Titik Nol 113: Qawwali
Hanya beberapa jengkal dari perbatasan India, denyut jantung kehidupan Pakistan langsung bervibrasi kuat. Ada dunia lain di balik garis perbatasan itu.
Dalam sekejap, India yang penuh warna, pertapa Hindu miskin yang berkeliaran, orang yang tidur di atas trotoar, serta peziarah Sikh dengan surbannya yang khas, tinggal kenangan. Kota Lahore yang terhampar di hadapan terasa gersang. Debu beterbangan. Para pria mengenakan pakaian yang sama semua – celana kombor shalwar dan jubah kamiz yang panjangnya sampai ke lutut dengan belahan di kedua tepinya. Warna shalwar dan kamiz biasanya sama, memberikan aksen monoton. Perempuan hampir tidak nampak sama sekali. Kalaupun terlihat di jalan, hanya satu atau dua, mengenakan cadar hitam pekat dan hanya menyisakan sepasang mata saja.
Selamat datang di Republik Islam Pakistan.
Tubuh saya lemah karena penyakit yang saya derita. Nafsu makan saya sudah mulai normal, tetapi sekarang saya harus berhati-hati memilih makanan. Kalau di Amritsar kemarin saya masih bisa menenggak sup China yang lezat dan bergizi, di Pakistan saya kesulitan kesulitan mencari makanan. Semuanya berminyak. Gara-gara penyakit kuning ini, saya selalu mual kalau melihat minyak.
Akhirnya, saya terpaksa duduk di restoran mewah bernama Pizza Hut, di pinggir jalan utama Mall Road. Restoran ini terletak di lantai dua sebuah gedung pertokoan. Lantainya mengilat. Harga menunya mahal, dan daging sapi – yang di India sana dijadikan dewa – di sini akan terhidang di atas meja sebagai santapan. Tetapi yang paling membuat saya terkejut adalah gadis pelayan yang cantik, berbahasa Inggris dengan elegan, berambut panjang tergerai, dan mengenakan rok pendek warna merah setinggi lutut. Sungguh bukan wajah perempuan Pakistan yang akan dijumpai di jalan-jalan.
“Dulu ketika aku masih di India,” seorang backpacker Australia mengisahkan tentang pengalamannya tentang Pakistan, “ada seorang kawan yang baru datang dari Pakistan. Dia berkata, tunggu nanti kalau kamu sampai Pakistan, kamu akan melihat sebuah negara tanpa perempuan.. Tentu saja aku tertawa, mana ada negara seperti itu. Tetapi, ketika aku sampai di Lahore, aku benar-benar terkejut. Mana perempuannya? Tidak ada sama sekali. Ketika aku pergi ke Peshawar, perempuan yang terlihat di jalan lebih sedikit lagi. Mereka sudah jadi makhluk langka rupanya.”
Menurut buku Among the Believers tulisan peraih nobel sastra V.S. Naipaul yang sedang saya baca, Pakistan adalah sebuah negara yang berdiri di atas mimpi untuk menjadi tanah madani yang murni dan suci bagi umat Muslim. Sejak Zia-ul-Haq melakukan kudeta berdarah menggulingkan Zulfiqar Ali Bhutto, politisasi Islam semakin gencar di negara ini. Syariah diterapkan. Hari Jumat menjadi hari libur, menggantikan Minggu. Hukum rajam, aturan hudud, pemberantasan sekte Ahmadiyah, sampai hukum mati bagi penghujat Islam diberlakukan. Pakistan juga mulai bereksperimen dengan berbagai hal yang berbau religius, mulai dari sistem perekonomian Islami, pemerintahan Islami, sampai arsitektur rumah Islami. Sekarang Pakistan sudah punya Bank Perempuan dan tempat parkir mobil khusus perempuan.
Seperti yang diungkap oleh Naipaul, Islam di Pakistan juga bercampur dengan kebudayaan yang pra-Islami. Di sini hidup spiritual Sufisme yang berdaya mistis, yang merupakan detak jantung Islam di India, Pakistan, hingga ke negeri-negeri Asia Tengah. Islam yang mula-mula hidup subur di belahan bumi ini adalah Sufisme, dan hingga sekarang masih nampak wujudnya.
Di antara kebiasaan yang tidak Islami yang bercampur dengan kehidupan Islam adalah berkunjung, berziarah, dan berdoa di makam-makam orang suci. Makam suci Data Darbar atau Data Ganj Bakhsh, tempat bersemayamnya Hazrat Syed Abu Hassan, seorang guru Sufi dari Iran, adalah salah satu ikon kota Lahore yang ramai dikunjungi orang terlebih pada hari Kamis dan Urs (peringatan hari kematian) sang Hazrat.
Saya tidak melihat bagaimana ramainya peringatan Urs di sini, tetapi saya terhanyut dalam alunan musik mistis Qawwali yang digelar setiap hari Kamis. Qawwali adalah alunan musik Islami yang berakar dari kebudayaan India dan Pakistan. Nusrat Fateh Ali Khan, nama pemusik Pakistan paling ternama di dunia, adalah seorang musisi Qawwali. Lagu-lagu Qawwali berisikan pemujaan. Kata-katanya merasuk sukma. Tak jarang para pendengarnya bisa terhipnotis dan terasuki kebahagiaan yang tiada tara mendengar keagungan dan kebesaran asma Allah.
Ruangan di lantai bawah tanah Data Darbar dipenuhi para peminat Qawwali. Hanya ada laki-laki. Perempuan sama sekali tidak nampak. Mereka duduk bersila menghadap panggung. Sesekali seorang pria berkeliling di tengah barisan menonton, membawa tabung seperti tabung pestisida di punggungnya, menyemprotkan wewangian ke tengah parah penonton. Aroma semerbak bunga mawar membawa kesegaran mengiringi lantunan musik tradisional.
Tak kurang dari 40 grup Qawwali datang dari penjuru desa sekitar Lahore. Semua pemusik Qawwali laki-laki. Dalam tradisi Muslim Pakistan, wanita terhormat tidak menyanyi di hadapan pria.
Para pemusik duduk bersila di panggung, berjajar dalam dua baris. Di baris depan, di hadapan mikrofon, ada penyanyi utama dan pemain harmonium – alat musik semacam organ kecil yang musiknya berasal dari pipa udara yang mengembang dan mengempis seperti akordion. Di barisan belakang, juga duduk bersila, adalah penyanyi pengiring yang bertepuk tangan. Tepuk tangan, bersama tetabuhan kendang, adalah bagian penting dalam sajian musik qawwali.
Saya menangkap beberapa larik bahasa Urdu, seperti “datanglah kekasih hatiku, datanglah…” atau “Tuhanku yang tercinta, di manakah engkau?”, atau “Allah hi Allah bol, hanya ucapkan nama Allah!” Dalam tradisi Sufi, Tuhan digambarkan sebagai kekasih hati. Syair qawwali, isinya membangkitkan kecintaan pada Tuhan, terkadang melantun panjang membutuhkan kekuatan pita suara yang luar biasa, terkadang rancak, cepat, dinamis dengan iringan tepuk tangan serempak.
Ekstasi spiritual, demikian ia disebut. Musik ini punya daya hipnotis luar biasa. Pendengar bisa tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala tanpa henti ketika semakin larut dalam kedahsyatannya. Ada kakek tua berjenggot yang serta merta berdiri, berputar-putar di depan panggung, semakin lama semakin cepat, terlarut dalam kebahagiaan spiritual yang tiada duanya. Orang yang lain, membawa setumpuk uang kertas 10 Rupee, menghujani para pemusik dengan uang tanpa henti.
Tak perlu faham arti kata-kata lagu qawwali. Alunan nadanya sudah menggemakan kekuatan spiritual yang tak terhingga. Tengah malamnya, di kuburan seorang suci di Lahore, saya menyaksikan kekuatan musik Sufi yang lebih dahsyat lagi.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 Januari 2009
keren gus ! Sempat ke Soekarno square di peshawar kah?
diantara kebiasaan yang tidak Islami yang bercampur dengan kehidupan Islam adalah berkunjung, berziarah, dan berdoa di makam-makam orang suci…. ini seperti islam di nusantara(indonesia), islami mas..
Fotonya keren bangeeeeeeet. Mirip kartu pos he.. 🙂
Tulisan dan postingan Mas Agustinus sebenarnya adalah salah satu motivasi saya untuk tetap lanjut memilh Pakistan untuk program exchange. Saya sudah lebih dari seminggu di Pakistan, lebih tepatya di Karachi, Sindh (Pakistan Selatan). Kalau Mas bilang di Pakistan jarang melihat perempuan itu memang benar sekali Mas, tapi so far saya di sini antara melihat dan berpapasan dengan perempuan tertutup dan terbuka mungkin sudah 50:50 saya berharap saya bisa menemukan hal-hal lain di Pakistan. Btw, sudah sempet ke Karachi belom mas? 😀
salam kenal mas. iya, saya sempat ke Karachi, tetapi tidak lama. memang suasana di Karachi agak berbeda dengan tempat-tempat lain di Pakistan, lebih “terbuka” dan multikultur. selamat menyelami pakistan.