Matinya Agama Tua
Perempuan tua itu seperti pengantin yang ketiduran. Bajunya merah menyala bersulam benang emas. Kedua pergelangan tangannya dilingkari gelang kebesaran peninggalan ratusan tahun, berupa piringan emas selebar kepala manusia, cemerlang bagai matahari di saat fajar. Warna-warna penuh gairah membalut sekujur tubuhnya, dari kepala hingga ujung kaki. Tetapi tubuh itu tak akan pernah bergerak lagi. Matanya yang terpejam itu juga tidak akan pernah membuka lagi.
Perempuan tua 90 tahun itu, sejak tiga hari lalu, mati.
Seorang anak perempuan dari nenek itu, alih-alih berduka bersimbah air mata, tersenyum mengundang saya masuk, “Mari. Mari makan bersama Nenek.”
Saya susah payah memanjat dan merangkak memasuki pintu yang berupa lubang jendela selebar pinggang. Di dalam ruangan rumah kayu yang sempit beraroma sejarah itu, para kerabat duduk berdesakan di sekeliling mayat duduk sang nenek. Anehnya, sama sekali tidak terlihat air mata. Mereka, sambil menyantap nasi jagung yang keras dan hambar, berulang kali memandangi mayat yang wajahnya mulai mengembang itu, berujar, “Nenek sungguh cantik. Sungguh cantik.” Beberapa kerabat juga mengambil gambar dengan telepon genggam, dari diri mereka yang berdiri berdampingan atau bahkan sambil memeluk mayat itu.
Bagi pemeluk agama tua Toraja di pegunungan terpencil di pedalaman Sulawesi, putusnya napas belum otomatis berarti mati. Hingga kemarin, sang nenek dianggap masih sebagai “orang sakit”. Baru tengah malam kemarin, semua anggota keluarga berkumpul dari seluruh penjuru Toraja untuk berembuk mengenai bagaimana upacara kematian nenek akan digelar. Ketika kata sepakat dicapai, seekor kerbau disembelih, genderang ditabuh, raung-raungan tangisan meledak, dan nenek itu pun dinyatakan mati—untuk pertama kalinya.
Mereka mendandani jenazah perempuan dengan pakaian penari. Apabila yang meninggal laki-laki, maka pada kepalanya akan dipasangi sepasang tanduk kerbau besar. Setelah didandani, mayat didudukkan di atas kursi dari bilah bambu.
Mayat duduk adalah pemandangan langka. Seorang lelaki desa berkata kepada saya, “Kamu sangat beruntung. Kamu orang luar kedua yang pernah menyaksikan ini di desa kami.”
Tidak semua mayat boleh didudukkan. Syarat pertama, yang meninggal haruslah anggota dari kasta tertinggi. Kedua, keluarganya harus mampu untuk menggelar upacara besar, sedikitnya mengorbankan tujuh ekor kerbau—paling murah Rp 20 juta seekor. Syarat ketiga adalah yang paling sulit: almarhum haruslah masih pemeluk agama tua Toraja.
Agama tua kini dikenal sebagai aluk to dolo—secara harfiah berarti “agama orang dulu”. Pada mulanya, semua orang Toraja adalah pemeluk aluk. Ketika pada abad ke-17 kebanyakan kerajaan di Sulawesi di sekeliling Toraja telah menjadi Islam, Toraja tetap hidup dalam dunia mereka sendiri, dibentengi gunung-gunung menjulang, tidak tertaklukkan. Agama Kristen pertama kali masuk Toraja pada awal abad ke-20, tetapi mereka butuh waktu puluhan tahun untuk benar-benar menancapkan akar di sini. Bahkan pada era 1970an, sebagian besar penduduk Toraja masih pemeluk aluk.
Tetapi kini, jumlah mereka tidak sampai 1 persen dari penduduk Toraja. Untuk menemukan masyarakat pemeluk aluk ini, saya harus menempuh perjalanan mengerikan dengan sepeda motor dari pusat Toraja, delapan jam hanya untuk jarak 70 kilometer, mendaki gunung-gunung terjal bersimbah lumpur. Distrik Simbuang teronggok sudut terjauh pada barat-daya Toraja, sulit dicapai dari mana-mana, dianggap sebagai basis terakhir pemeluk aluk di Toraja.
Bahkan di sini pun, mereka telah menjadi minoritas. Di antara anak-anak nenek yang meninggal itu, satu telah menjadi Katolik, satu telah menjadi Kristen, satu anak laki yang masih pemeluk aluk—tetapi dalam waktu dekat juga akan dibaptis menjadi Kristen. Sementara generasi cucu mereka di seluruh desa tidak ada satu pun yang aluk.
Sejak berkuasanya rezim Orde Baru Suharto yang antikomunis pada akhir 1960an, semua orang Indonesia diwajibkan beragama. Mereka harus memilih satu dari lima agama yang diakui pemerintah: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama tercantum pada KTP setiap warga. Ini masalah bagi mereka yang agamanya tidak diakui pemerintah, terutama ratusan agama tradisional yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Mereka sering dianggap tidak beragama, tidak bertuhan, sesat, terbelakang, tidak bermoral, atau lebih buruk lagi: ateis dan komunis. Mereka akan sulit mencari pekerjaan, sedangkan anak-anak akan sulit mendapat ijazah dari sekolah karena tidak akan lulus dari pelajaran agama—yang merupakan mata pelajaran wajib di negeri ini. Kalau tren ini berlanjut, kita bisa berasumsi, dua puluh tahun lagi semua pemeluk aluk akan punah di Toraja.
Supaya bisa bertahan, agama-agama tradisional terpaksa melebur ke salah satu agama yang diakui. Islam dan Kristen sama-sama memandang ritual-ritual tradisional Toraja—yang berasal dari aluk—sebagai kepercayaan kafir yang harus diberantas. Karena itu, aluk terpaksa menyamar sebagai “agama Hindu Toraja”—walaupun sulit kita menemukan hubungan antara Toraja dan India.
Tetapi mungkinkah untuk mencabut aluk dari Toraja? Aluk selalu ada dalam ritual kematian Toraja. Aluk ada pada sistem pembagian daging korban dan sistem kasta. Aluk ada pada arsitektur dan setiap detail ukiran rumah tradisional Toraja. Aluk ada pada sejarah dan legenda, filosofi, kebanggaan. Kalaupun aluk tak bisa bertahan sebagai agama, roh aluk tetap akan mengalir bersama darah orang Toraja. Kini, mayoritas penduduk Toraja memang telah menjadi Kristen, tetapi mereka masih menjalankan ritual-ritual penghormatan mayat yang berasal dari kepercayaan aluk—yang telah disederhanakan dan dikristenkan oleh Gereja.
Aluk, melalui berbagai ritual kematiannya, adalah cara Toraja memaknai kehidupan dan kematian: bahwa kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Pemahaman ini membuat orang-orang Toraja tampak sangat tenang menghadapi kematian anggota keluarga. Mereka merayakan kematian, sebagaimana mereka merayakan kehidupan. Mereka bahkan menyebut ritual kematian sebagai “pesta”.
Di Toraja, kematian justru mempersatukan kehidupan. Kematian nenek tua ini mendatangkan ratusan sanak saudara dari seluruh penjuru Indonesia. Beban biaya korban pemakaman yang mahal akan ditanggung bersama semua anggota keluarga besar—ribuan orang jumlahnya—sehingga menciptakan suatu ikatan kekeluargaan yang kokoh. Ketika malam menjelang, orang-orang bergandeng tangan membentuk lingkaran, melantunkan lagu-lagu untuk mengenang si mati. Kebersamaan dan keceriaan, tawa lepas dan kerinduan para kerabat yang lama tak berjumpa…sekilas kau mungkin mengira ini adalah pesta reuni ditemani api unggun, bukannya acara kematian.
Sementara di dalam ruangan, anak perempuan sang nenek, duduk di bawah mayat duduk ibunya, tetap tersenyum pada saya, berkata, “Nenek sungguh beruntung. Semasa hidup, dia tidak pernah keluar kampung. Ke Makassar pun tidak pernah. Sekarang, dengan kamu di sini, foto-foto Nenek akan keliling dunia.”
Mendengar itu, malah saya yang menangis.
Sebuah catatan dari Simbuang, Tana Toraja, 12 Juni 2016
Nenekku di sibuang pada jamannya itu mendapat pelajaran oleh belanda cara buat keju dan menjahit.oh ya menurut cerita nenekku itu miliki banyak kaunan.nenekku itu selalu menunggang kuda dan jika turun dari kuda maka datanglah kaunan itu untuk menaruh nenekku di atas punggungnya,jadi nenekku itu tidak injak tanah. Tapi sekarang kedengarannya cerita itu sudah mulai di putar balik.
Setuju dengan pemikiran Mas Agus. Saya juga heran melihat Indonesia; mengagung-agungkan agama impor, mengharamkan agama-agama asli dari tanah sendiri.
mas Agus, mohon penjelasannya mengenai tulisan mas yg mengatakan ” Islam dan Kristen sama-sama memandang ritual-ritual tradisional Toraja—yang berasal dari aluk—sebagai kepercayaan kafir yang harus diberantas… sumbernya darimana, kekristenan di toraja tdk pernah memandang kafir ritual” tersebut.. contoh ritual apa yg dimaksud atau di anggap kafir oleh kekristenan di Toraja,.. siapa yang memandang kafir kepercayaan tradisional itu? mohon penjelasannya!.. salam Pemuda Toraja..
Sungguh beruntungnya Indonesia, punya penulis seperti dirimu, mas.
Selain mengabadikan foto, juga mengabadikan momen langka yang tak setiap hari jadi. Dan saya pun baru tahu kalau ada agama/tradisi Toraja yang versi detail seperti ini. Agamanya Aluk. Sangat menarik.
Masih teringat melihat foto nenek
Meskipun sudah hampir satu tahun sudah di pesta
Kami tetap mengenangmu nenek .
Ada ka bukunya di gramedia makassar ?
Inilah kami “Toraja”