Titik Nol 121: Jejak Masa Lalu
Bayang mentari sudah lenyap di balik gunung cadas yang menjulang bak tembok raksasa di kiri dan kanan. Lembah Chapursan diselimuti gelap.
Aziz mengundang semua penumpang jip singgah di rumahnya untuk sekadar menghirup segarnya teh susu. Keramahtamahan adalah hukum utama di tempat ini. Semua orang suka menerima tamu.
“Ini adalah rumah tradisional orang Tajik,” jelas Noorkhan seperti seorang guide, “terbuat dari tanah liat. Bentuknya kotak persegi atau kubus. Di dalam rumah inilah keluarga menikmati kehangatan.”
Rumah tanah liat itu, dari luar nampak seperti kotak kelabu yang tak menarik sama sekali. Di dalamnya, di balik tirai tebal yang menutup lubang pintu, kenyamanan sebuah keluarga langsung menyambut saya. Walaupun ukuran rumahnya tak besar, orang yang tinggal di sini banyak sekali. Lebih dari sepuluh yang jelas, setidaknya ada tiga generasi. Sistem kekeluargaan yang berlaku adalah semua kerabat tinggal bersama. Perlu diingat, sepasang suami istri bisa memproduksi sampai 15 orang anak.
Kehangatan tentunya bukan hanya karena banyak orang yang memadati ruangan ini. Di tengah ruangan ada tungku dan cerobong. Api menyala dari dalam tungku yang berisi kayu bakar dan ranting. Seorang perempuan menjerang air, menyiapkan gelas, menata roti.
Hanya ada satu ruangan di rumah ini. Di sekeliling tungku, keempat sisinya berupa panggung dari tanah. Kaum pria duduk di satu sisi, kaum wanita dan anak-anak di panggung seberang. Walaupun duduk terpisah, wanita anggota keluarga dan tamu laki-laki duduk di ruangan yang sama, bercakap-cakap.
“Kami adalah pemeluk Ismaili,” kata Aziz, “dalam ajaran Ismaili perempuan sama derajadnya dengan laki-laki.”
Di bagian lain Pakistan, jangankan berada satu ruangan dengan kaum perempuan, memandang dan bercakap pun tak boleh. Orang Pakisan memang ramah tamah dan suka menerima tamu, tetapi kalau sudah urusan mengajak ke rumah biasanya agak berat, karena repotnya menjaga perempuan anggota keluarga agar jangan sampai terlihat orang luar. Tetapi di Chapursan, Karimabad, Sost, dan desa-desa lain di Lembah Hunza dan Gojal, aturannya jauh lebih longgar.
Aziz mengeluarkan sebuah benda yang dibungkus berlapis-lapis kertas. Nampaknya benda ini sangat berharga, terlihat dari caranya membuka lembar demi lembar bungkusan itu yang perlahan dan penuh kehati-hatian.
“Saya sedang menulis buku tentang Chapursan,” katanya, “saya butuh bantuanmu menterjemahkan naskah Budha ini.”
Barang yang terbungkus adalah selembar kertas sobek-sobek yang sudah menguning, umurnya ratusan atau mungkin bahkan sudah ribuan tahun. Saya tak berani menyentuhnya. Bahkan bernafas di dekatnya pun takut menghancurkan barang berharga itu. Di bagian atasnya tertulis huruf-huruf dan simbol aneh, melenggak-lenggok berbentuk seperti huruf Tibet, hanacaraka, atau Sanskerta. Mengharap saya menerjemahkan sandi-sandi ini sama muluknya dengan meminta saya menerjemahkan kakawin Majapahit.
Kertas itu adalah barang berharga keluarga Aziz, sudah diwariskan turun-temurun.
“Dulu tempat ini didiami orang Budha,” katanya, “tetapi sekarang semua sudah memeluk agama Islam. Tak ada lagi orang yang bisa membaca huruf Sanskerta, padahal saya butuh sekali informasi untuk buku saya.” Ia membungkus kembali kertas kuno itu perlahan-lahan.
Budhisme pernah merambah tempat-tempat terpencil di lekukan gunung tinggi ini. Biksu China Hsuantsang dari dinasti Tang, yang lebih tersohor sebagai guru dari Kera Sakti dalam Legenda Perjalanan ke Barat, sesungguhnya pernah melintasi tempat ini dan mencatat tentang kehidupan umat di sini. Sekarang, Budhisme adalah masa lalu yang terputus. Kejayaan peradaban yang kini menjadi misteri. Orang sekarang meraba-raba masa lalu mereka dari serpihan yang tersisa.
Ahli linguistik masih gemar mempelajari bahasa Baltit di daerah Baltistan, tak jauh dari Gilgit, yang konon berkerabat erat dengan bahasa Tibet. Di Skardu ada batu besar berukir gambar Budha sedang bertapa. Di Lembah Swat, juga pegunungan tinggi di utara Pakistan, ada gunung yang berukir patung Budha berukuran raksasa. Di kota Taxila, tak jauh dari Islamabad, pernah ada kota Budha yang modern di zamannya.
Bagaimana masa lalu itu kemudian terputus? Bagaimana penganut Budha tiba-tiba lenyap tak berbekas di negara ini? Bagaimana kehidupan Chapursan ketika dihuni oleh para biksu dan umat pemuja dharma? Semua itu adalah tanda tanya tak berjawab bagi Aziz. Keterbatasan ahli bahasa Sanskerta di Pakistan membuat banyak pertanyaan terpendam dalam selubung misteri.
Aziz menciumi kaum perempuan di rumahnya. Malam ini ia tak tidur di sini. Jip masih akan melanjutkan perjalanan jauh ke pedalaman Chapursan. Kami segera naik lagi ke dalam kendaraan. Di luar gelap gulita, hanya ada hitam yang kelam. Tak ada listrik.
Jip bergoncang-goncang menyusuri jalan berbatu. Lampu mobil menjadi satu-satunya penerang dunia di sini. Aziz dan Noorkhan, kedua teman dekat ini, katanya akan turun bersama di suatu desa yang namanya tak pernah saya dengar.
“Kamu turun di mana?” tanya Aziz pada saya.
Turun di mana? Benar-benar tak terpikir. Semula saya kira Chapursan adalah nama satu desa. Ternyata di sini ada puluhan desa. Noorkhan tak percaya kalau saya sama sekali tak tahu tujuan saya. Ia kemudian menyebut sederet nama desa, yang semuanya asing di telinga saya. Benar-benar tidak tahu harus memilih yang mana. Saya pun bukannya mau membeli kucing dalam karung. Apalagi gelap gulita sudah menyelimuti bumi, ke mana saya harus mencari-cari penginapan di desa-desa asing ini?
“Saya cuma ingin melihat desa yang tak terjamah sinar mentari,” jawab saya polos.
Noorkhan dan Aziz serempak tertawa terbahak-bahak.
“Kalau begitu, kamu ikut kami saja, turun di rumah sepupu Aziz. Sepupu Aziz nanti akan membawa kamu jalan-jalan. Dia travel guide yang jagoan,” saran Noorkhan.
“Terima kasih… tetapi, saya tak punya banyak uang untuk membayar guide,” saya sedikit ragu dengan tawarannya.
“Jangan kuatir,” kata Aziz sambil menepuk pundak saya, “kamu adalah mehman – tamu kami. Kamu tahu kan artinya mehman?”
Mehman, sebuah kata keramat di negara yang keramahtamahan menjadi jalan hidup ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 20 Januari 2009
wow..keren mas…serasa kembali ke berpuluh abad lalu…:)
Keren Cak…membaca alur2 paparan oeristiwa disetiap bukumu serasa kita terlibat di dalam nya….
keren
apakah manuskrip kuning itu sempat kak AW foto dengan detail?
jika iya, masih bisa dicari artinya.
penasaran juga soalnya.
😀