Titik Nol 136: Hancur Lebur
Saya dikeroyok orang-orang yang mulai beringas. Teriakan penuh marah terus bergemuruh. Asap mengepul di mana-mana. Data Darbar diselimuti lautan laki-laki yang membeludakkan semua kekesalan, “Bush anjing! Bush anjing!” bersahut-sahutan membahana.
Tiba-tiba tangan saya diseret seseorang. “Ikut saya,” katanya lembut, di tengah keberingasan gerombolan lelaki yang mengepung saya. Pria bertubuh gemuk ini kemudian menghalau orang-orang beringas yang masih berusaha menyerang saya. “Kita ke rumah dulu, yuk,” katanya. Saya mengangguk.
Qutbi bukan saja menyelamatkan saya dari kekisruhan, dia masih memberi saya segelas air dingin. Di dalam halaman rumahnya yang sederhana, saya aman. “Kamu pulang saja. Hari ini berbahaya sekali. Semua orang sudah jadi gila,” ia menganjurkan.
Saya menggeleng. Qutbi pun tak berdaya dengan kekeraskepalaan saya. Istrinya yang bercadar sekujur tubuh datang membawa sebuah kopiah putih. Qutbi memasangkannya di atas kepala saya. “Sekarang kamu sudah seperti pelajar Muslim,” kata Qutbi, “Orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi.” Saya sangat terharu.
Qutbi tidak tega melihat saya turun ke jalan sendirian. Ia menjadi pengawal saya. Saya merasa aman sekali.
Kami kembali ke Data Darbar. Orang-orang baru saja bershalat, dan sekarang siap bergerak, melakukan pawai jalanan keliling Lahore. Suasana semakin panas dan kacau. Asap mengepul tinggi dan api berkobar di mana-mana. Di sana-sini ada teriakan, nyanyian selawat, dan hujatan-hujatan kepada dunia Barat yang telah memperolok-olok Nabi.
Tiga orang memanjat tiang listrik, mengibarkan bendera Pakistan di puncaknya. Ratusan orang di lapangan Data Darbar bertepuk tangan, bersorak-sorai. Orasi terdengar di mana-mana, semua berbicara pada saat bersamaan. Beragam spanduk bertebaran, menyuarakan kemarahan yang sudah lama terpendam.
Menit demi menit berlalu, demonstran semakin liar. Papan iklan di sepanjang jalan dirusak. Toko yang memaksa buka di hari hartal ini ditutup paksa. Segala macam barang terlempar di udara—batu, sepatu, tongkat. Saya nyaris menjadi korban lemparan sepatu rombeng dan semprotan air, andai saja Qutbi tidak mendorong saya.
Saya ikut arak-arakan ini. Di tengah ribuan pria, yang nampak adalah mulut-mulut yang tanpa henti berteriak. Tetapi ada tawa lega menyelingi. Kelegaan untuk bisa berbicara, kelegaan meletuskan semua perasaan yang telah begitu lama dipendam. Ada pula truk bak terbuka, yang mengangkut banyak bocah-bocah kecil. Apakah anak SD sudah mengerti politik? Bukan soal, yang jelas mereka semakin meramaikan pawai raksasa ini, yang sudah lama tidak pernah ada di kota Lahore.
Ribuan orang ini bergerak perlahan-lahan menuju Mall Road, jalan utama kota Lahore. Pot bunga sepanjang jalan sudah hancur. Apa salah pot-pot dan bunga-bunga malang ini? Di kejauhan, api besar membara mewarnai angkasa. Langit biru Lahore dicorat-coret hitamnya asap.
Kota Lahore terbakar. Gerai McDonald’s sudah ludes. Bangku dan meja diarak keluar. Mesin kasir dirusak. Sobekan-sobekan kertas beterbangan, diterpa angin, bak hujan gerimis berjatuhan ke arah lautan manusia. Kentucky Fried Chicken, National Bank Pakistan, Askari Bank, Pizza Hut, showroom Suzuki mengalami nasib serupa.
Saya masih sempat menyaksikan rumah makan Shezan membara. Ini restoran langganan saya, kepunyaan orang Pakistan dan sama sekali tidak terkait-mengait dengan kartun Denmark. Kenapa harus jadi korban? Juga puluhan mobil dan sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan. Ludes, menjelma menjadi rongsokan besi gosong.
“Semua sudah gila,” kata Qutbi lirih. Saya mengangguk. Tak terasa air mata menetes di pipi. Bagaimana mungkin kota Lahore yang saya cintai, dalam sekejap menjadi puing-puing dilalap api kemarahan?
“Yih bahut accha hai! Ini bagus sekali!” kata seorang pemuda tertawa bangga, setelah membakar mobil-mobil yang diparkir di dekat Bank Askari. “Amerika memang harus dijatuhkan!” Saya tak tahu apa hubungannya menjatuhkan Amerika dengan cara membakar mobil di Pakistan. Qutbi segera menyeret saya pergi, supaya saya tidak sampai berdebat dengan kerumunan orang marah ini.
Ada juga yang memancing di keruhnya air kubangan ini. Belasan pemuda menyeruak masuk ke gedung-gedung mewah sepanjang Mall Road, menjarah apa saja yang bisa diambil. Laptop, televisi, mesin cuci. Semua diboyong keluar. Yang terlalu berat langsung dibakar. Tumpukan monitor dan komputer menyemburkan api di jalanan yang padat oleh para demonstran.
Lahore, salah satu kota paling modern di Pakistan, kini dibanjiri orang-orang berserban. Dari mana datangnya mereka? Di hari-hari biasa, saya hampir tak pernah melihat mode pakaian seperti ini di Lahore. Tetapi sekarang, mereka ribuan jumlahnya. “Mereka bukan orang sini,” bisik Qutbi.
Di manakah polisi? Setelah kantor Citibank ludes, rombongan polisi bertongkat kayu baru datang. Para perusuh yang diperintahkan bubar, malah bangkit kemarahannya. Mereka melempar batu ke arah polisi. Polisi menyemprotkan gas air mata. Saya berada di tengah-tengah.
Saya bersembunyi menghindari batu yang beterbangan. Tetapi mata saya perih. Baru pertama kali saya merasakan semprotan gas. Qutbi sudah tidak sabar lagi, menyeret saya ke pinggiran. Saya hanya melihat darah membilas trotoar.
Suara tembakan terdengar. Perusuh mulai reda. Semua orang diperintahkan duduk. Seorang mullah pemimpin Jama’at-e-Islami menenangkan massa, meminta mereka pulang. Kemarahan tak bisa diredam dengan tembakan dan gas air mata. Hanya omongan sang mullah yang manjur untuk membuyarkan kerumunan ini.
Lahore hancur lebur. Gedung-gedung megah sepanjang Mall Road berubah menjadi puing-puing. Saya hanya satu individu yang tanpa arti di sini. Saya hanya bisa miris, hati saya menangis. Bahkan saya masih tak kuasa menahan air mata ketika diwawancara wartawan lokal.
Senja mulai membungkus Lahore. Api masih berkobar. Bangkai-bangkai mobil sepanjang jalan menjadi saksi kegilaan hari ini. Qutbi melangkah gontai. Saya mengikutinya. Kota tercinta ini dipenuhi asap gelap dan kemarahan. Hancur.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 Februari 2009
Leave a comment