Recommended

Titik Nol 118: Firdaus di Atas Awan

Bendera PPP (Pakistan People’s Party) pimpinan Benazir Bhutto berkibar di Karimabad yang dibalut salju tebal (AGUSTINUS WIBOWO)

Bendera PPP (Pakistan People’s Party) pimpinan Benazir Bhutto berkibar di Karimabad yang dibalut salju tebal (AGUSTINUS WIBOWO)

Al pergi meninggalkan Hunza dengan segala kepuasan batinnya, dalam perjalanan pencarian jati dirinya dengan menemukan komunitas orang-orang seiman. Ia tak lagi mengeluhkan hawa dingin, jalan bolong-bolong, dan ketiadaan tiket pesawat. Jiwa yang terpenuhkan membuat segalanya menjadi indah.

Sedangkan saya, masih sendiri di pemondokan kakek tua Haider. Salju turun deras beberapa hari lalu. Jalanan desa yang naik turun makin berbahaya dengan lapisan es selicin cermin. Tak ada pilihan. Saya hanya bisa menghabiskan hari dengan selimut dan jaket tebal, membaca buku, dan menyeruput teh hijau hangat dari teko Kakek Haider.

Aap kaise hai? Bagaimana keadaanmu?” Kakek itu menyapa saya. Kerut-merut tajam menghias sudut matanya. Tubuhya berbalut selimut tebal, topi pakkol coklat menutup kepalanya, menyembunyikan rambut yang memutih.

Aap ki dua hai. Mein thik hun.. Berkat doa Anda, saya baik-baik saja,” saya memasang senyum

Kakek Haider menatap bola mata saya dalam-dalam. Sudah tiga hari saya beristirahat di desa beku ini gara-gara penyakit hepatitis-A, kenang-kenangan petualangan di India. Saat seluruh tubuh menguning dan dalam keadaan sakit parah, saya berhasil menyeberang ke Pakistan.

Hepatitis bukan barang yang asyik untuk dicoba, apalagi dalam perjalanan keliling dunia. Saya sempat takluk di dalam bus malam antara Islamabad sampai Gilgit, 18 jam perjalanan penuh siksaan di atas jalan bergerunjal, plus dua jam lagi ke Karimabad.

Hunza adalah keajaiban. Tiga hari di sana, saya berhasil memutihkan kembali mata saya yang tadinya sekuning jagung.

“Mata kamu sudah putih. Sebentar lagi sehat,” Kakek terkekeh.

Tubuh kurusnya dibabungkus jubah qameez dan celana kombor shalwar, abu-abu. Saya kembali mendapatkan secuil semangat lagi, setelah sebulan disiksa penyakit ini.

Kakek Haider membersihkan jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kakek Haider membersihkan jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Ada daya magis luar biasa yang menyembuhkan penyakit ini. Barisan gunung tinggi menyemburatkan udara murni. Di sini tak perlu kita bicara tentang polusi dan pemanasan global. Dingin bulan Desember membunuh semua virus di dalam tubuh saya. Dan airnya…. segar sekali, muncrat dari mata air pegunungan. Agaknya alam semurni ini menjadi rahasia panjang umur orang-orang Hunza, yang kerap lebih dari seratus tahun.

Selain hepatitis, saya terserang Hunza disease. Penyakit malas. Siapa yang tak menjadi malas menikmati kehidupan tanpa ingar-bingar, keluh-kesah, dan kemorat-maritan dunia? Siapa pula yang tak terbius kekuatan magis gunung-gemunung Himalaya, Pamir, dan Karakoram? Hari-hari serasa terbang di hadapan Rakaposhi yang menjulang ke langit dan Lembah Hunza bersalju, ditemani dudhpatti – teh susu panas, roti chapati, sekresek aprikot kering. Dan, wajah Kakek Haider yang seramah senyum kanak-kanak.

Pohon-pohon yang menghijau di musim panas telah beralih jadi kelabu. Gunung Rakaposhi perkasa dengan jubah putih yang menjuntai dari puncak hingga ke lereng. Di kakinya, orang-orang desa bertahan melewati siang dingin di sisi api unggun dan malam yang menggigit di bawah selimut tebal. Tak banyak turis. Saya hampir selalu seorang diri di penginapan Kakek Haider.

“Musim panas kemarin,” kata sang Kakek, “kami sibuk sekali. Banyak sekali turis yang datang. Sampai penginapan di sepanjang jalan ini semua penuh.” Karimabad memang bertabur losmen murah untuk backpacker,hingga hotel berbintang untuk tamu kehormatan.

Ada kehangatan di tengah dingin yang menggigit (AGUSTINUS WIBOWO)

Ada kehangatan di tengah dingin yang menggigit (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya memang ke sini untuk menyepi, mencari keheningan, yang hanya ada di musim dingin. Semakin lama, saya semakin malas, habitat saya hanya berkutat di kamar, jalan gang, dan warung.

Tetapi hidup saya mulai sedikit berwarna sejak kedatangan tiga turis Jepang dua hari lalu, walaupun mereka juga hanya makan, tidur, mendengarkan musik saja kerjanya. Kemarin juga datang sepasang kekasih yang bersepeda dari negeri China, menginap di pemondokan sebelah saingan Kakek Haider. Yang cewek orang China, cowoknya orang Jerman. Sepanjang hari mereka pun tidur. Kalau bangun jam sebelas siang, sarapan langsung digabung makan siang. Dudhpati tak pernah absen, memang sangat nikmat diminum di udara dingin begini. Begitu makan, mereka jalan-jalan sebentar, lalu tidur lagi.

Saya terbang bersama waktu. Di sini yang berkuasa hanya nyanyian bisu gunung-gunung yang bergema hingga ke relung hati. Tak terasa, malam tahun baru pun tiba, dan kami hanya melewatkan dengan tidur. Bersama-sama pula. Tak ada resolusi tahun baru, melintasi pergantian tahun, mengenang masa lalu. Dingin-dingin begini tak ada yang lebih nikmat daripada bersembunyi di balik selimut tebal, dalam kegelapan kamar yang tak pernah dirambah listrik.

“Dengar-dengar kakek Haider itu Syiah ya? Kalau kakek Hassan, dia Ismaili kan?” Droma, si pesepeda China itu memulai pergosipan sore hari dengan kawan Jermannya. Mereka lalu bergunjing tentang persaingan dua pemondokan yang bersebelahan ini. Saya tak terlalu tertarik mengikuti acara bisik-bisik di pinggir jalan ini.

Orang-orang Jepang malah asyik meminjam buku bacaan dari pemondokan sebelahnya lagi yang punya koleksi lengkap komik dan novel Jepang. Saya heran, mengapa mereka harus jauh-jauh ke Pakistan hanya untuk baca komik Jepang? Tetapi setiap orang memang punya caranya sendiri untuk menikmati pelajaran.

Bermain halma melewatkan waktu (AGUSTINUS WIBOWO)

Bermain ludo melewatkan waktu (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya pun sama saja. Selain tidur, saya suka menghabiskan waktu dengan juru masak, Hussain dan Aslam, sambil belajar bahasa Urdu. Kadang mereka mengajari saya bahasa Burusashki, bahasa yang hanya dipakai di lembah Hunza dan tak berkerabat dengan bahasa mana pun. Susah sekali, logatnya aneh dan menghentak-hentak. Kemarin kakak beradik itu menghadiahi saya seplastik aprikot kering. Buah aprikot Hunza memang yang paling enak. Tetapi setelah itu satu pemondokan kena diare semua.

Selain berkutat di ruang makan, kerjaan saya cuma menulis buku harian, pergi ke warnet (yang tahu-tahu muncul di sini sejak setahun silam), menonton film India (kalau listrik tiba-tiba nyala), dan kembali tidur. Hepatitis sembuh, tapi saya malah kena penyakit malas khas Hunza.
warna merah

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 15 Januari 2009

7 Comments on Titik Nol 118: Firdaus di Atas Awan

  1. Perjalanan yg keren ya…
    Smakin berdecak kagum pada sang maha pencipta,
    Ko y ada tmpt spt ini ya..

  2. Gambar yang indah…seolah ikut di dalamnya…

  3. buku abang yang pertama saya baca, selimut debu. sekarang lagi ngabisin titik nol. dengan sebanyak itu tempat yang udah abang datangi, gimana abang belajar bahasa dan budaya mereka ?. Salam 🙂

  4. Sudah habis saya lahap ke-3 bukunya, awal tahun lalu. Ada beberapa cerita yg tdk ada di buku ya? Atau Saya yg lupa 🙂

  5. mas Agus, Titik Nol’a ada yg pake bhs Urdu ga ya? Sy ingn berikan u hadiah teman di pakistan sana?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*