Titik Nol 114: Malam Sufi
Asap hashish mengepul, memenuhi ruangan yang penuh sesak oleh ratusan pria ini. Genderang bertambur bertalu-talu, menghipnotis semua yang ada. Dua orang pria berputar-putar di tengah lingkaran, bergedek bak pecandu ekstasi. Semua lebur dalam kecanduan spiritual.
Sufisme, dikenal juga sebagai tasawuf, adalah aliran mistis dalam Islam yang percaya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya bisa melalui satu cara saja, termasuk musik dan tarian. Di Asia Tengah dan anak benua India, Sufisme adalah bagian dari budaya Islam itu sendiri.
Kamis malam, bulan bersinar terang merambah kegelapan, susasana kuburan Baba Shah Zaman di daerah kota tua Ikhra di Lahore seakan melemparkan saya ke alam magis. Daerah ini seakan hidup dalam dunianya sendiri, dalam dunia yang berbeda dengan hiruk pikuk modernitas kota Lahore.
Saya menyusuri anak tangga menuju ke makam suci ini. Semua orang harus melepas sandal di depan pintu. Di balik pintu gerbang, ada halaman berlantai pualam. Di sini hanya ada laki-laki. Perempuan dilarang masuk. Ratusan pria berjubah shalwar kamiz berusaha menerobos masuk ke halaman sempit yang terbatas ini.
Saya mendapat tempat di antara kerumunan pria berjenggot. Semerbak baru harum bunga mawar bercampur dengan asap yang mengepul di mana-mana. Bau hashish, candu, menusuk dalam-dalam.
“Ini adalah cara mendekatkan diri kepada Tuhan,” kata seorang pria, sembari dalam-dalam menghisap hashish yang dicampur tembakau rokoknya.
“Ini bukan Islam,” bisik pemuda Lahore yang menemani saya, “apanya yang Sufi, mereka cuma orang-orang kurang kerjaan yang cari alasan untuk menghisap barang haram.” Kawan saya ini seorang Sunni. Ia mencibir sinis.
Sufi, adalah aliran Islam yang menerobos kemapanan, anti peraturan yang mengikat. Kalau Wahabbi dan Taliban melarang musik, pengikut Sufi malah menggunakan musik sebagai sarana beribadah mereka. Candu dilarang dalam Islam, tetapi beberapa orang Sufi menggunakannya untuk mempermudah mencapai keadaan menyatu dengan Tuhan. Penggunaan hashish untuk mencapai kenikmatan spiritualitas mengingatkan saya pada sadhu, pertapa Hindu di Nepal yang melepaskan diri dari kesenangan duniawi.
Lampu remang-remang semakin menambah angker pekuburan ini. Semakin malam, suasana semakin ramai. Bunyi tetabuhan bertalu-talu, menghantarkan nuansa mistis.
Genderang besar terkalung di badan seorang pria berjubah, dengan jenggotnya dan rambutnya yang gimbal panjang tergerai. Duk..duk… duk… ia menabuh genderang. Matanya terpejam. Pelan, pelan, pelan, semakin cepat, semakin cepat, hingga cepat sekali. Ada daya hipnotis di dalamnya. Tubuhnya berputar…. semakin cepat, semakin cepat, hingga tubuhnya kabur dalam perputaran. Saya melihat orang-orang yang menonton, mulai menggeleng-gelengkan kepala seperti penenggak ekstasi.
Dua orang penari, yang satu berbaju merah, satunya berbaju putih, menari di tengah lingkaran. Mereka berputar-putar, mengikuti tetabuhan genderang. Kepala mereka bergedek-gedek, berirama bersama tetabuhan genderang. Ketika genderang mereda kecepatannya, gerak bergedek dan berputar itu melambat. Ketika genderang bergema cepat, mereka bergedek dan berputar seperti orang kerasukan. Bunyi terompet berbentuk tanduk yang ditiup seorang pria berambut panjang berjubah merah semakin menambah mistisnya suasana.
Mereka tenggelam dalam trans. Entah kekuatan magis apa yang membuat para penari ini semakin kesurupan. Gerakan berputar itu, gerakan bergedek itu, aroma hashish, asap rokok dan pipa air, atau lantunan doa-doa Islami yang terus mengalir, membawa nuansa magis yang semakin menghanyutkan. Orang-orang berteriak, “Jhulelal! Jhulelal!”, naik turun seperti debur ombak. Jhulelal adalah orang suci yang diagungkan umat Hindu dan di-Sufi-kan oleh umat Muslim.
Semakin malam, suasana semakin menghipnotis. Si penabuh genderang semakin bersemangat menabuh genderangnya cepat-cepat. Semakin cepat, gerakan gedek-gedek dan memutar itu pun semakin menggila, melompat-lompat, membuat tubuh manusia-manusia yang kesurupan semakin kabur tak nampak mata.
“Penabuh genderang itu sebenarnya tuli,” bisik kawan saya. Dengan ketuliannya itu ia tak merasakan betapa dahsyatnya kekuatan tabuhannya. Musik magis itu sudah menghipnotis banyak penonton di barisan depan. Dua orang turis Jepang, duduk bersila sambil menundukkan kepalanya yang terus menggeleng-geleng cepat tanpa sadar. Umat lain sudah tenggelam dalam rokok, alunan doa, dan irama musik spiritual ini.
Lewat tengah malam, semakin banyak orang yang ikut menari. Keringat mengucur deras. Mata mereka terpejam. Kepala mereka terus menggeleng cepat, hilang terbungkus rambut, kabur dalam remang-remang lampu pekuburan.
Tetabuhan genderang ini bagaikan daya gravitasi yang membuat planet-planet berputar. Para penari terus berputar, melompat, bergedek, berseru, liar bak gasing yang dilepas dari sumbunya. Ratusan bintang yang menghiasi langit malam turut menjadi penonton perputaran manusia-manusia berjubah ini.
Saya hanyut melihat jubah merah penari yang berkibar ketika ia berputar-putar tanpa henti. Sesekali mata saya tertutup, pikiran terasa begitu lega dan damai melihat putaran jubah itu.
“Mast qalandar!!!!” penabuh genderang berteriak.
“Mast qalandar mast! Mast qalandar mast! Mast! Mast!” ratusan orang yang duduk di halaman kuburan menyambut teriakannya. Mast qalandar adalah seruan bagi seorang guru Sufi ternama dari abad ke-13, Hazrat Lal Shahbaz Qalander. Mast adalah keadaan di mana seseorang dirasuki ilham, tercerahkan, bersatu dengan kekuatan spiritual yang agung.
“Dalam keadaan seperti itu,” seorang Sufi berbisik, “ketika mereka sudah tidak sadar lagi apa yang mereka lakukan, mereka merasa begitu dekat dengan Allah, dengan Khuda. Itulah tujuan dari semua ini.”
Di kegelapan tengah malam, di bawah pengaruh tetabuhan genderang yang menghipnotis, derwis berjubah yang terus berputar…berputar…berputar… memasuki alam bawah sadar, orang-orang ini mencapai orgasme spiritual.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 Januari 2009
Baru tau detail yg beginian…
D indo jg ada yah?
Tulisan yg renyah dan mencerahkan..
pengen bisa motret kayak kk.. 😀
salam
Dina Wahyuni
Tulisan yg berimbang,mas agus pas sekali dlm menuliskan tulisan ini,lewat celetukan teman lahorenya yg mengatakan ini bukan islam,sufi apaan,mereka cuma orang kurang kerjaan yg cari alasan utk menghisap barang haram,…begitulah adanya..islam bukan begitu..
Hehehe…orgasme spritual…mantap isrilahnya….
Hehehe…orgasme spritual…mantap istilahnya….