Recommended

Untuk Apa Protes Iran?

Gerakan politik di Iran selalu tidak terlepas dari seni. Demikian pula dengan gelombang protes besar-besaran yang mengguncang Iran berbulan-bulan pasca kematian Mahsa Amini, perempuan muda 22 tahun yang meninggal setelah ditangkap polisi moral, gara-gara hijab yang dianggap tidak sesuai aturan.

Sebuah lagu dinobatkan sebagai “lagu kebangsaan” para demonstran dalam aksi protes menentang pemerintah. Para demonstran Iran serempak menyanyikan lagu ini, baik di Iran maupun di 200 kota di seluruh penjuru dunia, mulai dari London, Paris, Los Angeles, Toronto, Melbourne, hingga Tokyo.

Lagu berjudul Baraye ini diciptakan musisi muda Iran, Shervin Hajipour (25). Dia mengumpulkan cuitan para netizen Iran di Twitter mengenai alasan mereka berdemonstrasi menentang pemerintah. Ini berarti, pencipta lagu ini sebenarnya adalah rakyat Iran sendiri. 28 baris dalam lagu ini semuanya diawali kata “baraye”, yang dalam bahasa Persia berarti “untuk” atau “karena”. Ini adalah 28 alasan mereka melakukan protes, kata-kata sederhana yang menggambarkan depresi, luka, dan kemarahan orang Iran.

Hajipour menyanyikan sendiri lagu ini diiringi petikan gitarnya, memejamkan mata dan nada sendu yang mengguncang emosi. Dia mengunggah lagu ini di akun Instagram miliknya, langsung viral dengan 40 juta view. Dua hari kemudian, polisi Iran menangkapnya, dan lagu ini dihapus dari akun media sosialnya.

Namun, penangkapan itu justru menjadikan Hajipour sebagai sosok pahlawan legendaris. Orang-orang Iran mengunggah kembali lagu ini di akun media sosial masing-masing, menyanyikan kembali, bahkan ada yang menerjemahkan ke bahasa Inggris untuk audiens internasional. Seketika, lagu ini mendunia, menjadi simbol perjuangan rakyat Iran menentang pemerintahnya sendiri.

Saat mendengar lagu ini pertama kali dalam bahasa Persia, jujur saya tak kuasa menahan air mata, menangis selama berjam-jam. Saat tinggal di Afghanistan dulu, saya sering mampir ke Iran, dan punya banyak sahabat di sana. Seketika saya terbayang kembali memori tentang para sahabat lama itu, diliputi kekhawatiran apakah mereka semua baik-baik saja.

Untuk bisa benar-benar merasakan ratapan orang Iran yang tertuang dalam lagu ini, kita perlu memahami apa yang terjadi di Iran beberapa waktu terakhir. Saya mencoba menerjemahkan lirik lagu Baraye ini ke bahasa Indonesia, sembari memberikan sekilas informasi peristiwa yang menjadi latar belakangnya.


Untuk menari di jalanan

Untuk ketakutan saat berciuman

Untuk saudariku, saudarimu, saudari kita

Untuk mengubah pikiran yang membusuk.


Republik Islam Iran berdiri tahun 1979, menjadi gerakan Islamis pertama yang berhasil menempatkan ulama pada pucuk pimpinan negara. Iran menjadi pionir di dunia dalam hal penerapan hukum Islam sebagai hukum resmi negara.

Sejak tahun 1983, Iran mengeluarkan aturan wajib berhijab bagi semua perempuan di Iran, termasuk non-Muslim dan orang asing yang mengunjungi Iran. Untuk menegakkan aturan berpakaian Islami, pemerintah mengerahkan gasht-e-ershad, semacam polisi moral, yang memperingatkan, menangkapi, sampai menghukum para perempuan dan laki-laki yang dianggap berpakaian tidak pantas.  

Dukungan terhadap aturan wajib hijab di kalangan masyarakat Iran terus menurun, dari 85% pada awal 1980-an hingga menjadi 35% di tahun 2018, menurut laporan sebuah lembaga riset Parlemen Iran. Dalam beberapa tahun terakhir, Iran sebenarnya sempat cukup moderat tentang urusan pakaian, di bawah pemerintahan Presiden Hassan Rouhani. Banyak perempuan Iran yang mengenakan kerudung dengan sangat longgar, menampilkan sebagian besar rambut. Namun pengawasan pakaian kembali diketatkan di masa Presiden Ebrahim Raisi, yang berkuasa sejak 2021.

Mahsa Amini adalah perempuan etnik Kurdi dari kota Saghez, Kurdistan, mengunjungi Teheran bersama keluarganya. Pada 13 September 2022, Amini ditangkap polisi moral saat memasuki Jalan Raya Haqqani. Tak lama kemudian, pada 16 September 2022, Amini meninggal di rumah sakit setelah tiga hari mengalami koma. Keganjilan dalam kasus Amini itu diberitakan jurnalis Niloofar Hamedi, yang bekerja untuk Harian Shargh di Teheran. Setelah maraknya kasus Amini, Hamedi ditangkap di rumahnya oleh aparat Iran, dan dibawa ke Penjara Evin yang terkenal angker sebagai tempat penyiksaan kejam agen intelijen pada masa kekuasaan monarki Shah.

Beredarnya foto-foto Amini sejak di rumah sakit membangkitkan keprihatinan masyarakat luas. Otoritas Iran bersikukuh bahwa kematian Amini adalah karena serangan jantung, sedangkan keluarganya mengatakan Amini sama sekali tidak punya riwayat penyakit jantung. Pasca kematian Amini, ribuan perempuan Iran di berbagai penjuru negeri turun ke jalan, mengacungkan dua jari lambang Victory sambil meneriakkan slogan “Perempuan, Hidup, Kebebasan!

Sebagian perempuan bahkan berani melepas hijab di jalanan dan membakarnya, dan sebagian lagi sampai menggunting rambut sebagai wujud protes. Berbeda dengan protes kaum perempuan menentang aturan wajib hijab di awal tahun 1980-an, pada gelombang protes di tahun 2022 ini, para lelaki pun turut berdemonstrasi berdampingan dan mendukung penuh kaum perempuan.

Hadis Najafi, selebram Iran, tewas ditembak dengan 6 peluru tajam oleh aparat Iran, ketika berdemonstrasi terkait kasus Mahsa Amini

Pemerintah Iran menanggapi protes ini dengan kekerasan. Banyak demonstran yang dipukuli dan ditangkap. Sejumlah perempuan bahkan tewas ditembak atau dipukuli karena melepas hijab saat berdemonstrasi. Para pemuda dan anak-anak juga turut menjadi korban. Tindakan pemerintah yang represif terhadap aksi protes membuat demonstrasi semakin luas dan intens, terutama di kota-kota Kurdistan kampung halaman Amini, yang telah menjadi seperti medan perang. 

Aturan yang membatasi kaum perempuan di Iran tentu bukan hanya soal pakaian. Masih banyak aturan lain, termasuk larangan perempuan menari di jalanan, atau larangan bagi pasangan untuk mengekspresikan cinta di tempat umum. Pada tahun 2014, tujuh muda-mudi Iran ditangkap karena mereka menari mengiringi lagu Happy dari Pharrell Williams, diancam hukuman 6 bulan penjara dan 91 cambuk. Presiden Iran saat itu yang moderat, Rouhani, sempat menulis di Twitter untuk membela para pemuda yang ditangkap itu: “Kegembiraan adalah hak rakyat kita. Kita tidak seharusnya terlalu keras pada perbuatan yang disebabkan oleh kegembiraan.” 

Itulah sebabnya dalam aksi demonstrasi ini, juga terlihat aksi pembangkangan terhadap aturan pembatasan yang ditegakkan Republik Islam. Para perempuan yang melepas hijab menari-nari di tengah jalanan, beberapa bahkan berciuman secara terbuka dengan pasangan mereka. Ini adalah sesuatu yang mustahil terlihat di Iran pada masa sebelumnya.

Para demonstran Iran membakar hijab mereka di Teheran, 1 Oktober 2022. (Foto: Getty Images)

Untuk aib dari kaum papa

Untuk hasrat akan kehidupan yang biasa

Untuk bocah pemulung yang mengais mimpi

Untuk ekonomi terpimpin ini


Republik Islam Iran adalah negara yang berdiri atas dasar ideologi. Sejak berdirinya, rezim ini selalu konsisten bermusuhan dengan dunia Barat. Iran juga mendanai gerakan-gerakan Islamis militan di luar negeri, seperti Hizbollah di Lebanon, untuk memperkuat posisi geopolitik mereka di Timur Tengah.

Namun, kebijakan Iran yang sangat berorientasi ideologi itu juga membawa penderitaan bagi rakyatnya.

Keputusan Iran meneruskan program nuklir menyebabkan Iran mendapat sanksi global, sehingga kesulitan mengekspor minyak dan hasil industrinya. Kurs rial Iran anjlok drastis, dari sekitar IRR 12.000 per dolar Amerika pada tahun 2013 (setara dengan kurs rupiah saat itu) menjadi IRR 33.000 pada tahun 2017, dan kini IRR 42.000. Bisa dibayangkan betapa mahalnya harga barang-barang impor di Iran. Kondisi itu diperburuk dengan inflasi di Iran yang terus meroket, membuat kehidupan rakyat semakin sulit. Angka pengangguran meningkat drastis, dan kemiskinan merajalela.

Secara umum rakyat Iran telah menjadi semakin miskin, dengan sekitar sepertiga penduduk Iran hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada sejumlah kasus pekerja Iran yang membakar diri karena kemiskinan, misalnya seorang pekerja di Kermanshah yang membakar diri hingga tewas karena kemiskinan dan tidak sanggup membayar biaya pengobatan ibunya. Seorang pekerja di Iran yang diwawancara sampai menangis terisak-isak, mengaku tiga tahun lalu dia pernah menjanjikan untuk membelikan sepeda untuk anaknya, dan hingga hari ini pun dia tidak sanggup membelinya. Sementara itu pada tahun 2021, seorang bocah pemulung Iran diwawancara tentang cita-citanya, menjawab bahwa dia tak tahu artinya kata “cita-cita” sehingga dia pun tak punya cita-cita.

Seorang bocah pekerja di jalanan kota Kirman, Iran, 2007. (Foto: Agustinus Wibowo)

Untuk udara yang kotor

Untuk pohon-pohon yang layu di Valiasr

Untuk citah Pirouz yang mungkin punah

Untuk anjing tak berdosa yang dilarang


Bait berikutnya bicara tentang kerusakan lingkungan, yang dipandang telah terabaikan di bawah pemerintahan Republik Islam. Kualitas udara di Teheran dan banyak kota besar Iran lainnya telah begitu buruk, sehingga penduduk kesulitan bernapas. WHO pada tahun 2018 memasukkan Teheran dalam daftar “kota dunia dengan polusi terparah”, sedangkan Bank Dunia pada tahun yang sama menyebut 4.000 hingga 12.000 warga Iran meninggal setiap tahun karena polusi udara. Sementara itu, pohon-pohon chenar tua yang meneduhi Jalan Raya Valiasr di pusat kota Teheran malah banyak yang ditebangi, dengan alasan agar gedung-gedung pertokoan bisa terlihat dari jalanan.  

Iran juga dibayangi kepunahan spesies binatang langka citah Asia. Dua dari tiga bayi citah yang baru lahir di penangkaran pada tahun 2022, tewas. Seekor yang tersisa diberi nama Pirouz (“Kemenangan”), mungkin adalah individu terakhir dari spesies ini. Setelah kematiannya nanti, spesies citah langka ini mungkin akan benar-benar jadi sejarah.

Peristiwa lain yang menggugah perasaan masyarakat Iran adalah pembantaian anjing oleh pemerintah. Ulama Iran menyatakan bahwa anjing adalah binatang najis yang harus dimusnahkan, dan polisi menyatakan bahwa membawa anjing peliharaan berjalan-jalan di taman adalah tindak pidana. Pada tahun 2019, beredarnya video pembantaian brutal terhadap anjing-anjing liar memicu demonstrasi besar di Teheran. Atas nama agama, pemerintah Iran telah membantai 1.700 anjing di penampungan. 

Perempuan Iran membawa anjing peliharaannya di sebuah pusat perbelanjaan di Teheran (Foto: Reuters)

Untuk tangisan yang tanpa henti

Untuk bayangan mengulang momen ini

Untuk wajah yang tersenyum

Untuk para siswa, untuk masa depan


Pada 8 Januari 2020, pesawat penumpang Ukraine International Airlines PS752 dengan rute penerbangan Teheran-Kyiv ditembak jatuh dengan dua misil oleh Garda Revolusi Iran di Teheran, tiga menit setelah lepas landas. Otoritas Iran mengakui peristiwa itu sebagai kesalahan, mengira pesawat itu adalah pesawat militer musuh. Semua dari 176 orang di dalam pesawat itu tewas, mayoritas adalah orang Iran sendiri.

Di antara wajah-wajah yang tak mungkin akan tersenyum lagi itu adalah Reera Esmaeilion, gadis cilik berusia 10 tahun yang hendak berkumpul dengan keluarganya di Kanada. Ayahnya, Hamed Esmaeilion adalah penulis diaspora Iran di Kanada yang sudah memenangkan banyak penghargaan sastra. Pasca tragedi itu, Hamed menjadi ketua asosiasi keluarga korban musibah PS752, yang mencapai belasan ribu orang, menuntut tanggung jawab pemerintah Iran. Setelah merebaknya kasus kematian Mahsa Amini, Hamed juga mengorganisir demonstrasi global kaum diaspora Iran di seluruh penjuru dunia pada 1 Oktober 2022 untuk menentang rezim Republik Islam.

Sementara itu di dalam negeri Iran, menentang rezim secara terbuka adalah tindakan berani dan berbahaya. Seorang aktivis Iran, yang juga jurnalis dan pembuat film, Mohammad Nourizad, pada tahun 2010 sempat dipenjara karena menuntut pemimpin tertinggi Iran Khamenei untuk mundur. Pada tahun 2013, Nourizad membangkitkan kesadaran masyarakat Iran akan nasib anak-anak pemeluk agama Baha’i, yang tidak bisa mendapat pendidikan, karena agama mereka dianggap ilegal oleh pemerintah Iran. Pada tahun 2019, Nourizad ditangkap lagi karena mengkritisi pemerintahan ulama Iran, dihukum penjara 15 tahun, dan saat ini masih mendekam di penjara. 

Hamed Esmaeilion meratapi momen indah yang takkan terulang lagi bersama putrinya Reera dan istrinya, yang menjadi korban insiden pesawat PS752 yang ditembak jatuh pemerintah Iran.

Untuk surga yang dipaksakan ini

Untuk kaum intelektual yang dipenjara

Untuk bocah-bocah pengungsi Afghan

Untuk semua “untuk” yang tak terkatakan


Behest-e ejbari, “surga yang dipaksakan”, adalah kiasan dari aturan-aturan Syariat Islam yang diberlakukan di Iran, yang konon akan mendatangkan rahmat surgawi dari Tuhan. Namun dalam penegakan aturan-aturan ini, telah banyak darah yang tertumpah. Pada saat perang Iran-Irak, anak-anak kecil Iran didorong untuk mengorbankan nyawa sebagai penyapu ranjau atau pelaku bom bunuh diri, dengan iming-iming surga apabila mereka syahid. Sementara itu, para perempuan Iran dicemooh ulama, atau dipukuli, ditangkapi, dan digeret ke dalam mobil patroli oleh polisi moral, hanya karena mereka memakai hijab yang dianggap kurang layak. Semua ini membangkitkan pertanyaan: pada akhirnya ini adalah surga untuk siapa?

Rezim Republik Islam Iran tidak segan menangkapi, memenjara, dan menyiksa orang-orang Iran yang berani bersuara vokal menentang rezim. Ini termasuk begitu banyak jurnalis, penulis, pembuat film, aktor, seniman, sampai olahragawan. Salah satunya adalah Ali Younesi, seorang pelajar pemenang medali emas dalam Olimpiade Astronomi Dunia yang telah mengharumkan nama Iran, ditangkap karena membuat pernyataan yang memrotes tindakan pemerintah, dan baru-baru ini dijatuhi hukuman 16 tahun penjara.

Nasib yang penuh ketidakpastian juga dihadapi para pengungsi Afghanistan yang tinggal di Iran. Yang paling mengenaskan adalah anak-anak pengungsi, yang jumlahnya mencapai 1 juta orang. Mereka hidup dalam kemiskinan yang parah, dan sering mengalami tindak pelecehan. Tanpa perlindungan hukum, banyak kasus anak pengungsi Afghan yang diperkosa bahkan dibunuh. Tanpa status, mereka tak bisa menuntut keadilan kepada siapa-siapa.

Dalam kisah kehidupan keseharian orang-orang yang tinggal di Iran saat ini, ada begitu banyak penderitaan, begitu banyak ratapan. Daftar panjang alasan protes ini tidak akan pernah ada habisnya.

Pengungsi Afghan di Iran hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian hukum. (Foto: Agustinus Wibowo)

Untuk semua slogan-slogan kosong

Untuk reruntuhan rumah-rumah bobrok

Untuk perdamaian dan kedamaian

Untuk mentari terbit setelah malam panjang


Pada tahun 2020, seorang petinggi militer Iran, Jenderal Qasem Soleimani tewas dalam serangan Amerika di Baghdad, Irak. Sebagai ekspresi kemarahan, pemerintah Iran menggambar bendera Amerika dan Israel di lantai lapangan Universitas Shahid Behesti di Teheran. Mereka mengharapkan para mahasiswa menginjak-injak gambar bendera itu sebagai pernyataan kebencian Iran terhadap Barat. Namun yang mengejutkan, mayoritas mahasiswa Iran justru berjalan menepi dan menghindar, menolak menginjakkan kaki mereka di atas gambar bendera negara-negara yang disebut sebagai musuh besar Iran itu.

Mereka juga tidak mau meneriakkan slogan-slogan khas Republik Islam Iran, “Matilah Amerika! Matilah Israel!” Sebaliknya, slogan baru yang diteriakkan para demonstran pasca kematian Mahsa Amini adalah “Matilah diktator!”, ditujukan kepada Ali Khamenei, ulama pemimpin tertinggi Iran.

Peristiwa lain di pertengahan tahun 2022 yang menjadi keprihatinan masyarakat Iran adalah runtuhnya bangunan komersial Metropol di kota Abadan, Provinsi Khuzestan. Reruntuhan bangunan mengubur setidaknya 80 orang. Kualitas bangunan yang buruk terjadi karena korupsi: pebisnis yang melanggar aturan dilindungi para pejabat yang korup. Dalam berminggu-minggu setelah itu, gelombang protes melanda Abadan dan kota-kota lain. Slogan yang diteriakkan para demonstran juga adalah slogan anti-pemerintah, seperti “Ulama Harus Enyah!”, “Musuh Kita Ada di Sini, Bohong Kalau Bilang Musuh Kita Amerika”, dan “Bangkitlah Rakyat Abadan, Saudaramu Telah Dibunuh”.   


Untuk obat penenang dan insomnia

Untuk manusia, tanah air, dan kemakmuran

Untuk para gadis yang bermimpi menjadi laki-laki

Untuk perempuan, hidup, kebebasan


Di tengah buruknya ekonomi, tingkat pengangguran yang tinggi, kemiskinan, kemelut politik, dan berbagai insiden tak terduga, masyarakat Iran terus-menerus digelayuti kekhawatiran. Itu sebabnya, masalah kesehatan mental menjadi masalah serius di Iran, dengan sekitar satu dari lima penduduk Iran mengalami gangguan mental atau gangguan penggunaan zat.  

Pilunya nasib kelas bawah Iran ditunjukkan dalam sebuah video viral yang menggetarkan hati. Mei 2022, Karim Mohammadi dan Sirous Hosseinpour, dua pekerja pembuat roti, dalam video tampak melambaikan tangan sambil mengucapkan, “Sampai jumpa. Kepada semuanya, sampai jumpa!” Sesaat setelah merekam video itu, mereka bunuh diri, karena sudah tidak tahan lagi dengan penderitaan kemiskinan yang mereka alami.

Sementara itu, sebagian perempuan Iran justru masih bermimpi bisa menjadi laki-laki, agar bisa menikmati hak kesetaraan. Pada tahun 2019, seorang gadis muda pencinta sepakbola bernama Sahar Khodayari mencoba menyamar sebagai laki-laki untuk bisa menyelundup ke Stadion Azadi, demi menonton pertandingan sepakbola. Di Iran, perempuan dilarang menonton sepakbola di stadion bersama laki-laki, karena dianggap bertentangan dengan “aturan Islami”. Sahar tertangkap, diancam hukuman dengan tuduhan “tampil di depan umum tanpa hijab”. Keluar dari gedung pengadilan, Sahar membakar dirinya sendiri, dan kemudian meninggal di rumah sakit.

Sahar Khodayari, perempuan muda yang tewas membakar diri, hanya karena hasrat untuk bisa menonton pertandingan sepakbola di stadion.

  Kasus Mahsa Amini bukanlah satu-satunya alasan dari gelombang protes besar-besaran yang terus mengguncang Iran hingga hari ini. Ada begitu banyak alasan, begitu banyak kekecewaan, akumulasi berpuluh tahun kemarahan yang lama terpendam. Protes ini bukanlah tentang menolak hijab, melainkan perlawanan terhadap belenggu represi. Ini bukan untuk melawan agama, tetapi melawan rezim yang bertindak semena-mena menggunakan nama agama. Slogan mereka adalah sebuah impian, akan sekadar kehidupan yang normal. Perempuan. Hidup. Kebebasan.


Untuk kebebasan

Untuk kebebasan

Untuk kebebasan

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Untuk Apa Protes Iran?

  1. Kurs terakhir tahun 2021 adalah 1 USD sudah menyentuh = IRR 250,000 – 300,000. dan as per 2023 ini sudah mencapai IRR 405,000. Sebagai reference harga besin adalah 30,000 / liter (without quota) dan 15,000 (with quota / month)

Leave a comment

Your email address will not be published.


*