah dan saya di belakang. Rasanya sungguh menyeramkan dengan kendaraan ini naik turun bukit, menyusuri gang sempit kotakuno yang disliweri oleh sapi, bocah, rickshaw, sampai mobil butut.Tetapi Kakek Mamohan sangat piawai mengendalikan kendaraannya, hingga kami tiba di tempat resepsi pasangan kemarin. Resepsi adalah puncak dari rangkaian acara pernikahan India. Keluarga kaya mengundang ribuan tamu, menunjukkan eksistensi dan posisi mereka dalam masyarakat.
Ada ratusan gadis cantik berpakian sari indah, penuh warna dan keanggunan. Para pelayan pun hilir mudik menyajikan makanan bagi para tamu. Yang ada hanya goreng-gorengan, roti chapati, dan nasi. Yang menjadi favorit pengunjung adalah martabak. Tak ada daging di sini. Semu amakanan adalah vegetarian. Dalam agama Hindu ada ajaran cinta kasih yang besar terhadap sesama makhluk hidup, terutama binatang. Vegetarian adalah jalan hidup yang demikian utama.
Tetapi umat Hindu di Jodhpur ini tidaklah terbandingkan dengan kecintaan orang Bishnoi terhadap alam lingkungan mereka. Bukan hanya mereka tak membunuh hewan, umat Bishnoi bahkan tak menebang pohon dan rela mati demi keselamatan hewan dan tumbuhan di alam raya.
Bishnoi mungkin adalah sekte agama tertua yang memuja alam dalam segala manifestasinya. Didirikan oleh Guru Jambaji yang lahir tahun 1451, inti ajaran Bishnoi adalah seperangkat 29 aturan. Nama Bishnoi berasal dari kata ‘dua puluh’ (bish) dan ‘sembilan’ (no). Beliautak mengajarkan pemujaan, pendewaan kitab suci, ritual di kuil-kuil megah, atau pengharapan akan mukjizat. Ajaran Jambaji intinya sederhana, manusia bisa bertahan hidup kalau mencintai alam. Tidak membunuh hewan, tidak menebang pohon, dan lepaskan diri dari keterikatan adalah beberapa poin utama. Umatnya ada 6 juta orang, terkonsentrasi di Rajasthan dan Gujarat, dan tersebar di beberapa negara bagian sekitarnya.
Tertarik dengan ajaran Bishnoi saya dan Lam Li menumpang bus antar desa yang penuh sesak menuju dusun Khajerli, terletak sekitar 20 kilometer dari Jodhpur. Desa ini gersang, tandus, panas. Padang pasir menghampar luas. Lupakan kemegahan kota biru Jodhpur dengan benteng-bentengnya yang megah. Khajerli adalah wajah tipikal sebuah dusun miskin India yang merangkak untuk bertahan.
Tetapi justru di desa kecil inilah semangat cinta kasih umat Bishnoi menggemparkan seluruh negeri. Ada sebuah kisah kepahlawanan yan gakan dengan bangga diceritakan oleh penduduk Khejarli. Alkisah, di tahun 1730, Maharaja Abhaya Singh dari Jodhpur memerintahkan pasukannya untuk mencari kayu untuk membangun benteng. Para tentara datang ke desa Khejarli, yang kala itu juga merupakan desa padang pasir yang panas dan kering. Hanya pohon kejri yang tumbuh tinggi, menaungi desa dan membawa kesejukan di bumi.
Melihat tentara Jodhpur yang hendak menebang pohon mereka, penduduk Bishnoi yang begitu mencintai alam berduyun-duyun untuk menghalangi. Amrita Dewi, seorang wanita desa, memeluk pohon besar itu sambil berujar, “tebanglah aku dulu sebelum menebang pohon ini.” Para tentara sama sekali tak terketuk hatinya. Mereka langsung mengayunkan kapak ke atas tubuh Amrita.
Melihat Amrita yang mati untuk melindungi pohon, penduduk desa bangkit amarahnya. Bukannya menyerang tentara, mereka beramai-ramai memeluk pohon itu. Tentara raja langsung bersikukuh untuk tetap menebang. Satu per satu penduduk yang memeluk pohon dibunuh. Tak gentar, pemeluk Bishnoi yang lain menggantikan rekannya yang tewas untu kmemeluk pohon besar itu. Mayat terus berjatuhan di sekitar pohon. Darah mengalir di mana-mana. Total 363 penduduk desa tewas untuk menyelamatkan sebatang pohon itu. Kini, di tempat pohon itu pernah berdiri, dibangun sebuah monumen untuk mengenang ratusan orang yang meninggal menyelamatkan sebatang pohon.
Ajaran Bishnoi mengajarkan pemeluknya untuk tetap lemah lembut menjauhi kekerasan, tetapi siap mengorbankan nyawa untuk melindungi segala macam satwa dan tanaman. Umat Bishnoi adalah pemuja dewa Vishnu (Bishnu). Tetapi tidak seperti umat Hindu lainnya yang membakar jenazah, orang Bishnoi menguburkan orang yang sudah meninggal. “Karena untuk membakar jenazah,” jelas seorang pemuka desa Khajerli, “kita harus menebang pohon. Mengapa waktu kita meninggal pun kita masih merusak alam? Dengan mengubu rjenazah, semua yang berasal dari alam kembali ke alam.”
Desa ini begitu miskin dan kering kerontang, tetapi orang-orang masih menyediakan air untuk minum rusa. Penduduknya bercocok tanam seadanya, walaupun tak banyak yang bisa diharapkan di tempat sekering ini. Bahkan tanaman banyak yang rusak dimakan rusa liar. Tetapi penduduk Bishnoi sama sekali tidak membangun pagar atau menghalangi hewan-hewan merusak pangan mereka. Bagi mereka, tak mengapa berlapar dahaga asalkan para satwa tetap kenyang.
Cinta yang sedemikian dalamnya pada setiap makhluk yang bernyawa membuat orang Bishnoi tak segan-segan melawan segala jenis pengrusakan alam. Tahun 1998, bintang Bollywood ternama Salman Khan datang ke Jodhpur untuk syuting film Ham Sath Sath. Di sela-sela kesibukannya ,sang bintang menyempatkan diri untuk berburu rusa langka di padang pasir yang dihuni oleh kaum Bishnoi. Tengah malam buta, ketika penduduk desa sudah terlelap dalam tidurnya, sang superstar memulai perburuannya.
Naas nasibnya. Suara tembakannya terdengar oleH penduduk. Dalam sekejap ia dikejar oleh ratusan penduduk yang marah. Nyawa binatang di sini begitu suci, semua pembunuh binatang harus dihukum. Setelah melewati proses pengadilan panjang, akhirnya Salman Khan dijatuhi hukuman lima tahun penjara (tapi dia selalu berhasil mangkir dari hukuman).
India adalah negeri penuh dengan kontras. Di dusun miskin kering kerontang, rakyat kelaparan tetapi hewan liar hidup berkecukupan. Di tepi gurun yang ganas, nyawa pun dikorbankan untuk menyelamatkan satwa dan tanaman. Masih adakah komunitas lain di muka bumi ini yang begitu mengabdikan dirinya pada alam? Nun jauh di seberang lautan sana, di negeri kampung halaman saya, hutan hijau menjadi gundul dan air sungai menjadi hitam, karena uang sudah menjadi dewa.
(bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 11 Desember 2008
Leave a comment