Ferghana: Lembah Hijau Bertabur Konflik
Artikel ini ditulis untuk majalah Chinese National Geography.
“Pergilah ke kampung halaman kami di Lembah Ferghana,” seorang Uzbek pernah berkata kepada saya. “Di sana akan kau temukan keramahtamahan orang Uzbek yang sesungguhnya. Setiap pintu akan terbuka bagi semua tamu, bahkan bagi orang yang tidak dikenal sekalipun.”
Lembah Ferghana menempati posisi istimewa di hati orang Uzbekistan. Ferghana sering dianggap sebagai jantung kebudayaan Uzbek. Di sinilah konon dituturkan bahasa Uzbek yang paling murni. Islam juga mengakar kuat dalam keseharian hidup orang-orangnya, bercampur dengan tradisi budaya mereka yang sangat kental.
Kondisi geografis Ferghana juga istimewa. Manakala sebagian besar wilayah Uzbekistan dan Asia Tengah didominasi padang rumput, gurun pasir, dan pegunungan, wilayah Ferghana yang dikepung oleh Pegunungan Tian Shan di utara dan Gissar-Alai di selatannya ini justru utamanya berupa dataran luas yang sangat subur. Kesuburan Ferghana ini adalah berkat aliran anak-anak sungai Syr Darya, yang menjadikannya sebagai sumber makanan terpenting di seluruh Asia Tengah, dengan produk utama berupa beras, gandum, kapas, dan buah-buahan. Kesuburan itu pulalah yang menjadikan Ferghana sebagai daerah yang paling padat penduduknya di kawasan ini. Sekitar seperempat populasi Asia Tengah (14 juta dari 63 juta) tinggal di lembah yang seluas 22.000 kilometer persegi, atau kurang dari 5 persen luas wilayah Asia Tengah ini.
Namun terlepas dari potensinya untuk menjadi daerah yang teramat makmur, Ferghana justru menjadi daerah yang paling problematik. Wilayah Lembah Ferghana sering menjadi episentrum konflik di tingkat lokal maupun regional. Pembantaian etnik, gerakan militansi religius, hingga pertikaian perbatasan antar-negara yang bisa meletus menjadi kontak senjata, menjadikan Ferghana sebagai daerah yang cukup sensitif untuk dikunjungi dan cukup sulit untuk dipahami.
Mengapa daerah yang tersohor untuk keramahtamahannya ini bisa menjadi begitu bergejolak? Untuk memahami hal itu, mungkin yang terbaik bagi kita adalah terlebih dahulu menelusuri bagaimana semua kerumitan Ferghana ini bermula.
Dari Kuda ke Sutra
Ferghana sebenarnya adalah negeri yang tidak terlalu asing dalam sejarah Cina. Dikenal dengan nama kuno Dayuan, Ferghana tersohor sebagai penghasil kuda berkeringat darah. Ketika Zhang Qian diutus Kaisar Han pada abad ke-2 SM untuk mencari negeri Yuezhi, dia melewati Ferghana, dan terpukau oleh kuda-kudanya yang perkasa. Kuda Ferghana dipercaya berasal dari langit dan yang paling perkasa di medan pertempuran.
Sejarah Asia Tengah memang tidak bisa terlepas dari kuda. Penjinakan kuda pertama kali terjadi sekitar 4000 SM di padang rumput Pontus-Kaspia, di ujung barat padang rumput Eurasia, di sekitar wilayah Ukraina modern. Dengan adanya kuda, manusia akhirnya bisa menggembala sambil berpindah-pindah, sehingga terciptalah gaya hidup penggembalaan nomaden. Kuda juga memungkinkan para nomad pertama itu untuk bebas mengembara melintasi padang rumput Eurasia yang membentang sejauh 8.000 kilometer dari Eropa Timur sampai ke Manchuria. Para nomad pertama itu adalah leluhur penutur bahasa-bahasa Indo-Eropa, dan berkat kudalah bahasa-bahasa itu bisa menyebar ke berbagai penjuru Eropa, India, dan Iran.
Salah satu nomad pertama yang keluar dari padang rumput Pontus-Kaspia adalah para penutur bahasa Tokharia, yang sejak sekitar 3500 SM terus bergerak ke timur hingga akhirnya mencapai Cekungan Tarim di Cina Barat. Bukti dari migrasi ini adalah ditemukannya ratusan mumi berusia tiga ribuan tahun di gurun Taklamakan di Xinjiang, dengan bentuk fisik menyerupai orang Skotlandia—tinggi badan dua meter, memiliki bahu lebar, rambut merah, dan warna mata terang. Keturunan orang Tokharia inilah yang kemudian di Cina dikenal sebagai Yuezhi.
Babak penting berikut dalam sejarah kaum nomad adalah ketika para nomad Skithia (juga penutur bahasa Indo-Eropa) penghuni padang rumput Kazakhstan sekitar 3.000 tahun silam berhasil menciptakan kereta perang, pelana kayu, sanggurdi, dan busur gabungan. Ini adalah revolusi besar dalam sejarah perang dunia. Kaum nomad itu telah menguasai teknik untuk meluncurkan panah dengan kekuatan luar biasa sekalipun sambil menunggang kuda. Para nomad itu menjelma menjadi mesin tempur yang ditakuti bangsa-bangsa mana pun.
Bukan hanya menyerang negeri-negeri agraris sedentair, para nomad justru lebih banyak berperang di antara sesama mereka sendiri. Gaya berperang mereka juga unik, karena medan perangnya adalah padang rumput Eurasia yang datar, luas, dan kosong. Jika satu kelompok nomad kalah ketika diserang kelompok nomad lain, mereka cukup “bergeser” ke padang rumput berikutnya, dan jika di padang rumput yang baru itu sudah dihuni kelompok nomad yang lain, maka akan terjadi perang lagi, dan yang kalah akan “bergeser” ke padang rumput berikutnya. Perang berantai ini menimbulkan migrasi berantai seperti efek kartu domino. Pada masa Zhang Qian berkunjung ke Asia Tengah, kawasan Asia Tengah termasuk Ferghana didominasi Skithia (Sai-wang), sedangkan Tokharia (Yuezhi) telah berpindah dari Cina Barat ke Asia Tengah lalu ke Afghanistan Utara.
Tetapi kehidupan kaum nomad bukanlah semata-mata tentang perang. Pada masa itu, kuda perang hanya dihasilkan oleh kaum nomad penghuni padang rumput Eurasia. Negeri-negeri agraris di sekeliling padang rumput itu, seperti Cina, Persia, dan Mesopotamia, harus membeli kuda dari kaum nomad demi memperkuat pasukan militer mereka. Hubungan perdagangan kuda ini menciptakan zona transisi pada perbatasan padang rumput dengan negeri agraris, tempat para nomad dan para petani hidup berdampingan dan berdagang. Ferghana dan Lembah Amu Darya di Uzbekistan adalah salah satu contoh dari zona transisi ini.
Pada zona transisi ini, para nomad perbatasan bisa mengumpulkan barang-barang komoditas negeri agraris. Tetapi barang-barang itu tidak hanya berhenti di sana. Sebagai pemilik kuda dan satu-satunya jawara penguasa padang rumput, kaum nomad bisa dengan leluasa mengangkut barang-barang itu melintasi padang rumput Eurasia yang luas membentang. Berkat para nomad, barang-barang itu akhirnya mencapai zona perbatasan dari negeri sedentair lainnya yang terletak ratusan hingga ribuan kilometer jauhnya di seberang padang. Ini kemudian menciptakan sebuah jaringan perdagangan global di zaman kuno, dan membuat banyak kelompok nomad menjadi luar biasa kaya. Skithia misalnya, yang selama empat abad merajai padang rumput dari Eropa sampai Asia, menjadi sangat makmur karena menjual gandum pada Yunani yang membayar mereka dengan emas.
Pada akhir abad ke-2 SM, Kaisar Cina Han Wudi melancarkan dua perang sekaligus atas kaum nomad, yaitu melawan Xiongnu dan menyerang Ferghana (yang rajanya menolak untuk menjual kuda perang kepada Cina). Kemenangan dalam kedua perang itu membuat Cina berhasil mendapatkan akses langsung ke padang rumput Asia Tengah, dan seketika terkoneksi dengan semua peradaban agraris lain di seberang padang rumput Eurasia—India, Persia, dan Romawi. Demikianlah tercipta sebuah rute perdagangan legendaris yang kemudian dikenal sebagai “Jalan Sutra”.
Nama “Jalan Sutra” ini sebenarnya menyesatkan. “Jalan Sutra” bukan dimulai dengan perdagangan sutra dari Cina, melainkan jaringan perdagangan kuda yang dibangun para nomad. “Jalan Sutra” juga bukan satu jalan panjang yang tidak putus-putus ribuan kilometer. Karavan-karavan saudagar Jalan Sutra umumnya hanya melintasi sepotong-sepotong jalan pendek dalam radius yang tidak terlalu jauh dari tempat asal mereka. Sebagian besar rute ini juga melewati bentang-bentang alam yang paling tidak bersahabat di muka bumi, yang tidak mungkin bisa dilintasi sembarangan orang. Untuk sektor padang rumput Eurasia, peran utama pembawa barang dagangan ini tetap dipegang oleh kaum nomad, atau setidaknya, keturunan mereka.
Salah satu kaum saudagar legendaris dalam sejarah Jalan Sutra adalah Sogdia. Mereka adalah bangsa Indo-Eropa keturunan nomad Skithia—perhatikan betapa miripnya pengucapan kedua nama ini. Orang-orang Sogdia tidak lagi hidup nomaden, melainkan menetap di daerah sekitar sungai Syr Darya dan Amu Darya, termasuk Lembah Ferghana. Merekalah yang pertama membangun kota agung Samarkand. Para pedagang Sogdia ini sangat piawai dalam berbisnis. Konon mereka mengolesi mulut bayi-bayi yang baru lahir dengan madu, supaya jika kelak dewasa tutur kata mereka juga akan semanis madu. Bukan hanya berdagang, mereka juga bertani, sehingga padang rumput Asia Tengah juga mulai memproduksi anggur, melon, semangka, kain linen, pakaian, dan permadani. Kota-kota padang rumput pun berubah menjadi kosmopolitan pusat peradaban.
Di selatan negeri orang Sogdia adalah negerinya para nomad Tokharia (Yuezhi). Di Afghanistan mereka mendirikan Kekaisaran Kushan. Sekitar abad ke-1 M, Buddhisme menyebar ke Kushan dari India Utara melalui jalur perdagangan, dan pada abad ke-2 M, Kaisar Kushan memeluk agama Buddha dan menjadi pelindung agama Buddha. Di bawah Kushan, Afghanistan berkembang menjadi pusat peradaban Buddhis yang terkemuka.
Setelah Kushan menjadi Buddhis, para pedagang Sogdia yang tinggal di Amu Darya dan Ferghana juga turut menjadi Buddhis. Para pedagang Sogdia ini tidak kalah antusias daripada Kushan. Mereka membangun stupa-stupa Buddha sepanjang lintasan utama Jalan Sutra, juga menyebarkan Buddhisme ke Cina. Pada abad ke-5 M, Buddhisme telah menjadi agama besar di Cina, dan sejak itu menjadi budaya asing yang terpenting dan paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Cina.
Bukan hanya agama Buddha, penyebaran agama-agama lain juga harus berterima kasih pada Jalan Sutra yang dibangun para nomad ini. Ini termasuk Kristen, Mani, Yahudi, dan terutama Islam. Semua agama besar itu mengalir dari Barat ke Timur. Sementara itu, berlawanan arah dengan penyebaran agama, beragam teknologi mengalir dari Timur ke Barat. Ini termasuk teknik pembuatan sutra, kertas, bubuk mesiu, teknik percetakan, sampai ilmu pengobatan herbal.
Hingga hari ini, sutra masih merupakan bagian kehidupan yang sangat penting di Ferghana, dan tidak ada satu hari pun orang bisa lepas dari sutra. Di Margilan, sebuah kota kecil di Lembah Ferghana yang sudah berusia 2.000 tahun, terdapat pabrik sutra yang masih mempertahankan teknik tradisional dari Cina untuk memproduksi tenunan sutra berkualitas tinggi. Tenunan sutra atlas dari Ferghana bahkan telah menjadi pakaian nasional para perempuan Uzbekistan. Selain bahan pakaian, orang Ferghana juga menggunakan sutra untuk mas kawin, taplak meja, bahkan sebagai kain pembungkus roti nan. Mereka pun mengadopsi sebagian gaya hidup yang berasal dari Cina, seperti meminum teh, juga menyantap mi laghman, dan bakpao panggang.
Halaman Selanjutnya
Selalu enak dibaca….
gamblang dan sangat jelas, saya suka
Ternyata sangat rumit sekali ya persoalan-persoalan yg ada di wilayah Asia Tengah. Bersyukur hidup di Indonesia yg masih bisa damai dan tentram tanpa harus mengalami konflik yg menegangkan dan berbahaya dengan negara tetangga.
Tulisannya panjaaangggg tapi tetap nyandu utk dibaca smp akhir.👌👍
Bacaan gurih menemani perjalanan, bersyukur Indonesia merasakan damai
iya damai lah indonesia ku disanalah pusara ayah bunda ku.
ke sana lah aku akan kembali