Titik Nol 139: Do Nambar
Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai.
Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya.
Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita.
Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara laki-laki, sehingga dia bisa duduk di dekat jendela, dan si lelaki duduk berdampingan dengan penumpang lainnya.
Saya bisa memahami mengapa perempuan mendapat tempat istimewa dalam kendaraan umum. Pernah saya naik colt yang penuh sesak oleh penumpang. Di bagian tengah, di belakang sandaran kursi sopir, masih bisa dijejalkan lagi empat penumpang. Kebetulan saya mendapat tempat duduk di tengah, dan seorang pria berpakaian shalwar qamiz duduk di hadapan saya. Karena tempat yang sesak, kaki kanannya terhimpit di antara kedua kaki saya. Sepanjang perjalanan, sesekali mobil terlompat karena lobang di jalan, kakinya bergesekan di antara kedua paha saya. Tetapi seterusnya, walaupun tidak ada lobang di jalan, dia pun asyik menggesekkan kakinya, mungkin baginya sudah merupakan kenikmatan yang tak terhingga.
Kebanyakan penumpang perempuan lebih nyaman naik bus besar daripada kendaraan seperti ini. Walaupun tidak sebanyak colt, bus besar adalah favorit saya karena harga karcisnya yang lebih murah dan tempat duduknya yang lapang. Penumpang perempuan di bus bagian depan, laki-laki di belakang.
Waktu saya naik, bus masih kosong. Tempat duduk di sekitar sopir juga ditempati penumpang laki-laki. Kondektur juga mempersilahkan saya duduk di depan, perlakuan istimewa karena saya orang asing.
Kemudian ada penumpang perempuan naik. Kondektur langsung berteriak, “ladies hai… ladies hai...” untuk mengusir para lelaki yang duduk di kursi untuk perempuan. Dalam bahasa Urdu, perempuan disebut aurat, tetapi kata bahasa Inggris ladies lebih sering digunakan.
Penumpang laki-laki segera mengosongkan tempat duduk, mempersilakan perempuan untuk duduk di sana.
Karena saya duduk di atas mesin di sebelah sopir, saya mendapat kesempatan langka untuk mengamati para penumpang perempuan di bus ini. Dalam hati saya sempat berpikir, sungguh susah hidup di sini, bahkan untuk duduk dalam bus saja banyak aturannya. Tetapi 20 menit kemudian, di bus yang sama, saya menemukan sebuah jawaban mengapa sistem ini ada di Pakistan.
Semua penumpang perempuan di bus ini berbusana Muslim. Tiga di antara mereka, hanya kelihatan matanya saja. Yang dua sisanya, seorang ibu 40 tahunan dengan seorang gadis yang mungkin putrinya, berkerudung. Di sini tidak ada pemandangan macam mahasiswi seni yang saya lihat di salah satu universitas di Lahore, gadis berpakaian celana jeans dan kaus ketat ditambah rambut panjang tergerai. Pakaian seperti itu naik bus seperti ini sama saja dengan cari masalah sendiri.
Tiba-tiba ibu yang berkerudung itu berteriak. Segala macam makian dan kata kotor terlontar dari mulutnya. Keributan langsung menjalar ke semua sudut bus yang penuh sesak ini. Para wanita bercadar lengkap pun ikut memaki dari balik baju hitam mereka.
Apa yang terjadi? Seorang penumpang pria yang duduk di belakang ibu yang berkerudung itu berusaha mengambil kesempatan mengelus rambut dan leher ibu itu. Saya heran, walaupun sudah tua dan terbalut kerudung seperti itu perempuan masih bisa menjadi sasaran pelecehan. Ibu-ibu terus mengomel. Umpatan dan caci maki adalah senjata utama perempuan di sini, karena mereka tak mungkin menempeleng atau adu jotos. Kondektur berusaha menenangkan penumpang lainnya. Pelaku sudah dipegang, langsung menjadi bahan hujatan seisi kendaraan.
“Bawa saja ke polisi,” kata seorang ibu yang terbungkus rapat dalam cadar, “di depan nanti ada pos polisi. Kita serahkan saja.”
Di Zero Point, titik awal kota Islamabad, bus berhenti di sebelah pos polisi lalu lintas. Kebetulan saya juga turun di sini. Kondektur langsung menyorong si pelaku turun, sambil berteriak ke arah polisi, “Ini, ada do nambar!!!”
Do nambar, secara harafiah berarti ‘nomor dua’, adalah slang bahasa Urdu untuk merujuk kualitas rendah. Barang impor dari China yang murah tapi mudah rusak disebut barang do nambar.. Yang disebut kaum do nambar di sini adalah pelaku zinah, peleceh seksual, dan homoseksual.
Pria do nambar itu berpakaian hitam-hitam. Wajahnya datar, entah takut entah pasrah menerima nasibnya. Ia langsung ditampari kawanan polisi di pinggir jalan raya, kemudian digiring ke pos polisi yang sempit itu, di mana beberapa polisi lainnya juga tampak senang mendapat mangsa di hari mereka yang membosankan ini. Terdengar suara tamparan berkali-kali. Pria itu berusaha melarikan diri, tetapi langsung disergap dan dipukuli lebih kejam lagi.
Di hari yang sama, saya berjumpa dengan mahasiswi Muslim Tionghoa asal Yunnan, China. Ia juga berjilbab. Tak seperti saya yang menikmati berkeliling Pakistan, si gadis hampir sama sekali tak pernah keluar dari kampusnya. “Lelaki sini tidak baik,” katanya dalam bahasa Mandarin.
Sebenarnya bukan hanya Pakistan saja yang punya tempat khusus bagi penumpang perempuan. Kereta komuter di India dan kereta api bawah tanah di Jepang juga punya. Di tengah penuh sesaknya penumpang, selalu ada manusia kualitas nomor dua yang mencari kesempatan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 Februari 2009
Leave a comment