Tersandera oleh Batas
Ketika Wilem Bab, seorang lelaki Papua, menerima bendera merah putih dari sepasukan 50 tentara perbatasan Indonesia yang berpatroli ke kampungnya, dia bingung. Para tentara itu menyuruhnya mengibarkan bendera itu di kampung Digo, karena, mereka bilang, ini tanah Indonesia. Sedangkan Wilem merasa kampungnya itu berada di Papua Nugini.
Kampung Digo terletak di tengah hutan rimba pada daerah perbatasan Indonesia—Papua Nugini. Garis perbatasan di ujung timur Indonesia itu adalah garis lurus yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 740 kilometer. Di barat garis adalah Indonesia, di timur garis adalah Papua Nugini. Secara geografis, Digo sebenarnya terletak 5 kilometer di barat garis, yang artinya sudah masuk wilayah Indonesia.
Wilem termasuk lelaki tertua di kampung Digo. Orang Melanesia berkulit hitam itu mengaku baru berumur 41 tahun, tetapi kerut-kerut mendalam di wajahnya itu membuatnya terlihat seperti 60 tahun. Kabar Wilem menerima bendera Indonesia itu langsung menyebar ke desa-desa Papua Nugini di sekitar. Ketakutan mencekam: Indonesia akan jajah kita. Mereka marah, mendesak Wilem segera mengembalikan bendera itu ke Indonesia.
Perjalanan Wilem menuju pos tentara Indonesia di desa Indonesia terdekat tidaklah mudah. Wilem berjalan kaki dua hari, menginap semalam di hutan rimba, menyeberangi empat sungai kecil plus tiga sungai besar yang deras dan sedalam kepala. Di hutan ada ular, di sungai ada buaya. Sesampainya di desa Indonesia itu, Wilem melihat dunia yang sama sekali berbeda: desa Indonesia diterangi listrik, dihuni orang Asia berkulit lebih terang. Sayang, Wilem gagal dalam misinya. Tentara Indonesia bersikukuh dia harus menyimpan bendera itu. Para tentara itu bilang, “Kami tahu kalian orang Papua Nugini. Tapi, kalian tinggal di wilayah Indonesia. Bendera ini adalah demi keamanan kalian.”
Garis perbatasan itu sebenarnya adalah peninggalan dari negara-negara imperialis Barat, digambar oleh Inggris dan Belanda pada tahun 1895, dan kini diwarisi sebagai pembatas antara negara merdeka Indonesia dan Papua Nugini. Di alam nyata, garis ini sama sekali tidak terlihat, berada di tengah rimba lebat, dan sulit dipercaya akal sehat. Digo mungkin memang berada di Indonesia, tetapi Papua Nugini jauh lebih mudah diakses dari Digo. Desa Papua Nugini terdekat cuma satu hari jalan kaki melewati hutan, menyeberangi tiga sungai kecil, sepuluh sungai sangat kecil, satu rawa sagu, tiga bukit terjal. Tentu, ini pun sebenarnya bukan perjalanan mudah.
Saya mencapai Digo dari Papua Nugini, tanpa melalui formalitas imigrasi apa pun juga, walaupun saya sudah melewati perbatasan internasional. Kampung berpenduduk 300 jiwa ini sangatlah terpencil dan miskin. Rumah-rumah gubuk berpanggung bertebaran jarang di atas tanah merah, terbuat dari kayu pohon dan ditudungi daun sagu. Bocah-bocah bertelanjang bulat berlarian, kurus berperut buncit, diselimuti kurap dari kepala sampai kaki. Penduduk makan pisang mentah, sagu, keladi, ubi rambat. Mereka tidak pernah makan ikan, karena sungai tercemar limbah pertambangan. Mereka tidak sanggup membeli gula, garam, teh, kopi. Mereka tidak pernah mandi pakai sabun. Banyak anak mati digigit ular atau diseruduk babi. Banyak ibu hamil mati karena tidak ada klinik dan obat. Di sini, umur 30 tahun sudah tergolong tua.
Satu hal yang tidak diketahui para tentara Indonesia itu adalah, penduduk Digo sejatinya memang berasal dari Papua di sisi Indonesia. Orang-orang tua di Digo masih bisa berbicara bahasa Melayu—bahasa nasional Indonesia. Keberadaan mereka ini terkait dengan aktivitas Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Papua adalah wilayah yang agak belakangan masuk wilayah Indonesia, setelah referendum kontroversial tahun 1969. Sejak itu, gerakan menuntut kemerdekaan oleh orang Papua ditanggapi dengan represi oleh aparat Indonesia. Tahun 1984, aktivis Papua Merdeka merencanakan kudeta, tetapi sudah digagalkan oleh intel Indonesia sebelum rencana mereka terlaksana. Aparat Indonesia menangkapi dan membunuh para aktivis. Banyak aktivis melarikan diri ke Papua Nugini. Para aktivis itu juga memobilisasi pengungsian besar-besaran warga-warga kampung sepanjang perbatasan, sehingga lebih dari 11.000 orang Papua menyeberang batas ke Papua Nugini. Tujuannya adalah membuka mata dunia, bahwa sesuatu yang sangat salah sedang terjadi di Papua.
Tiga puluh tahun berlalu sejak eksodus itu, ribuan pengungsi Papua masih berdiam di wilayah Papua Nugini, menghuni kamp-kamp yang tersebar di sepanjang perbatasan. Mereka yakin, jika mereka terus tinggal di batas, terus “mengawal garis batas”, cita-cita mereka akan Papua Merdeka akan tercapai. Itulah yang diinstruksikan para pemimpin pergerakan, yang kini kebanyakan bermukim di negara Barat.
Warga Digo semula disambut hangat laksana saudara oleh orang-orang Papua Nugini, karena kesamaan ras Melanesia. Tetapi hanya dalam tiga tahun sejak kedatangan mereka, perselisihan dengan penduduk setempat semakin memanas soal tanah dan makanan. Akhirnya, mereka tidak punya pilihan selain mundur lagi ke barat, hingga ke tengah hutan ini, tanpa menyadari bahwa mereka telah kembali lagi ke wilayah Indonesia.
Penduduk Digo banyak yang tidak tahu tentang sejarah besar itu. Mayoritas mereka lahir sesudah pengungsian 1984. Mereka juga tidak tahu kenapa mereka bisa tinggal di hutan semiskin ini. Mereka cuma bisa bertanya-tanya: Kenapa di sini tidak ada sekolah? Tidak ada rumah sakit? Tidak ada jalan? Kenapa pemerintah Papua Nugini tidak membangun apa-apa untuk kami?
Di tengah keterbatasan, warga Digo terpaksa bergotong royong membangun sekolah sendiri, berupa gubuk kumuh. Gurunya cuma satu, orang Digo juga, yang mendapat gaji dari pemerintah Papua Nugini. Setiap pagi guru perempuan itu memulai kelas dengan memimpin murid-murid menyanyikan lagu kebangsaan Papua Nugini. O arise all you sons of this land…
Beberapa bulan sebelum kedatangan saya ke sini, adalah untuk pertama kalinya Digo “ditemukan” oleh tentara Indonesia. Mereka datang dalam rangka patroli rutin perbatasan, dan kebetulan mengambil rute yang tidak biasanya di tengah hutan lebat ini. Mereka begitu terkejut menemukan Digo, dan lebih terkejut lagi melihat kok ada sekolah Papua Nugini di wilayah Indonesia. Itulah sebabnya mereka memberikan bendera merah putih kepada Wilem. Para tentara itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Wilem dan semua warga Digo berhubungan dengan Organisasi Papua Merdeka—musuh besar mereka.
Tetapi Wilem juga tidak menganggap tentara Indonesia sebagai musuh. Dia tetap menyimpan bendera itu, karena dia punya mimpi besar. Beberapa minggu lalu, Wilem diam-diam pergi lagi ke kampung Indonesia terdekat. Kepada kepala kampung Indonesia, Wilem memohon supaya jalan yang akan dibangun di sisi Indonesia, bisa disambungkan sampai ke Digo. Kepala kampung Indonesia itu mengangguk setuju. Wilem gembira sekali, membayangkan rumah seng, listrik, jalan raya, gereja segera masuk ke kampungnya.
Tetapi begitu Wilem pulang ke Digo, warga kampungnya marah besar. Mereka takut kelakuan Wilem bisa membuat desa-desa Papua Nugini marah, nanti orang Digo tidak boleh pergi sekolah dan gereja di Papua Nugini lagi. Ada pula yang bilang, Wilem mestinya tunggu dulu Papua merdeka dari Indonesia.
“Orang-orang kampung benci saya berteman dengan Indonesia,” kata Wilem. “Tapi, kita sebenarnya siapa? Kalau Indonesia bangun jalan ke sini, kita ikut Indonesia. Kalau Papua Nugini bangun jalan ke sini, kita ikut Papua Nugini. Tentang politik, kita hanya rakyat kecil, kita hanya tunggu yang di atas,”—maksudnya adalah para petinggi OPM di luar negeri. “Kita ini manusia, bukan anjing babi punya anak. Tapi kau lihat sendiri, hidup di sini bukan untuk manusia.”
Saya bertanya, di manakah bendera itu.
Lesu, Wilem mengambil sebuah kotak kayu, di sudut gubuknya yang kosong melompong tanpa barang apa-apa. Bendera itu, masih di dalam kantong plastik yang sama, teronggok di dalam kotak. Tak pernah sekali pun bendera itu berkibar di langit Digo.
Bendera itu terbentang di hadapan saya. Bendera merah putih yang masih baru tapi sudah lusuh, putihnya kelunturan merah. Selembar bendera yang sempat memberi Wilem begitu banyak harapan, tetapi kemudian pupus lagi. Toh impian memang tidak bisa ditebus hanya dengan selembar bendera.
Catatan dari Digo, perbatasan RI–PNG, 23 Oktober 2014
看不懂😵
Memang begitu dilema hidup di perbatasan mas, hidup d negeri sendiri tp ngk mrs px hk sbg wrga negara, kl ke negara tetangga, kadang diakui keluarga, tp ngk dianggap/ d sebut imigran gelap oleh negara tsb? Serba salah?
Mas Agus, Kapan buku tentang Papua Nugini terbit? Ditunggu….
apakah NKRI ini hanya sebagai slogan slogan bagi orang orang yang hidup di ambang kenyamanan? tapi melihat,membaca dan membayangkan warga Digo yang sangat pasrah ketika harus memperjuangkan mereka berada di negara mana adalah sebuah dilema.Usang hanya sampai di perbatasan Sota,merauke.
Seandainya di Digo dekat dengan sota,mungkin kondisinya tidak seperti sekarang
Mas agus, boleh tidak cerita tentang tersandera oleh Batas saya sadur, hal itu bagus untuk memotifasi saudara kita Papua supaya tidak berfikiran Merdeka, karena hal tersebut belum tentu akan membuat mereka maju, terintegrasi dengan Indonesia adalah sebuah kekuatan yang besar, dan yang harus kita fikirkan bersama adalah bagaimana caranya mengawasi implememntasi dana Otsus dan dan meratanya pembangunan di Papua, sehingga angka kemiskinan dapat ditekan,dan keadilan dapat merata. Karena Papua itu Kita dan Kita adalah Papua.
really? papua adalah kita dan kita adalah papua? lalu kenapa warga papua diburu dan dibunuh hanya karena mengutarakan hal yang sebenarnya termasuk kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Indonesia? lalu kenapa frans kaisiepo dilecehkan “kera”? orang seperti kalian lah yang justru membuat negara ini tidak maju
Nah ini ada kera lagi
Mas Agus terimakasih untuk tulisannya, saya sampai membaca semua postingan mas yang ada label Papua nugini, sangat menarik, membuat saya sedikit lebih tahu tentang kehidupan disana, seakan memiliki sudut pandang baru, setiap kali melihat infrastruktur kota, aspal yang halus, penerangan, atau segala macam hiburan membuat saya teringat penduduk Daru atau desa Ber yang serba kekurangan, dan membuat saya bersyukur akan hidup saya sekarang. Bicara soal tulisan, terakhir kali mas Agus posting itu bulan may 2017 loh, sudah lama sekali, gak ada niatankah menulis lagi di blog ini mas Agus? tentang perbatasan RI-Timor leste mungkin? Atau ke pulau Miangas? pulau terluar yang bahkan lebih dekat ke filipina. Untuk saya yang tidak memiliki kesempatan melangkahkan kaki ke negeri2 jauh, sangat menyenangkan sekali membaca tulisanmu.
Salam kenal,
-Fenny
thx atas tulisannya, sangat menarik dan menambah wawasan
Saya terpaku dan terpana mengikuti tulisan Anda, Mas Agus.
Benar-benar mengungkapkan kesedihan para pengungsi OPM yang terombang-ambing di antara dua negara