Titik Nol 135: Bukan Hari Valentine Biasa
14 Februari 2006. Matahari sudah mulai tinggi di Lahore. Tetapi tak ada hiruk pikuk klakson kendaraan di jalan raya yang biasanya selalu ruwet oleh segala macam kendaraan. Toko sepanjang jalan tutup semua. Bahkan sarapan pun susah. Ada apa ini?
“Hartal,” demikian jawab pemilik penginapan tempat saya tinggal. Artinya mogok – acara mogok massal di mana semua toko-toko tutup, semua orang tak bekerja dan mengurung diri di rumah, kendaraan tidak hilir mudik, semua kantor tak beroperasi. Saya ingat hartal adalah salah satu gerakan damai Mahatma Gandhi melawan imperialisme Inggris. Hingga sekarang, acara mogok-mogokan massal ini masih sangat populer di negara-negara Asia Selatan.
“Bukan, bukan hartal,” sanggah seorang pemuda pemilik guesthouse tempat menginapnya para backpacker asing, “Kamu lupa? Hari ini kan hari Valentine. Ini hari cinta kasih di Pakistan, dan dirayakan di seluruh negeri. Kamu pergi saja ke taman kota. Di sana kamu melihat pasangan muda-mudi memadu kasih.”
Sejak kapan Pakistan merayakan hari Valentine?
Tak ayal, saya tetap melangkahkan kaki ke arah taman kota. Jalan raya Mall Road, jalan paling ramai di Lahore, hari ini tampak lengang dan sunyi. Yang bertebaran di mana-mana cuma polisi Pakistan, berseragam coklat abu-abu, membawa tongkat kayu.
Ternyata memang hartal. Di koran tersebar himbauan agar semua orang menghentikan semua aktivitas kehidupan, mendukung solidaritas Muslim memprotes kartun yang menghujat Nabi. Seluruh penjuru Republik Islam Pakistan mogok. Apakah Denmark akan peduli dengan rakyat Pakistan yang kelaparan karena acara mogok nasional ini? Saya ragu.
Seorang polisi menganjurkan saya untuk segera menuju Data Darbar, makam suci guru Sufi – Syed Abu Hassan. Di sana akan ada demonstrasi besar-besaran. “Mari, minum teh dulu,” ajak polisi itu. Saya menggeleng, ingin segera sampai ke sana. Saya merangkul polisi itu, mengucapkan terima kasih dan selamat berpisah. Tak disangka, ia malah mencuri kesempatan menjilati leher saya.
Sekelompok orang berkumpul di depan Universitas Punjab, mendengarkan orasi dan meneriakkan yel-yel. Pembicaranya berpidato sambil menangis. Pendengarnya juga tak terlalu banyak ekspresi. Demonstrasi kecil-kecilan, pikir saya.
Mendekati arah Data Darbar, semakin banyak orang berkerumun. Mereka berdatangan, rombongan demi rombongan. Sekitar 50-an orang dalam satu grup. Seratus persen laki-laki, mulai dari bocah kecil umur tujuh tahunan sampai kakek tua berjenggot putih dan bersurban. Ada yang membentangkan spanduk lebar. Yang lain membawa poster dan tulisan. Mirip sekali dengan barisan karnaval acara Agustusan. Bedanya, ini bukan perayaan penuh bahagia. Mereka semua diliput kemarahan.
“Bush anjing… Bush anjing…” para demonstran itu berteriak-teriak berirama. Mereka membawa tongkat. Juga boneka yang dinamai Bush, walaupun sama sekali tidak mirip. Pria-pria itu kemudian memukuli boneka itu dengan sepenuh tenaga. “Bush kutta… Bush kutta… Bush anjing! Bush anjing!” demikian teriakan tanpa henti mengiring pidato pembakar semangat dari corong loudspeaker.
Melihat seorang asing asyik memotret, para demonstran ini semakin liar. Mereka memukul boneka semakin keras, berteriak semakin nyaring, berlarian semakin kencang. Saya terjebak dalam euforia kemarahan dan luapan emosi yang sepertinya sudah terlalu lama tertekan.
Matahari mulai tinggi, memancarkan terik yang semakin membakar amarah. Asap mengepul di mana-mana. Demonstran bukan lagi sibuk mulutnya, tetapi juga sudah gatal tangannya. Ban mobil dibakar. Kertas dibakar. Bendera Denmark dan Amerika dibakar.
Lapangan Data Darbar sudah penuh sesak oleh lautan laki-laki. Perempuan, yang memang sudah termasuk makhluk langka di jalanan Pakistan, semakin menghilang dalam situasi kacau seperti ini. Aroma kemarahan terus dikobarkan oleh seorang pembicara yang penuh emosi di atas panggung sana.
“Bush kutta! Amerika kutta! Denmark kutta! Israel kutta!” ribuan orang ini serempak menggemuruhkan hujatan-hujatan. Semua dianjingkan. Bahkan anjing sungguhan pun ikut dilibatkan dalam luapan kemarahan ini. Seekor anjing putih diarak ramai-ramai, digantungi kertas karton bertulis ‘BUSH’, dipukuli sampai hilang kesadarannya.
Pria-pria ini sudah semakin beringas. “Bush kutta! Musharraf kutti!” Bush anjing, dan Musharraf betinanya. Bush dan Musharraf, atau lebih dikenal sebagai pasangan Bush-Mush, adalah puncak kejengkelan orang-orang ini. Kasus kartun Denmark hanyalah katalis meledakkan semua kebencian kepada pemerintah, Amerika, Yahudi, kemiskinan, keterkekangan, kerendahdirian, keterbelakangan. Semuanya, semuanya, meledak bersama-sama seperti bisul yang sudah membusuk.
Saya merasa keadaan semakin tak menguntungkan, ketika orang-orang yang mengamuk itu mengalihkan pandangan ke arah saya. “Chini! Chini! Cina! Cina!” Saya mencoba menjelaskan bahwa saya bukan orang Tiongkok. Tetapi suara saya tenggelam dalam gemuruh yel-yel yang terus berkumandang. Beberapa orang memaksa saya untuk ikut berteriak, “Bush kutta! Bush kutta!”
Tiba-tiba, massa mengerumuni saya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya seorang dengan nada kasar, berusaha merampas kamera saya. Semakin banyak yang datang. Mereka semua berteriak-teriak ke arah saya, dalam serempak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya pening. Ada yang mencekal pundak saya. Yang lain lagi malah mengambil kesempatan melakukan hobi tak senonoh, meremas-remas bagian belakang saya.
Saya takut. Bingung. Dalam kekacauan ini saya malah seorang diri, tak berdaya. Saya terjebak dalam kerumunan orang-orang berjubah yang sudah dibungkus keberingasan. Ini bukan Pakistan yang saya kenal. Ini bukan hari Valentine yang penuh kasih sayang.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 Februari 2009
baca tulisannya seakan akan sy ikut disana.
kereen !