Titik Nol 119: Pelabuhan Darat
Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia.
Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan.
Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya.
Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup tanpa bir dan arak, semuanya harus didatangkan sembunyi-sembunyi di bersama konvoi truk pengangkut barang.
Dry Port Sost kini sudah jadi. Orang China jauh lebih banyak daripada ketika saya datang dulu. Selain barisan rumah makan dan tenda, sekarang sudah ada hotel. Aroma dan hingar bingar negeri Tiongkok sekarang sudah merambah kota perbatasan ini. Saya sudah rindu kebiasaan mereka berteriak-teriak kalau bicara, seperti orang bertengkar. Bahkan melihat orang-orang ini meludah di mana-mana membuat saya sangat terkenang zaman ketika saya masih tinggal di negeri itu.
Tetapi saya tak terlalu beruntung. Masakan China tidak tersedia.
“Sejak dua hari lalu [tanggal 1 Januari] perbatasan sudah ditutup. Dari China sudah tidak ada kiriman bahan. Sekarang yang ada cuma tepung. Kamu mau bing dengan asinan xiancai? Enak juga dimakan dengan telur rebus.”
Ini menu makan kuli bangunan atau sopir truk di Beijing. Saya dulu tak pernah sudi mencicip makanan ini, tetapi sekarang, rasa rindu yang dalam membuat makanan sederhana ini terasa nikmat sekali. Yang makan di sini bukan hanya orang China, tetapi juga beberapa pengusaha Pakistan walaupun sudah diberitahu bahwa makanan mungkin tidak halal.
Bersama dengan temperatur yang terus turun, aktivitas di pelabuhan darat ini pun melambat. Kalau di musim panas bisa ada puluhan truk yang datang, hari ini cuma dua atau tiga saja. Sedangkan truk dari Pakistan sudah berbaris, menantikan pengalihan barang-barang made in China untuk diangkut ke pedalaman Pakistan. Di Pakistan sekarang barang buatan Tiongkok sudah merajalela, mulai dari teh sampai sepeda motor, mulai dari lampu senter sampai angkot Qingqi. Beberapa orang Pakistan yang saya jumpai mengakui kelebihan barang China hanya harganya yang miring, tetapi kalau punya uang mereka lebih memilih barang yang berkualitas bagus. Untuk teh misalnya, teh asal Indonesia dan Sri Lanka masih dihormati karena rasanya yang sedap, walaupun harganya lebih mahal.
Kota Sost sekarang juga adalah kota baru, berkembang tak teratur sepanjang jalan utama Karakoram Highway di dekat pos bea cukai. Kota Sost Lama, Afiyatabad, terletak dua kilometer ke selatan, semakin hari semakin sepi tertelan oleh magnet dry port di Sost Baru.
Saya menginap di Afiyatabad, di rumah Akhtar sahabat saya. Akhtar masih muda. Ayahnya punya hotel di Afiyatabad, tetapi di musim begini sama sekali tidak ada tamu yang menginap.
“Pengyou. Pakistan hao bu hao?” Abdul Aziz, ayah Akhtar, mempraktikan kemampuan Bahasa Mandarinnya.
“Zhongguo hao. Dong bu dong? China bagus. Mengerti tak?”
Dua setengah tahun yang lalu, ketika saya pertama kali berjumpa dengan keluarga ini, saya sempat terpukau dengan kemampuan ayah Akhtar bercakap. Tetapi sekarang, kosa katanya tak berkembang, hanya seputar ‘bagus tidak?’, ‘paham tidak?’ Tetapi bagaimana pun juga, Abdul Aziz diliputi kekaguman dan kecintaan yang mendalam terhadap negeri Tiongkok. Ia pun banyak minum arak selundupan.
“Jangan dihiraukan orang itu,” kata Wahid, sepupu Akhtar, “kebanyakan minum alkohol dari China, kepalanya jadi gila.”
Wahid sendiri tidak terlalu terpesona oleh kedatangan para pedagang dari negara tetangga itu. Ia menyalahkan, banyak pengaruh buruk yang dibawa para pendatang itu ke dusun-dusun pegunungan Karakoram ini. Semakin banyak orang yang minum alkohol. Bukan rahasia umum lagi, kalau pedagang Pakistan pergi ke Kashgar pasti mencari gadis-gadis Uyghur dan China yang ‘murah’.
Tetapi, bukan berarti Wahid adalah orang yang konservatif. Ia tak suka segala bentuk fanatisme, bangga akan kemoderatan ajaran Ismaili, cinta Aga Khan sang pemimpin spiritual, dan diliputi rasa kebangsaan Tajik yang kuat. Arsitek interior berusia 33 tahun ini pernah sekolah di Norwegia, belajar teknik ukir kayu di universitas. Sekarang Wahid bekerja sebagai sukarelawan di daerah gempa Kashmir, membantu merancang kemah untuk tempat tinggal para korban bencana.
“Sebenarnya, kultur kami, bangsa Tajik, sebagai bangsa pengembara masih bisa diterapkan di zaman modern ini. Sekarang saya sedang menggali lagi keunggulan kemah nomaden Kyrgyz dan Tajik untuk dipakai di Kashmir.”
Wahid menceritakan nenek moyang orang-orang Tajik yang tinggal di Sost ini berasal dari lembah Wakhan, sekarang di wilayah Afghanistan. Suku yang mendiami Sost adalah Wakhi Tajik, bicara bahasa Wakhi yang masih berkerabat dengan Persia, sama sekali berbeda dengan bahasa Burushaski yang dipakai di Karimabad. Nenek moyang mereka adalah bangsa pengembara, menggembalakan ribuan ternak di padang hijau Pegunungan Pamir. Mereka adalah bangsa yang hidup bersama alam.
Di rumah tradisional Wahid, saya merasakan kehidupan suku Wakhi Tajik. Ruangan utama dikelilingi panggung kayu. Di bagian tengah ada tungku, tempat kaum perempuan memasak. Kaum lelaki duduk di satu panggung, perempuan di panggung lain. Makan malam hari ini adalah daging yak. Lelaki dan tamu makan bersama, perempuan tak bercampur. Lelaki berbicara, perempuan tak menyela. Bagi mereka, isi pembicaraan kami tentang bisnis, hubungan Pakistan-China, geopolitik dunia, sama sekali tak menarik perhatian mereka.
Wahid punya bayi yang masih kecil. Istrinya membungkus bayi itu dengan kain, dibebat dengan tali kencang-kencang, lalu ditaruh dalam ranjang kecil yang berayun.
“Ini adalah tradisi orang Tajik, dan sampai sekarang masih tetap lestari di sini,” terang Wahid.
“Kalau kau ingin belajar lebih banyak tentang tradisi Tajik,” katanya lagi, “pergilah ke Lembah Chapursan. Di sana penduduk lebih tradisional. Tetapi hati-hati, tempat itu sangat dingin. Di musim dingin, matahari tak bersinar sama sekali.”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 Januari 2009
beautiful kids
Nathalia Widjaja: Thanks ya buat koreksinya 🙂
Asih Zy Lestari coba baca karyanya om wenk Agustinus Wibowo titik nol, beliau backpaker Tiongkok ke tibet nembus ke nepal, mungkin jadi terinspirasi mumpung lagi di tiongkok….
Epic!
Kapan main ke Dubai lagi Weng?
Thanks rekomendasinya Satria Loka Widjaya .. ini keren banget.. 😀
Anda hebat banget om agus…
lau lagi di jakarta apa tiongkok, nitip baju dog atau something yang khas sana 😛
Satria Loka Widjaya, u ngomomong ke gw atau ke yg punya akun? :p #bingung
Nice
halaman webnya tambah apik,mas….
Wah seru sekali
cantik nya orangnya
Judhi Prasetyo iya nih udah lama ga main ke dubai… masih di dubai kang judhi?
masiiih… ayo sini
Bagaimana ketemulagi dengan gadis2 ABG itu? Yang satu lagi kemana? Pas balik lagi anda bagiin foto mereka yg sempat anda potret?
Hebat…