Benkim 25 Oktober 2014: Patok Batas Negeri
Sudah dua bulan lebih saya melakukan perjalanan yang sangat berat secara mental dan fisik menyusuri perbatasan RI—PNG. Saya bahkan sudah beberapa kali melintasi perbatasan, masuk ke Indonesia dan kembali lagi ke Papua Nugini secara ilegal. Tetapi belum pernah sekali pun saya menyaksikan garis perbatasan itu berwujud gamblang di depan mata saya. Yang saya lihat hanya hutan rimba dan gunung, sungai atau rawa. Keinginan saya begitu menggebu. Saya berteguh hati berkata pada Papa Felix, “Apa pun yang terjadi, saya mau lihat patok perbatasan itu!”
Tepat di antara Digo dan Binkawuk terdapat satu desa bernama Benkim. Di sinilah terdapat salah satu dari seratusan patok penanda perbatasan yang berderet sepanjang 740 kilometer perbatasan darat antara RI dan PNG. Perjalanan dari Digo dan Tarakbits sebenarnya bisa lewat Benkim, sedikit lebih jauh dan memutar daripada rute “jalur pintas” yang berupa garis lurus melintasi hutan yang kami ambil waktu datang ke sini.
“Perut saya sakit,” kata Papa Felix, “Saya cuma ingin cepat-cepat pulang ke Binkawuk. Kalau lewat Benkim nanti malam baru kita sampai Binkawuk.”
“Tetapi melihat patok itu penting bagi saya,” kata saya.
Saya menjanjikan sedikit uang kepadanya. Papa Felix bilang pikir-pikir dulu, lihat keadaan nanti. Pagi itu juga, setelah menyantap pisang rebus (semua pisang masih mentah dan keras, tidak ada rasa selain kenyang) yang disediakan tuan rumah kami, Filipus si pengungsi OPM, kami berangkat meninggalkan Digo.
Ini masih perjalanan yang sama waktu kami datang: rawa sagu yang lembek dan lengket lalu tiga sungai kecil sebelum sungai besar Ok Wik, tempat beradanya jembatan batang pohon kayu yang mengerikan. Berbeda dengan waktu datang dulu, sungai-sungai dan rawa ini sepertinya mengecil, karena tiga hari ini tidak turun hujan sama sekali. Lumpur sepanjang perjalanan pun jauh berkurang. Berpikir toh perjalanan ini juga akan bersimbah lumpur, saya sudah malas bercapek-capek lagi melepas sepatu dan celana setiap kali menyeberangi sungai dan rawa. Biar saja basah dan berlumpur, toh bagaimana pun juga tetap akan basah dan berlumpur. Saat menyeberangi Ok Wik, saya pun tidak naik ke jembatan batang pohon licin berlumut itu, melainkan mencebur langsung ke dalam sungai itu dengan seluruh pakaian dan sepatu masih melekat di badan.
“Waktu tentara perbatasan Indonesia patroli ke sini, mereka juga mencebur sungai seperti kamu,” kata Papa Felix.
Karena sekarang saya tidak takut lagi berbasah-basah dan bersimbah lumpur, perjalanan ini jadi jauh lebih singkat. Kami menghemat waktu hampir satu jam saat kami tiba di pertigaan Benkim.
“Baiklah,” kata Papa Felix, “Kita lewat Benkim.”
Dalam hati saya bersorak. Walaupun muncul kekhawatiran juga, karena sepanjang perjalanan ini Papa Felix terus bercerita (dengan nada mengeluh) betapa sakit perutnya, betapa berat hidupnya, betapa melelahkan dia bolak-balik antar pastor untuk pergi ke Digo dan pastor biasanya kasih uang saku ke dia.
Perjalanan ke Benkim, saya rasakan, ternyata jauh lebih mudah dan lebih cepat dari “jalur pintas” yang harus menyeberangi banyak sungai yang deras dan dalam itu (satu sungai bahkan sedalam dada). Cuma ada satu pendakian bukit yang lumayan curam di tengah padang rumput. Hanya setengah jam dari pertigaan tadi, kami sudah sampai di kampung.
Nama kampung ini adalah Benkim-2, pemekaran dari kampung utama Benkim-1 yang sudah terlalu padat, yang terletak sekitar dua kilometer dari sini. Kepala kampung yang resmi untuk kamp pengungsi Digo sebenarnya adalah orang Benkim, tinggal di Benkim-1. Itu artinya, walaupun Digo sudah berada di wilayah Indonesia, para pengungsi dari Papua Indonesia itu masih dianggap “menumpang” di tanah warga asli Papua Nugini ini.
Desa Benkim-2 ini terlihat sama miskinnya dengan Digo. Rumah-rumah semua terbuat dari bahan hutan, tapi saling berjauhan, tidak padat seperti Digo. Papa Felix rupanya punya kerabat di sini. Dia mengajak saya untuk beristirahat untuk makan siang di rumah seorang lelaki, yang adalah suami dari cucunya.
Patrick Daumkom, sebagaimana kebanyakan orang bangsa Ningerum, bertumbuh pendek sekali. Tetapi badan lelaki muda itu kekar, dan dia mengenakan kaos loreng seperti tentara.
“Warga Benkim sangat tidak senang dengan Indonesia,” kata Patrick, “Karena sejak datangnya para pengungsi itu, mereka memindahkan patok perbatasan dari persimpangan Benkim kini tempat berada di samping Benkim-2. Penduduk sangat tidak nyaman karena setiap tahun ada satu regu 25 tentara Indonesia yang berpatroli melewati desa ini untuk mengunjungi patok perbatasan itu.”
Satu regu patroli perbatasan tentara Indonesia sebenarnya beranggotakan 50 orang saat mereka sampai di Digo, lalu mereka berpencar menjadi dua regu, yaitu patok M7.6 yang berada di Benkim dan patok M7.7 yang berada di Kobomtan, sekitar 5 kilometer di selatan.
“Ini adalah desa Papua Nugini, dan ini tanah Papua Nugini, kenapa bisa ada monumen perbatasan di desa ini?” katanya berapi-api.
Yang paling membuat Patrick gelisah adalah ketika beberapa bulan lalu para tentara itu bertanya kepadanya dalam bahasa Inggris, “Kenapa tempat ini bisa sangat terbelakang?”
Patrick menjawab tentara itu dengan balik bertanya, “Kenapa pemerintah Papua Nugini tidak berpikir tentang kami dan memberi layanan kepada kami?”
Para tentara itu kemudian menginterogasinya, “Kamu punya KTP? Kartu identitas?”
Patrick menjawab mereka, “Tidak.”
“Kami perlu jumlah penduduk dan jumlah rumah yang ada di sini,” kata tentara tegas.
“Saya tidak mau jawab,” kata Patrick, “Kalian harus mendapat izin dari pemerintah Papua Nugini dulu.”
Mendengar ceritanya itu, giliran saya bertanya pada Patrick, “Jadi berapa jumlah penduduk dan keluarga di sini?” Patrick tertegun mendengar pertanyaan saya. Seolah baru sadar kalau saya juga orang Indonesia sebagaimana para tentara itu, dia mengamati saya lekat-lekat, dari ujung kepala ke ujung kaki. Saya buru-buru mengeluarkan surat pengenal yang diterbitkan kepala kantor polisi di Kiunga, sambil berkata, “Jangan khawatir, saya sudah mendapat izin resmi.”
Patrick membaca surat yang saya serahkan kepadanya itu, kata demi kata, sambil mengangguk-angguk. Tidak cukup, dia kemudian menyalin kata demi kata dari surat itu ke selembar kertas yang dia punya (mesin fotokopi terdekat terletak tiga hari perjalanan dari sini), barulah dia menjawab, “Total penduduk Benkim ada 700 orang.”
Saya membuka GPS saya, untuk melihat di mana saya berada sekarang. Hampir tepat 141 derajat Bujur Timur. Desa ini tepat berada di atas garis batas kedua negara. Tak heran tentara perbatasan Indonesia rutin lalu-lalang di kampung ini. Saya menunjukkan peta itu kepada Patrick. Dia terkejut, ketakutan sampai gemetar. “Jadi… kami benar tinggal di atas garis bata?” tanyanya.
Bahkan orang di sini tidak tahu bahwa mereka tinggal di atas garis. “Saya selalu takut orang Indonesia akan datang ke sini, takut mereka akan merampas tanah kami ini,” kata Patrick, “Dulu patok perbatasan tidak di situ. Tahun 1984 para pengungsi OPM itu datang, lalu dua tahun kemudian para tentara itu memindah patok perbatasan ke desa ini. Itu sebabnya, orang sini mengira pemindahan patok itu berhubungan dengan para pengungsi OPM, dan orang Indonesia mau mengambil alih tanah ini. Itu sebabnya kami merasa terancam.”
Dan itu pula sebabnya, orang-orang Benkim sangat marah begitu mengetahui ada orang Digo menerima bendera merah putih dari tentara Indonesia. Ancaman yang ada di benak mereka seolah semakin nyata sekarang: Indonesia mau menjajah tanah mereka.
Sementara itu, dari luar rumah terdengar teriakan marah seorang perempuan, melengking-lengking, dalam bahasa daerah. Papa Felix kemudian menerjemahkan kepada saya. Perempuan itu berteriak, “Jangan percaya dia! Dia itu mata-mata! Dia itu pembohong! Dia jalan ke mana-mana untuk dapat uang sendiri!”
Dari dalam rumah gubuk itu Patrick dan Papa Felix bersahut-sahutan menenangkan perempuan itu, menjelaskan siapa saya. Perempuan itu kemudian masuk rumah panggung ini. Perempuan paruh baya yang kecil itu seperti terkejut melihat saya. Mungkin wajah dan perawakan saya sangat berbeda dengan yang dia bayangkan. Papa Felix terus berkata, “Dia itu orang Cina, bukan orang Indonesia. Dia bukan politik, juga bukan mata-mata.” Perempuan itu tak berhenti minta maaf kepada saya dalam bahasa Melayu. Tetapi begitu saya mengarahkan kamera untuk memotretnya, dia melesat kabur dari rumah itu.
Saya merasa sangat tak nyaman di kampung ini. Saya mengajak Papa Felix untuk melanjutkan perjalanan, takut keburu gelap. Saat turun dari rumah panggung itu, kaki saya masih kesemutan, saya berjalan berjingkat-jingkat. Sambil berjalan, saya memotret untuk mengabadikan wujud desa ini. Tiba-tiba dari sekumpulan orang yang duduk di balai-balai rumah panggung di kejauhan terdengar teriakan sangat marah. Saat kami melewatinya, lelaki gendut setengah telanjang dengan gigi merah itu berteriak dalam bahasa Inggris, “Jangan ambil fotoku. Aku tahu kamu akan dapat uang banyak dan menjadi kaya dengan menjual foto-foto kami.”
Saya tidak tahu harus menangis atau tertawa mendengar itu. Papa Felix berkata, dulu orang-orang di sini tidak takut pada kamera atau pada orang Indonesia, tetapi sejak kedatangan pengungsi OPM tahun 1984, ketakutan itu mulai muncul. Terlebih lagi setelah tentara Indonesia berpatroli dan meninggalkan bendera merah putih di desa, mereka lebih takut dan benci lagi pada Indonesia.
Kami melanjutkan perjalanan. Tak sampai lima menit mendaki bukit, kami tiba di patok yang menjadi sumber masalah itu.
Patok perbatasan. Ternyata hanya seperti ini saja bentuknya. Sebuah tugu putih dari bahan logam yang dicor, berbentuk trapezoid, sekitar 170 sentimeter tingginya, di tengah padang kecil dengan rumput liar yang semakin meninggi di sekelilingnya. Dalamnya kopong, dan bagian luarnya sudah mulai berkarat. Tidak ada pagar kawat, tidak ada birokrasi, tidak ada bendera atau simbol-simbol, tidak ada tulisan apa-apa (selain coret-coretan grafiti yang ditinggalkan penduduk), tidak ada apa pun penanda yang menunjukkan ini tugu apa. Saya bahkan tidak tahu mana yang sisi Indonesia, mana yang sisi Papua Nugini dari tugu ini.
Tetapi tugu yang teramat biasa ini justru adalah sebuah altar suci bagi para tentara dan pejuang nasionalisme dari kedua sisinya. Dialah penentu takdir bagi orang-orang yang ada di kedua sisinya. Itulah garis batas. Bagaikan gravitasi bumi dan oksigen, garis batas tidak terlihat, tetapi semua aspek kehidupan kita ditentukan olehnya. Bicara soal perbatasan internasional di tengah hutan yang kontinum ini begitu absurd, sama absurdnya dengan bagaimana satu garis lurus perbatasan membelah Pulau Papua ini tercipta.
Pada akhir abad ke-19, Pulau Papua (atau Pulau Nugini) diduduki oleh Belanda di sisi barat dan Inggris serta Jerman di sisi timur. Mereka merasa perlu menetapkan batas kekuasaan mereka, sehingga pada tahun 1893 Residen Belanda di Ternate, J. Bensbach bertemu dengan Letnan Gubernur Jenderal Inggris untuk Nugini, Sir William Mac Gregor. Pada tahun 1895, kedua bangsa kolonial itu sepakat menetapkan garis lurus 141 derajat Bujur Timur sebagai garis batas kekuasaan mereka. Beginilah nasib tanah jajahan. Pulau ini diiris seperti kue, hanya berbekal kertas peta, seolah di sini sama sekali tidak ada manusia penghuninya. Demikian pula ketika Indonesia menegosiasikan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tahun 1947 dan 1949, orang Papua tidak dilibatkan dalam negosiasi, tidak pernah ditanyai apakah kehendak mereka. Orang Papua dianggap terlalu terbelakang. Kemudian dalam Perjanjian New York yang diselenggarakan PBB, yang kemudian dilanjutkan dengan Perjanjian Roma, Papua hanya menjadi bahan negosiasi antara pihak-pihak berkekuasaan: Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, PBB. Sementara orang-orang asli penghuni pulau ini hanya bisa menerima nasib mereka ditentukan oleh bangsa-bangsa “besar” itu. Sampai di sisi barat mendapat referendum (yang alih-alih diikuti seluruh warganya, hanya diikuti 1.025 wakil yang dipilih Indonesia) untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia dan menjadi Irian Jaya, sedangkan di sisi timur tiba-tiba mendapat kemerdekaan nomplok dari Australia dan menjadi Papua Nugini, mayoritas penduduk yang tinggal di pedalaman ini tetaplah tidak pernah mengerti bagaimana takdir mereka ditentukan. Dulu begitu, sekarang masih begitu, dan akan tetap begitu. Garis batas yang absurd dan tak kasatmata ini telah menjadi takdir dari langit yang harus mereka terima.
Berdiri di samping patok, memandang perbukitan di kejauhan, membuat pertanyaan itu muncul kembali di benak saya: Kenapa garis batas harus ada?
Saya menoleh pada Papa Felix, menanyakan pertanyaan itu. Dia tidak menjawab. Dia berkata, “Dapatkah kau minta pada pemerintah Indonesia supaya mereka beri kami uang kompensasi? Uang lelah buat kami yang sudah merawat patok mereka ini baik-baik.”
Ijin share
silakan
Thanks
kapan bukunya keluar ??? 🙁
Zetzu Ardhy
Ya begitulah,sebenarnya kita juga menjadi korban yang namanya penjajahan dunia barat itu akan selalu ada walaupun bentuknya saja yang berbeda.tapi bagi saya Papua tetaplah Indonesia OPM ada karena itu juga ulah dari Belanda dari kurun waktu 1949-1962(klo gak salah)mereka telah menyiapkan negara Papua agar walaupun mereka merdeka akan tetap Belanda bisa menikmati kekayaan nya.sehingga orang Papua yg ingin merdeka merasa bahwa mereka memang punya negara lain.
hadehhh orang primitip itu selalu saja merepotkan. banyak nggak taunya. selalu aja curiga. kayaknya orang model gini kalo berbaur dg orang lain banyak nggak akurnya. kenapa ya orang PNG benci banget ama indo. udah miskin blagu lagi pantes gak maju maju
Mungkin mereka mendapat doktrin dari negara penjajah bahkan australia dengan menakut-nakuti bahwa indonesia adalah negaar yang kejam.
Indon tolol rasis kayak gini yang bikin orang Papua benci sama NKRI, mending merdeka aja daripada direndahin sama yang katanya ‘saudara sebangsa(t)’. Lagian emangnya Indon udah jadi negara maju sama makmur apa, ngaca dong…
Indon tolol
Ditunggu bukunya 😊
Saya punya semua buku Asia tengahnya mas Agus dan menunggu buku berikutnya keluar. salam kenal mas
Mas Agus, salut banget jelajahin perbatasan Papua dan PNG perjalanan yang bukan hanya berhadapan dengan tantangan alam saja tapi juga manusia yang ada di dalamnya.
Tentang menjadi pelintas ilegal saya juga pernah melakukannya karena penasaran tentang patok perbatasan, bisa dibaca disini https://codymavs.wordpress.com/2011/11/
Sebagai lulusan geografi menyadari terkadang garis yang dibuat di atas peta kurang memperhatikan efek garis tersebut terhadap manusia dan alam dalam wilayah tersebut 🙁
Papa Felix minta kompensasi ke Pemerintah Indonesia atas jaga menjaga dan merawat patok batas
luar biasa ya perjuangans saudara kita yang ada di perbatasan. semoga tetap membuat mereka bangga akan negerinya sendiri. salam dari banyuwangi
barangkali lagi iseng iseng bica cari info seputar informasi wisata banyuwangi di rumah kami ya.
https://yukbanyuwangi.co.id/taman-nasional-baluran-resmi-dibuka-kembali.html
https://yukbanyuwangi.co.id/pantai-pulau-merah.html
https://yukbanyuwangi.co.id/pantai-marina-boom-tempat-nongkrong-asyik-di-kota-banyuwangi.html
https://yukbanyuwangi.co.id/informasi-lengkap-dan-terbaru-hotel-dialoog-banyuwangi.html
https://yukbanyuwangi.co.id/informasi-lengkap-10-hotel-berbintang-di-banyuwangi.html
https://yukbanyuwangi.co.id/taman-nasional-alas-purwo.html
https://yukbanyuwangi.co.id/sendratari-meras-gandrung-kisah-perjalanan-penari-gandrung-banyuwangi.html
https://yukbanyuwangi.co.id/super-enak-melancong-kesini-wajib-cobain-kuliner-banyuwangi.html
https://yukbanyuwangi.co.id/blue-fire-kawah-ijen.html
https://yukbanyuwangi.co.id/berkemah-di-pulau-tabuhan-yang-tak-berpenghuni.html
https://yukbanyuwangi.co.id/taman-de-djawatan-benculuk.html
https://yukbanyuwangi.co.id/teluk-ijo.html
https://yukbanyuwangi.co.id/seputar-hotel-dialoog-banyuwangi.html
https://yukbanyuwangi.co.id/villa-solong-banyuwangi-resort-romatis.html
https://yukbanyuwangi.co.id/pantai-sukamade.html
https://yukbanyuwangi.co.id/festival-gandrung-sewu-banyuwangi-benar-benar-menampilkan-s.html