Titik Nol 129: Menjemput Sang Istri
Rombongan barat berarak-arak menyusuri jalan sempit di pinggir rumah-rumah batu Karimabad. Kami menuju Hassanabad bersama sang pengantin pria untuk menjemput sang putri.
Pukul sembilan pagi. Rumah keluarga karim mulai ramai didatangi sanak saudara. Bahkan ada beberapa paman yang sudah sejak beberapa hari yang lalu datang dari luar kota dan menginap di sini. Bocah-bocah perempuan anak tetangga berlari riang di halaman, menunjukkan tangan mereka yang sudah berhias henna. Yang laki-laki sudah siap dengan korek dan petasan. Ledakan demi ledakan sambung-menyambung.
Di ruang utama, di bawah potret besar sang pemimpin spiritual Aga Khan yang sedang tersenyum, para pria kerabat dekat menikmati sarapan pagi – roti tipis chapati yang dimakan dengan gumpalan mentega padat. Minumnya adalah teh susu campur mentega, asin rasanya.
Semua pria yang duduk di ruangan ini, termasuk saya, adalah kaum barati. Kami akan ikut dalam rombongan barat, rombongan pengantin pria untuk menjemput pengantin perempuan di rumahnya.
Amin Khan, sang pengantin pria, kakak kandung Karim, sudah tiga puluh tahunan umurnya. Ia pemilik hotel di dusun Altit di atas Karimabad. Wajahnya garang dan tegang. Kumisnya tebal. Matanya menyorot tajam. Ia mengenakan shalwar kamiz putih bersih, dipadu dengan sweater abu-abu untuk mengusir dingin. Pakaian pengantin Hunza sangat sederhana. Sekarang kedua pamannya memasangkan chapan – jubah putih panjang dengan sulam-sulaman dengan motif flora yang detail dari benang perak. Ini adalah pakaian kebesaran orang Hunza.
Untuk menambah kebesarannya, paman Amin kemudian memasangkan topi kebesaran Hunza. Namanya phartsin, dari bulu. Bentuknya seperti topi pakkol orang Pathan, tetapi ujung lipatannya berbentuk bundar. Di bagian kiri depan tersemat bulu burung, mengingatkan saya pada figur Robin Hood.
Khalifa, pemuka agama Ismaili, memimpin doa. Semua orang menengadahkan tangan. Khalifa komat-komit dalam bahasa Burushaski yang tidak saya mengerti. Saya hanya mendengar ia menyebut “Ya Maulana” berkali-kali.
Seorang paman membalut sebilah pedang dengan kain putih. Pedang, atau disebut talwar, yang dipanggul di bahu kanan, membuat sang pengantin lebih garang lagi. Tetapi kesan garang itu hilang seketika karena kalungan bunga-bungaan besar warna-warni yang melingkar di lehernya.
Seorang bibi mengalungkan rangkaian kertas berwarna emas dan perak mengkilap, seperti yang biasanya dilingkarkan di atas pohon natal. Kemudian foto bersama. Sehabis itu kalungan kertas itu dilepas lagi, diberikan kepada bibi lainnya. Secara bergiliran, kaum wanita di keluarga itu memasang kalung kertas, berfoto, kemudian dilepas lagi. Ada pula yang memberi penghormatan kepada sang pengantin dengan bersalaman dan menciumi tangannya.
Ayahnya kemudian memimpin rombongan berbaris ke halaman. Di sana, para tetangga sudah ramai mengelilingi lapangan. Trompet dan genderang menyambut. Bunyi petasan meledak tanpa henti.
Dengan mengepakkan tangan, sang ayah dikuti pengantin dan belasan pria lainnya berbaris memutari lingkaran. Kaki diangkat tinggi-tinggi, menghentak. Tangan mengepak patah-patah. Duar…. petasan kecil meledak di dekat kaki mereka.
Kerabat yang tidak ikut menari menyematkan lembaran uang ke lipatan topi dan tangan para penari. Ayah pengantin, yang sudah bungkuk dan berjubah kebesaran seperti halnya pengantin, menerima paling banyak uang dari kerabat. Acara pernikahan ini bertabur ratusan lembaran Rupee.
Kaum wanita dan anak-anak menonton di pinggir. Di Karimabad, karena pengaruh agama Ismaili yang moderat, penonton wanita bercampur dengan kaum pria. Walaupun mereka tidak menari, tetapi masih boleh menonton. Beberapa dari mereka malah tidak berkerudung, hanya bertopi sulaman warna-warni saja. Saya dengar, di bagian lain Pakistan, kaum wanita dipisahkan sama sekali dari kaum prianya.
Acara tamasha berlangsung setengah jam. Pengantin dan keluarganya menikmati sajian tarian dari para tamu. Penonton wanita, dalam harmoni berbagai macam warna pakaian dan kerudung, hanya tertawa dan berbisik-bisik sambil menutup mulut mereka.
Para pemusik bangkit, mulai perjalan. Pengantin, ayahnya, kakak adiknya, turut di belakang, berbaris rapi. Puluhan pria lainnya juga mengikuti. Saya teringat dongeng peniup seruling yang mengusir tikus dari desa. Pemandangan ini mirip sekali. Seketika, lapangan yang semula ramai oleh manusia langsung kosong seketika. Barisan panjang pengiring pengantin mengular, meliuk-liuk menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah batu Karimabad.
Dari rumah-rumah batu itu bermunculan berbagai jenis kepala yang penasaran melihat keramaian yang gegap gempita ini. Ada gadis-gadis yan sampai memanjat atap rumah mereka. Ada barisan ibu-ibu yang berjongkok di atas pagar batu. Bunyi petasan meledak bersahut-sahutan. Bendera kecil berbentuk segitiga bertuliskan “Shaadi Mubarak – Selamat Menikah”, berkibar-kibar menghias langit biru. Genderang terus bertalu. Nada seruling mengalun tinggi rendah. Gunung-gunung salju mulai menampakkan wajahnya yang diselimuti selimut awan tipis.
Kami siap berangkat ke Hassanabad. Rombongan barat kami siap memboyong pulang sang putri. Ratusan penduduk Karimabad, mulai dari tanah lapang hingga ke atas pagar dan atap rumah, menaruh harapan yang sama.
Mereka seolah berteriak, “Bawalah pulang si pengantin! Bawalah pulang si pengantin!”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 Januari 2009
Leave a comment