Titik Nol 124: Mehman
“Aap hamare mehman hai. Anda adalah tamu kami,” kata seorang sopir truk dari Karimabad, yang – selain menolak menerima ongkos – menawari saya sekotak biskuit dan sekaleng minuman. Saya hampir tak bisa berkata-kata menerima ketulusan persahabatan ini.
Jika Anda menjelajah Pakistan, ada satu hal yang selalu hadir: keramahtamahan. Dalam bahasa Urdu disebut mehmannavazi. Tak peduli betapa miskinnya orang-orang di negeri ini, bagaimana pun tingkat pendidikan dan latar belakang sosialnya, semuanya seakan berlomba menawarkan yang terbaik untuk para tamu.
Mehman, sebuah konsep yang melekat dalam sanubari penduduk setempat. Begitu kuatnya, sampai saya jadi malu sendiri. Tuan rumah tak makan tak mengapa, asalkan tamu dijamu dengan limpahan makanan mewah. Tak ada uang tak mengapa, asalkan sang tamu tetap merasa nyaman. Menggigil kedinginan bukan masalah, asalkan sang tamu tetap hangat dan lelap.
Dari Chapursan kembali ke Karimabad, saya harus melewati Kota Sost di perbatasan Pakistan-Cina. Harga karcis angkot Sost-Karimabad cuma 100 Rupee, sekitar 15 ribu. Tidak mahal. Tapi saya memutuskan berjalan kaki agar lebih menikmati keindahan lembah-lembah dan barisan gunung Karakoram. Kalau sudah capek, sesekali saya menumpang mobil yang melintas.
Hari ini matahari bersinar cerah. Lembah tanpa sinar mentari di Chapursan menjadi kenangan. Barisan pegunungan Gojal menampakkan keagungan yang langsung meresap ke relung hati. Jarak ke Karimabad sekitar 90 kilometer, sungguh indah kalau dinikmati secara perlahan. Setiap langkah adalah ucapan syukur terhadap rahmat Tuhan ke muka bumi. Setiap langkah adalah kekaguman akan ciptaannya.
Saya sudah berjalan sekitar empat kilometer dari Sost, ketika sebuah mobil Volvo berhenti, menawari saya untuk menumpang. Pengemudi dan penumpangnya berasal dari Kholistan, termasuk daerah korban bencana.
“Berjanjilah untuk datang ke Kholistan. Di sana kami membutuhkan banyak sekali sukarelawan,” kata sopir berjenggot lebat, berkaca mata hitam, berselempang selimut, berjubah dan bertopi pakkol itu.
Penampilan orang etnis Pathan memang biasanya lebih sangar. Pathan adalah minoritas di Pakistan tetapi mayoritas di Afghanistan. Orang-orang Kholistan ini tidak menyetir sampai Pasu, desa tujuan saya berikutnya.
“Jalan sajalah,” kata sopir itu, “Pasu sudah dekat.”
Walaupun matahari bersinar cerah dan langit biru bersih, berjalan di tengah gunung-gunung raksasa ini sungguh dingin rasanya. Pegunungan ini terlalu tinggi sehingga sinar mentari bahkan tak mampu menyentuh jalan raya di dasar lembah. Saya berjalan dalam dinginnya bayang-bayang. Angin juga menderu kencang. Saya semakin merasa sebagai makhluk kecil yang merayap di permukaan bumi yang demikian sempurna penciptaannya.
‘Tidak jauh’, seperti yang dikatakan oleh sopir truk itu, dalam kenyataannya adalah 20 kilometer jaraknya. Ukuran jauh dekat orang pegunungan mungkin memang tidak sama dengan standar kita. Beruntung saya mendapat tumpangan lain, sebuah truk punya orang-orang Pathan dari selatan Pakistan, menuju ke kota Rawalpindi.
Di Pakistan, tak ada orang yang membiarkan tamu kesusahan. Demikian juga para sopir truk. Hampir semuanya berhenti menawarkan tumpangan kepada saya yang sedang berjalan kaki. Saya amat suka naik truk, apalagi kalau duduk di atap. Gunung menjulang di kiri-kanan. Di atas atap truk, semuanya tampak garang, perkasa, penuh aura. Hanya dua hal yang menganggu – angin yang menderu dan kabel listrik yang tergantung, melintang rendah di atas jalan.
Truk Pakistan bukan hanya sebarang alat transportasi. Truk juga merupakan sebuah karya seni. Lihatlah betapa mewahnya perhiasan, ukiran, gambaran yang memoles sekujur tubuh truk ini. Pengemudi truk, yang biasanya identitik dengan hidup yang keras, ternyata juga manusia yang punya cita rasa seni tinggi. Bunga merah, kuning, dan hijau yang tak pernah absen di depan kemudi memberikan sentuhan feminin. Kaca depan selalu bertulis “Ya Allah” dan “Masya Allah”.
Pasu terletak di lembah Gojal. Menurut seorang pria yang mengaku sejarawan di Karimabad, kata Gojal berasal dari kisah pejabat kolonial Inggris yang salah dengar kata ‘go jail’. Di dusun Pasu, gunung-gunung tinggi berujung runcing menjulang, mirip atap katedral. Salju masih membungkus puncak-puncaknya, menambah kemahaagungan barisan arsitektur alam ciptaan-Nya. Di hadapannya ada sungai es terbesar kedua di dunia, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan.
Desa yang begitu indah ini adalah desa mati. Tak ada seorang pun di sini. Di musim dingin, hampir tak ada wisatawan yang datang ke Lembah Hunza. Listrik pun terbatas. Penduduk desa Pasu, yang kebanyakan adalah pemilik warung dan losmen, mengungsi ke tempat yang lebih hangat dan nyaman ketika tak ada lagi bisnis yang menjanjikan di sini.
Perut keroncongan, saya berjalan terseok-seok. Jalanan sepi, hampir tak ada truk yang melintas. Sejak awal Januari hingga musim panas nanti perbatasan Khunjerab dengan China ditutup. Angkutan barang komoditas ekspor dan impor sudah jarang. Bahkan untuk menumpang truk pun saya seharusnya tak berharap banyak.
Saya berjalan lagi hampir dua jam, ketika tiba-tiba melintas sebuah truk besar yang berhenti sendiri tanpa saya melambaikan tangan.
“Naik, ayo cepat,” seru sopir.
Melihat saya yang kelaparan, ia membelikan saya biskuit. Saya sama sekali tidak dibolehkan membayar sepeser pun.
“Aap hamare mehman hai!” Kata mehman sungguh membuat ego saya tertohok.
Di dusun Gulmit yang mungil ini, sekali lagi saya berjumpa dengan Majid, kawan dari Chapursan. Di tempat ini alur perjumpaan tak terduga, perpisahan, perjumpaan kembali, sudah teratur bak cerita film India. Majid kembali tertawa terguncang-guncang melihat saya.
“Hunza memang kecil. Kita bisa berjumpa di mana-mana!”
Menjelang senja saya kembali lagi ke penginapan Kakek Haider, setelah menumpang empat kendaraan berbeda. Di bawah naungan puncak-puncak raksasa ini, keramahtamahan menjadi jalan hidup.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 Januari 2009
saya dah khatam baca Selimut Debu, Garis Batas dan teringin mengulang Titik Nol….hehehe
klo di dekat Majid sy paling sell sakit perut krn ikut tertawa.