Ferghana: Lembah Hijau Bertabur Konflik
Warisan Konflik
Warisan Soviet yang paling tidak masuk akal di Lembah Ferghana adalah taburan sembilan enklaf yang tersebar acak di berbagai penjuru. Enklaf adalah wilayah sebuah negara yang terpisah dari daratan utama negaranya dan sepenuhnya dikelilingi wilayah negara lain. Di dalam Kirgizstan ada Uzbekistan, di dalam Uzbekistan ada Kirgizstan, dan ada Tajikistan di dalam Uzbekistan dan Kirgizstan. Banyak enklaf ini sangat kecil, seperti titik noktah yang bahkan tidak terlihat di peta. Namun ada pula yang sangat luas, terdiri atas beberapa desa sekaligus dan dihuni ratusan ribu orang. Enklaf-enklaf ini juga sulit dipahami mengapa harus ada. Misalnya Sokh, enklaf terbesar, adalah wilayah Uzbekistan yang terdampar di dalam Kirgizstan, tetapi dihuni etnik Tajik.
Masalah lain Ferghana adalah fundamentalisme religius. Dalam sejarahnya, Ferghana sangat konservatif dalam hal agama, bahkan cenderung militan dan radikal. Setelah runtuhnya Soviet, gerakan militan radikal menguasai kota Namangan di Ferghana Uzbekistan, bertujuan untuk menegakkan hukum syariah dengan menggulingkan pemerintahan sekuler Uzbekistan yang sah. Pada saat bersamaan, militansi religius juga merajalela di bagian Ferghana milik Kirgizstan dan Tajikistan, yang sama-sama berada sangat jauh dari kontrol pemerintah pusat masing-masing.
Kombinasi pelik dari radikalisme dan garis batas yang carut-marut menjadi bom waktu yang terus menggoyang Asia Tengah. Misalnya enklaf Sukh, yang menjadi lokasi persembunyian sempurna bagi para aktivis radikal. Walaupun Sukh adalah wilayah Uzbekistan, tetapi tentara Uzbekistan tidak bisa masuk situ, karena mereka harus melewati 20 kilometer wilayah Kirgizstan. Tentara Kirgizstan juga tidak bisa masuk situ, karena itu adalah tanahnya Uzbekistan. Pada tahun 2001, pemerintah Kirgizstan menandatangani perjanjian rahasia untuk memberikan sepotong tanah kecil kepada Uzbekistan sebagai koridor menuju Sukh. Tetapi itu menyebabkan protes luas di kalangan masyarakat Kirgizstan, sehingga kesepakatan dibatalkan dan hubungan kedua negara memanas.
Permusuhan di antara negara-negara itu sama sekali tidak membantu untuk meredam konflik di Ferghana. Demi alasan keamanan nasional, alih-alih bekerja sama dengan negara tetangga, Uzbekistan justru menanam ranjau di sekeliling perbatasan enklaf-enklafnya, dan menangkapi semua pelintas batas ilegal. Itu justru membuat penyelundupan semakin marak, dan malangnya, banyak peternak Kirghiz beserta hewan-hewan mereka yang menjadi korban karena tidak sengaja menginjak ranjau Uzbekistan. Masalah-masalah konkret di perbatasan seperti ini, ketika meluas ke publik, naik statusnya menjadi isu nasionalisme dan kebencian antar-bangsa.
Semangat permusuhan ini tidak terlepas dari proses pendefinisian bangsa-bangsa dan negara-negara yang dilakukan oleh Soviet hampir seratus tahun silam. Demi mempertahankan konflik di antara republik-republik Asia Tengah, Soviet sengaja menciptakan komunitas etnik minoritas yang cukup besar di masing-masing republik itu. Ketika kekuatan Soviet melemah, masyarakat Lembah Ferghana yang campur aduk secara etnik itu semakin mengasosiasikan diri dengan etnik masing-masing dan saling membenci satu sama lain.
Persengketaan atas hal-hal konkret seperti tanah dan sumber air bisa menjelma menjadi kerusuhan etnik yang sangat luas. Konflik berdarah terbesar meletus di Osh, kota di Lembah Ferghana milik Kirgizstan dan berbatasan langsung dengan Uzbekistan, pada tahun 1990 dan terulang kembali pada 2010. Kerusuhan antara etnik Kirgiz dan Uzbek—minoritas etnik terbesar di Kirgizstan—sering dimulai dengan isu kepemilikan tanah. Di puncak perang etnik 2010 itu, sekitar 75.000 pengungsi etnik Uzbek berusaha melarikan diri dari Kirgizstan menuju Uzbekistan. Namun pemerintah Uzbekistan sempat menutup rapat-rapat gerbang perbatasannya bagi orang-orang Uzbek dari Kirgizstan ini. Hanya tekanan masyarakat internasional yang bisa memaksa Uzbekistan akhirnya menerima para pengungsi itu. Kerusuhan itu seketika membuat hubungan antara Uzbekistan dengan Kirgizstan berada pada titik terendah.
Pasca kerusuhan, Uzbekistan menyadari perbatasannya dengan Kirgizstan di Lembah Ferghana sangat bocor, sehingga mereka secara sepihak segera membangun pagar di sepanjang garis perbatasannya. Halmiyon, desa perbatasan Ferghana yang pernah saya kunjungi sebelumnya, termasuk korban pertama. Pada gang sempit yang menjadi lokasi garis batas kedua negara itu, semua rumah di sebelah gang sisi Uzbekistan dirobohkan, penduduknya dipaksa pindah, dan tanahnya dikosongkan. Di situ kemudian dibangun pagar tinggi dengan kawat berduri, digali parit yang lebar dan dalam, dan dipatroli sepanjang hari oleh tentara bersenjata.
Ketika saya mengunjungi Halmiyon kembali pada tahun 2015, dia sudah bukan lagi desa perbatasan yang menyenangkan. Percakapan sehari-hari penduduk kini sering dibubuhi frasa “kita di sini” dan “mereka di sana”. Orang-orang Uzbek yang tinggal di sisi Kirgizstan, yang dulu hanya perlu menyeberang jalan kampung selebar empat meter untuk bertemu dengan sanak saudaranya, sekarang harus memutar lebih dari seratus kilometer hanya untuk pergi ke seberang pagar. Itu pun setelah mereka mendapat undangan visa yang disetujui pemerintah Uzbekistan, dikirim melalui telegram, dan hanya mengizinkan mereka bertandang maksimal tiga hari. Seorang lelaki tua yang saya temui, menjadi sebatang kara di sisi Kirgizstan karena semua anaknya tinggal di seberang pagar sana dan telah benar-benar menjadi “orang luar negeri”. Setiap hari dia duduk termenung memandangi pagar perbatasan itu, bertanya-tanya kenapa pagar terkutuk ini harus berada di sana.
Angin Perubahan
Politik isolasi yang dijalankan presiden pertama Uzbekistan, Islam Karimov, menimbulkan masalah serius bagi ekonomi Uzbekistan, terutama di Lembah Ferghana. Daerah yang terpadat di seluruh negeri ini sekaligus menjadi salah satu yang termiskin, terlepas dari potensi ekonomi dan kesuburan tanahnya yang luar biasa. Sejumlah besar lelaki muda Ferghana meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di luar negeri, terutama di Rusia dan Kazakhstan, di mana mereka hidup dengan kondisi yang sangat buruk dan terkadang mematikan. Selain itu, kebijakan Karimov yang cenderung represif untuk menekan militansi Islam di Ferghana justru menimbulkan kecemasan dan paranoia di kalangan penduduk lokal.
Kematian mendadak Presiden Karimov pada tahun 2017 setelah berkuasa selama 25 tahun membawa angin perubahan baru bagi Uzbekistan. Penggantinya, Mirzizoyev bertekad untuk melakukan reformasi terutama di bidang ekonomi, demi membujuk para pemuda Uzbek untuk pulang membangun negeri. Perlahan-lahan Uzbekistan melepas selubung isolasinya. Aturan-aturan birokrasi dipermudah dan persyaratan visa bagi pengunjung asing dilonggarkan. Kebijakan yang represif juga dikurangi, sehingga penduduk Uzbekistan bisa menikmati kebebasan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Terjadi perubahan yang signifikan pula dalam pola hubungan Uzbekistan dengan negara-negara tetangga. Permusuhan dengan Tajikistan diakhiri, perbatasan yang selama ini tertutup kini dibuka lebar, dan penduduk kedua negara bisa saling berkunjung tanpa visa. Peningkatan hubungan dengan negara-negara tetangga ini membantu Uzbekistan dalam mengurangi risiko ancaman keamanan regional, terutama yang berasal dari Lembah Ferghana.
Stalin telah memecah-belah Asia Tengah dengan tembok-tembok dan garis batas. Tetapi sejarah Jalan Sutra telah menunjukkan, bahwa tembok itu bukanlah sesuatu yang abadi dan tidak bisa dikalahkan. Sebaliknya, jalan dan jalur perdagangan bermanfaat untuk membuka hubungan interaksi antar-manusia—dan justru interaksi itulah yang membuat perekonomian maju dan peradaban bergerak.
Di abad ke-21 ini, Cina berusaha membangun inisiatif Jalan Sutra Baru, dan Asia Tengah tentu menjadi fokus utama. Uzbekistan telah menerima investasi dari Cina untuk membangun jalur kereta api yang menghubungkan Lembah Ferghana dengan ibukota Tashkent, juga merencanakan jalur kereta api yang menghubungkan Ferghana dengan Xinjiang di Cina. Sementara itu, proyek-proyek pembangunan jalan di Tajikistan dan Kirgizstan yang dibantu dengan dana Cina juga memprioritaskan pembangunan perhubungan dari kawasan Lembah Ferghana ke ibukota negara masing-masing. Perbaikan akses dari pusat-pusat negara ke Ferghana ini membantu untuk menggenjot ekonomi sekaligus memperkuat kontrol pemerintah pusat atas daerah yang terus bergejolak ini.
Jadi apakah masa depan bagi Ferghana? Sebagaimana hal-hal yang lain di Asia Tengah, segala sesuatu sulit diprediksikan secara pasti. Apakah Ferghana bisa kembali ke kejayaan masa lalunya sebagai daerah yang makmur dan berperadaban tinggi itu, semua tergantung dari kebijakan pemerintah negara-negara di kawasan itu dan bagaimana mereka membangun kerja sama satu sama lain di tengah kondisi geopolitik regional yang terus berubah.
Selalu enak dibaca….
gamblang dan sangat jelas, saya suka
Ternyata sangat rumit sekali ya persoalan-persoalan yg ada di wilayah Asia Tengah. Bersyukur hidup di Indonesia yg masih bisa damai dan tentram tanpa harus mengalami konflik yg menegangkan dan berbahaya dengan negara tetangga.
Tulisannya panjaaangggg tapi tetap nyandu utk dibaca smp akhir.👌👍
Bacaan gurih menemani perjalanan, bersyukur Indonesia merasakan damai
iya damai lah indonesia ku disanalah pusara ayah bunda ku.
ke sana lah aku akan kembali