Recommended

Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO)

Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu?

Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan.

Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri.

Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India.

Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!”

Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, Amritsar dan Lahore adalah dua kota penting negara bagian Punjab. Setiap harinya, jutaan orang melintas. Hindu, Sikh, Muslim, tak ada bedanya. Kemudian berdirilah Pakistan, atas seruan Muhammad Ali Jinnah – Bapa Pendiri Pakistan, yang berkata, “Hindu dan Muslim adalah dua agama, filsafat, kebiasaan sosial, dan kesusastraan yang berbeda. Mencampurkan keduanya dalam negara yang sama, yang satu menjadi minoritas dan satunya mayoritas, akan membawa pertentangan dan kehancuran.”

Tanggal 15 Agustus 1947, lahirlah Pakistan ke muka bumi. Negeri yang dirayakan penuh sorak sorai sebagai kemenangan Muslim di British India. Pakistan merdeka sebelum batas negaranya jelas. Propinsi di barat sana, seperti Baluchistan dan Sindh yang mayoritas Muslim, sudah pasti masuk Pakistan. Tetapi Punjab dan Benggala, Muslim dan Hindu separuh-separuh. Belum lagi Kashmir yang mayoritas Muslim tetapi dipimpin oleh maharaja Hindu. Semua ini menjadi benih pertumpahan darah dalam sejarah singkat Pakistan.

Selamat datang di demokrasi terbesar di dunia (AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat datang di demokrasi terbesar di dunia (AGUSTINUS WIBOWO)

Sir Cyril Radcliffe dari pemerintahan kolonial Inggris yang menentukan takdir kedua negara ini. Punjab dan Benggala diiris dengan Garis Radcliffe. Punjab Barat dan Benggala Timur masuk Pakistan, sisanya masuk India. Tetapi tidak ada garis yang tepat membelah umat Muslim dan Hindu. Di sisi Pakistan ada puluhan juta Hindu, dan di sisi Hindustan ada ratusan juta Muslim.

Yang terjadi setelah itu adalah perpindahan manusia terbesar dalam sejarah dunia. Umat Muslim yang memimpikan tanah suci berbondong-bondong ke arah Pakistan. Umat Hindu dan Sikh yang tak ingin menjadi minoritas di negara Muslim merayap ke arah Hindustan. Lebih dari 14 juta manusia berpindah untuk mencapai tanah impian. Ada yang berjalan kaki, naik kereta kuda dan keledai, bus, kereta api. Yang sudah tua tak kuat jalan digendong atau diusung tandu oleh anaknya.

Tetapi tak semua manusia itu dapat meraih mimpinya. Pakistan dan India berdiri di atas darah dan nyawa jutaan manusia. Kereta yang penuh berisi umat Hindu dan Sikh yang hendak meninggalkan Pakistan dihentikan di jalan dan penumpangnya dibantai. Demikan juga sebaliknya, Muslim yang meninggalkan India menjadi korban keganasan kaum nasionalis. Diperkirakan sampai sejuta orang tewas dalam peristiwa ini.

Garis Radcliffe membelah Punjab tepat di perbatasan ini. Di sisi India disebut Attari, di sisi Pakistan yang cuma sejengkal jauhnya disebut Wagah. Sejak kelahiran Pakistan, yang ada di sini hanya benci terhadap negeri di seberang.

Chalo, Pakistan!” secara harafiah artinya ‘mari pergi ke Pakistan’.. Tetapi jangan sembarangan ucapkan kata ini di India. Orang India memendam kebencian dan rasa jijik yang mendalam terhadap Pakistan. Mendengar namanya saja sudah membuat mereka bergidik. Membandingkan mereka dengan orang Pakistan atau menyuruh mereka enyah ke negara itu adalah penghinaan yang paling kasar.

Saya teringat waktu saya di Jaipur, saya mengobrol santai dengan seorang pemuda kasta Rajput dari Shimla yang belajar ilmu perhotelan. Orangnya terpelajar, wajahnya tampan, kata-katanya indah. Tetapi begitu saya bicara tentang rencana berangkat ke Pakistan, raut mukanya langsung berubah sinis.

“Jangan ke sana! Mereka itu orang-orang paling berbahaya di dunia!”

Beragam agama hidup bersama (AGUSTINUS WIBOWO)

Beragam agama hidup bersama (AGUSTINUS WIBOWO)

Sejurus berikutnya adalah umpatan dan penistaan terhadap ‘manusia rendah’ yang hidup di negeri muslim itu. Pemuda Rajput ini tak pernah sama sekali bertemu orang Pakistan, apalagi menginjakkan kaki di Pakistan. Tetapi kebenciannya terhadap negeri itu berkobar-kobar, seperti musuh bebuyutan yang tak boleh dimaafkan.

Saya merasakan sendiri betapa besar rasa benci itu bergemuruh di New Delhi waktu diguncang rentetan ledakan bom. Mulai dari tukang rickshaw sampai pedagang kentang langsung menghujat Pakistan. Siapa yang membawa rasa benci yang mendarah daging itu? Media? Guru di sekolah? Pemerintah? Atau film Bollywood yang selalu menggambarkan orang Pakistan sebagai negeri antagonis yang cuma diisi penjahat?

Lagu kebangsaan Jana Gana Mana bergelora, membangkitkan semangat kebangsaan ribuan orang yang duduk di podium. Perbatasan Pakistan – India, sebuah perbatasan sepi di pagi dan siang hari karena susahnya visa, di sore hari menjadi arena pertunjukan raksasa untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Upacara penurunan bendera dirayakan besar-besaran. Tentara perbatasan berbaris dengan langkah berjingkat-jingkat seperti burung, tatap mata yang ganas, gerakan tangan dan kaki yang gagah. Di sebelah sana, tentara Pakistan bak cermin melakukan gerakan yang sama. Mereka bertemu di garis batas, menerima bendera masing-masing, bersalaman sekilas, dan menutup pintu gerbang perbatasan.

Pakistan terasa begitu dekat di hati. Bendera hijau Pakistan berkibar-kibar gagah. Di kejauhan nampak gambar besar Ali Jinnah, tulisan ‘Pakistan’ dan Laillahaillalah. Tetapi pintu menuju negeri itu sudah tertutup. Saya kembali ke arah India dengan langkah gontai. Plakat besar bertulis, “India, Negara Demokrasi Terbesar di Dunia, Menyambut Anda” menyambut saya yang baru datang dari perbatasan. Mungkin untuk mengingatkan siapa saja yang baru datang dari Pakistan tentang kontras Hindustan dari Republik Islam di seberang sana.

Mari pergi ke Pakistan. Chalo, Pakistan.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 Januari 2009

7 Comments on Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

  1. mas baca tulisan anda serasa ikut berdesak2an di bis kota

  2. Pengalaman saya ketika di wagah boarder adalah macet puanjang dan kena pukulan kayu oleh army penjaga gerbang..hehe..

  3. Lahore,it reminds me with my old friend Atif Rasheed

  4. Persis sekali, teman saya dari Pakistan dan India memang saling tuduh sampai sekarang. lanjut baca!

Leave a comment

Your email address will not be published.


*