Titik Nol 130: Air Mata Pengantin
Baru pertama kali saya menyaksikan pesta pernikahan seperti ini – sang pengantin perempuan menangis keras, meraung-raung seperti orang yang ditinggal mati keluarganya.
Hassanabad, rumah sang pengantin perempuan, letaknya hanya empat kilometer dari Karimabad. Tetapi rombongan barat kami diangkut dalam iring-iringan belasan jip. Bersama kami, ikut seorang khalifa, penghulu umat Ismaili. Acara akad nikah dilangsungkan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin wanita, demikian adatnya.
Kalau zaman dulu barat selalu menampilkan seorang pangeran tampan berjubah yang duduk dengan gagah di atas kuda putih, sekarang sang pangeran naik jip butut yang tak kalah tangguhnya menyusuri lereng perbukitan di barisan pegunungan raksasa. Apalagi sekarang dingin tak terkira menembus mantel dan jaket.
Hassanabad terletak di lereng bukit terjal. Karena jip kami sudah terengah-engah, rombongan bharat kami harus mendaki gunung dengan berjalan kaki.
Acara akad nikah tertutup bagi orang luar. Hanya famili dekat kedua mempelai, plus khalifa dan muki (imamnya orang Ismaili) yang boleh masuk ke jemaatkhana. Rombongan 50 orang barati, termasuk saya, menunggu dengan sabar di rumah mempelai wanita.
Sekitar setengah jam berselang, iring-iringan pengantin pria dan kerabatnya datang. Mereka bersiap masuk ke rumah pengantin perempuan. Beberapa orang perempuan menunggu di depan pintu, membawa sebuah nampan berisi roti tipis. Ada pula yang membentang tali yang digantungi bendera warna-warni, persis seperti acara gunting pita waktu peresmian gedung oleh pejabat. Yang lainnya membawa nampan berisi sobekan kertas kelap-kelip, siap ditabur ke atas kepala para pria ini.
Di rumah pengantin, kami para anggota barati duduk berbaris sepanjang taplak makan dastarkhon. Sang khalifa memimpin doa. Kami dijamu luberan nasi pullao dan kari ayam. Lezatnya tak terkira.
Selesai sudah acara ramah tamah ini. Sekarang giliran kami memboyong pulang sang pengantin wanita.
Tiba-tiba pecahlah suara raungan keras, ratapan kesedihan, yang melengking. Di samping pengantin pria, tegaklah seorang wanita cantik berjubah emas sepanjang lutut, bercelana kombor, bertopi rumbai-rumbai, dan berkerudung. Dia menangis histeris seperti ditinggal mati orang tuanya. Dialah sang pengantin.
Di belakangnya, barisan perempuan keluarganya mengiring, diam dalam keheningan. Yang terdengar hanya lolongan kesedihan, tangisan meluap-luap, membawa suasana perkabungan ke dalam pernikahan. Tangis dan air mata pengantin di Pakistan adalah hal biasa karena si gadis berpisah dengan keluarganya, rumah hangat yang ditinggalinya sejak masa kanak-kanak. Kini ia harus berangkat ke rumah baru, rumah keluarga yang sama sekali asing baginya, berangkat dengan lelaki tak dikenal yang menjadi pendamping seumur hidupnya.
Pernikahan di Pakistan umumnya hasil perjodohan – hasil bisik-bisik dan negosiasi pasangan orang tua. Terkadang kedua mempelai hanya melihat foto pasangannya dan baru berjumpa di malam pengantin. Sejak masa pertunangan hingga hari pernikahan, kedua pasangan dilarang bertemu. Tidak ada istilahnya pembinaan hubungan, penjajakan pasangan, penyemaian cinta di hati dengan pacaran. Cinta baru dimulai nanti setelah pernikahan. Cinta akan muncul sendirinya, dari kebiasaan.
Pengantin wanita masih meraung saat masuk mobil menuju Karimabad, ke rumah suaminya. Pengantin pria tidak duduk di dalam mobil yang sama. Laki-laki tidak boleh dicampur dengan perempuan, bahkan pengantin baru sekalipun.
Bersama sang putri, ada pula truk mengangkut almari, karpet, kasur, ranjang, televisi, dan barang-barang lain. Ini maskawin dari pihak wanita agar tidak diremehkan keluarga suami.
Desa Karimabad, yang didominasi warna kelabunya rumah-rumah dan pagar batu, kini berubah menjadi penuh warna. Seperti ketika melepas keberangkatan barat, para tetangga dan wanita dusun sampai naik-naik ke atap rumah dan pagar untuk mengintip siapakah pengantin cantik yang diboyong pulang sang pengantin.
Bunyi terompet dan tetabuhan memimpin barisan panjang pengantin dan para pengiring. Barisan ini teramat panjang, karena selain barisan barat yang 50 orang, dari dusun Hassanabad juga datang rombongan pengiring pengantin perempuan. Walaupun seharusnya jumlahnya sama dengan rombongan yang datang bersama pengantin pria, tetapi ternyata membludak jadi 80 orang. Kalau barat yang datang bersama kami isinya hanya kerabat pria, rombongan pengiring dari Hassanabad ada laki-laki dan perempuan.
Sekarang giliran keluarga pengantin pria yang menjamu rombongan ini. Adat perkawinan Hunza serba simetris. Bukan hanya jumlah tamu dari kedua keluarga seharusnya sama persis. Makanan yang disajikan di rumah pengantin pria pun harus sama dengan apa yang disajikan keluarga pengantin wanita ketika menyambut barat. Karena itu sebelum hari pernikahan banyak acara runding-rundingan kedua pihak keluarga.
Air mata mempelai wanita berganti jadi senyum saat rombongan tiba di rumah pengantin pria. Suara petasan yang dilempar bocah-bocah Karimabad meletus di tengah halaman rumah. Tamu dari seluruh penjuru desa berdatangan, ikut berpesta. Para pria menari bak burung elang. Tetabuhan bertalu-talu memeriahkan acara tamasha (resepsi). Bulan memunculkan wajahnya di atas langit malam yang membiru.
Hari ini saya larut dalam bahagia.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 Februari 2009
Adatnya sama dengan daerah sy…
Sang pengantin perempuan akan menangis tersedu sedu di hari pernikahannya karena sedih meningggalkan keluarganya…