Titik Nol 106: Opname
“Selamat pagi!”
Suntikan vitamin K itu menjurus tajam melintasi pembuluh vena, tepat ketika saya baru membuka mata. Suster kembali memasang jarum infus. Sakit. Sepanjang malam cairan gula disuntikkan terus-menerus ke dalam tubuh saya. Tak sebutir pun nasi mengalir melalui mulut saya. Semuanya ditembakkan langsung ke pembuluh darah.
Rombongan dokter India ‘berpatroli’ dari ranjang ke ranjang. Saya dikelilingi delapan orang dokter, semua berjubah putih. Ada bu dokter yang berambut tergerai, ada pak dokter yang gemuk, berkumis tebal dan berkaca mata. Ada yang menginterogasi, ada yang mencatat.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah mendingan? Bagaimana tidurnya? Apa warna air seninya?”
Di sebelah saya ada seorang Amerika yang juga diopname tanpa alasan jelas. Turis Amerika yang satu ini tampaknya kelelahan, keliling seluruh penjuru India dari Shimla sampai Tamil Nadu, dari Rajasthan sampai Bengal, hanya dalam waktu satu bulan. Kalaupun sakit itu sudah wajar. Dia hanya menderita pusing-pusing, lemas, dan diare, dokter sudah memerintahkan opname.
Saya sendiri sebenarnya penyakitnya ringan saja. Berapa juta penduduk India yang kena hepatitis kelas berat? Pasien di ranjang sebelah dari ujung kepala sampai ujung kaki warnanya kuning mengerikan. Di luar sana banyak pasien yang menderita TBC, kusta, tumor, dan penyakit seram lainnya, yang harus menunggu di lapangan, duduk di bawah teriknya matahari, menanti ranjang kosong untuk dirawat.
Mengapa kami harus diopname untuk penyakit-penyakit sepele? Ada berapa pasien malang yang harus menunggu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, untuk sebidang ranjang yang sekarang saya tiduri ini? Apakah karena kami orang asing sehingga mendapat perlakuan istimewa? Saya tak mampu berpikir banyak. Kepala saya pening, badan saya lemas, dan tangan saya berat dengan jarum besar yang tertancap menembus pembuluh darah.
Semalam saya hanya bisa terharu dengan perhatian pasien-pasien lain. Umumnya mereka punya sanak saudara yang menemani. Sedangkan saya, seorang backpacker nyasar yang sendirian di rumah sakit ini. Mereka jatuh iba, mengasihani kesendirian saya.
Ada bibi yang begitu baik, membantu saya mengangkat botol infus ketika saya harus ke kamar mandi. Ada paman yang mengajak saya bicara, mengisi kebosanan, sambil menggumam bahwa bule Amerika di ranjang sebelah sombong dan tidak mau bergaul dengan orang India. Ada lagi yang menawarkan buah-buahan. Ada yang menguatkan saya, bahwa kuning di mata saya akan segera hilang kalau saya turut perintah dokter.
Di balik wajah-wajah muram penuh kegelisahan itu pun masih berpancar senyum manis dan cinta kasih yang tulus.
Saya dipindahkan ke Ruang Opname Laki-laki. Di tangan kiri saya masih tertancap jarum infus. Tetapi hari ini saya sudah bisa makan, sehingga suntikan dekstrose sudah jauh berkurang.
Seorang petugas berkeliling membawa gerobak dorong berisi sarapan. Makanannya nasi dan bubur kentang. Pasien tidak perlu membayar, semuanya gratis. Tetapi rasa makanan ini, seperti makanan rumah sakit pada umumnya, hambar.
Saya ditempatkan di sebuah bilik berisi delapan ranjang. Di ruang besar sebelah ada selusin ranjang. Ada pintu yang menghubungkan kedua ruangan ini. Kedua bilik besar ini juga dihubungkan dengan kamar mandi dan ruang cuci tangan bersama. Kamar mandinya dalam kondisi yang membuat kita harus menahan nafas dan menutup mata ketika berada di dalamnya. Ruang cuci tangan dan cuci piring didominasi dua gunung sampah setinggi setengah meter. Segala macam sampah ada di sini. Mulai dari kulit jeruk, pisang, nasi sisa, sampai bekas muntah pasien. Dan menariknya, gunungan sampah ini berada tepat di sebelah bilik di mana kami dirawat. Tidak usah kaget kalau pasien harus tidur berkawan tikus.
Turis Amerika itu juga bersama saya, tetapi tak lama dia di sini sudah dijemput staf kedutaan yang ‘menyelamatkannya’. “Tidak seharusnya kamu berada di tempat ini,” kata diplomat bule berpakaian parlente menjemput backpacker itu pulang. Ada sebersit rasa iri melihat kedutaan negara adikuasa itu memperhatikan warga negaranya bahkan sampai turis miskin yang kesasar di rumah sakit macam ini.
Pindah ruangan bukan berarti saya bisa beristirahat total. Rumah Sakit Lady Hardinge adalah salah satu sekolah kedokteran perempuan paling bagus di negara ini. Siapa sangka, hari ini adalah hari ujian praktek mahasiswi, dan saya digiring ke ruangan khusus untuk diperiksa para mahasiswi.
Ruang Pemeriksaan Hepatitis adalah nama ruangan tempat ujian praktik dilangsungkan. Bersama saya ada empat pasien lain yang menjadi ‘bahan ujian’.. Ketegangan menghiasi wajah gadis-gadis berjubah putih dengan nomor urut tersemat di dada. Seorang gadis cantik kebagian memeriksa saya.
Ia meminta saya menjelaskan keluhan-keluhan saya. Dari pertanyaannya, nampaknya ia cukup siap dengan gejala hepatitis. Kemudian saya diperiksa dengan stetoskop dan tensimeter. Dada saya dipukul-pukul.
Gadis-gadis lain juga memeriksa pasien dengan berbagai keluhan berbeda. Saya mengamati para calon dokter ini. Mereka adalah gadis-gadis muda dengan cita-cita yang tinggi, mengabdikan diri bagi masyarakat India. Mereka adalah perempuan yang tak mau kalah dari kaum pria, dan punya optimisme yang terpancar di mata mereka.
Tetapi, namanya juga mahasiswi, ada juga kebiasaan yang mengingatkan saya pada zaman kuliah dulu. Ada yang bawa contekan, ada yang tanya pada peserta ujian sebelumnya, ada yang minta tolong kawannya. Macam-macam tekniknya. Tetapi yang kebagian memeriksa saya setidaknya termasuk beruntung, karena belum ditanya pun saya sudah aktif menjelaskan segala gejala penyakit yang saya alami. Yang kebagian pasien wanita tua di sebelah tentunya apes, karena si pasien ngambek dan menolak menjawab pertanyaan apa pun. Si mahasiswi sampai menangis kehabisan akal.
Saya juga tahu betul mengapa pasien itu ngambek. Saya sendiri harus mengulang-ulang jawaban yang sama, pemeriksaan yang sama, sampai tiga kali. Tiap kali pemeriksaan waktunya satu jam, diakhiri dengan tes lisan oleh dokter penguji. Saya ke sini bukannya beristirahat, malah kecapaian dijadikan bahan ujian.
Tetapi saya beruntung, tak semua orang punya pengalaman unik dari rumah sakit India seperti ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 Desember 2008
Ane baca yg nyampe di pakistan saat bantu korban gempa, kelanjutannya ane ga baca lg…
Ga punya kelanjutannya lg..
hahahahaha,