Titik Nol 140: Kota Modern
“Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.”
Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya.
Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian.
Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city Islamabad, ibu kota ini sungguh merupakan dunia yang berbeda. Begitu memasuki perbatasan Islamabad, jalan berlubang dan macet khas Rawalpindi tinggal kenangan. Bangunan kuno berwarna bata merah coklat langsung berubah menjadi gedung tinggi dan rumah mewah bak istana. Zero Point Islamabad, ditandai dengan monumen bola dunia berukuran besar, menyambut kedatangan Anda di kota masa depan Pakistan.
Kota modern ini benar-benar dimulai dari nol. Arsitek dan ahli tata kota luar negeri didatangkan untuk melahirkan Islamabad. Hasilnya, sebuah kota berbentuk seperti buku kotak-kotak kalau dilihat dari udara, terbagi atas zona, sektor, dan blok, dengan jalan-jalan berkode angka dan huruf, penataan yang telah dihitung masak-masak secara ekonomis dan matematis. Terciptalah Kota Islam ini, modern, tapi bukan lagi Pakistan.
Jalanan Islamabad semua lurus, panjang sejauh mata memandang. Ruas-ruas jalan melintang sejajar dari timur ke barat, dari utara ke selatan, menghasilkan kotak-kotak sektor berukuran 2 x 2 kilometer. Keteraturan sektor ini mempunyai nama yang teratur pula, satu huruf dan satu angka, persis seperti indeks garis penunjuk di atas peta. Kotak-kotak horizontal mempunyai kode huruf yang sama, kotak vertikal punya kode angka yang sama.
Setiap sektor masih dibagi lagi menjadi empat sub-sektor, masing-masing berukuran 1 x 1 kilometer. Di titik pertemuan keempat sub-sektor ini adalah pusat sektor, disebut markaz, pusat komunal warga yang tinggal di sektor. Di markaz ada pasar, super market, toko elektronik, potong rambut, warung internet, toko buku, restoran, gym, dan seterusnya. Tak semua daerah diizinkan untuk mendirikan bangunan. Pohon hijau dan taman indah wajib ada di setiap sektor.
Alamat di Islamabad cukup dinyatakan dengan huruf dan angka, misalnya F-9/4 berarti berada di baris F kolom 9 sub-sektor 4. Susah mengingatnya? Orang biasanya mengingat nama sektor menurut landmark yang ada di markaz. Misalnya F-7 disebut Jinnah Supermarket, G-9 disebut Karachi Company, dan G-6 Melody Market.
Perancangan kota secara keseluruhan juga berorientasi jangka panjang. Pusat komersial diletakkan di antara sektof F dan G, sepanjang jalan lebar Blue Area atau Ali Jinnah Avenue. Gedung baru dan tinggi, dengan beragam arsitektur inovatif, berbaris rapi menawarkan mimpi masa depan Pakistan. Ada pula zona khusus kedutaan, disebut Diplomatic Enclave, tertutup bagi semua yang tak berkepentingan.
Tetapi justru saya merasakan kebosanan di kota yang serba teratur ini. Jalan lurus dan panjang, kosong dan sepi. Jalan raya terlalu lebar untuk mobil yang jarang-jarang melintas. Tak ada kemacetan ala Jakarta di sini, tetapi kekosongan jalanan ibu kota yang bahkan lebih kosong daripada jalan tol sungguh menebarkan nuansa yang tak biasa.
Dari sektor ke sektor, sungguh jauh saya harus berjalan. Lurus saja tanpa belokan sama sekali, melintasi taman-taman hijau yang selalu sama. Di balik rimbunnya pohon-pohon itu adalah kompleks perumahan mewah eksklusif kelas atas Pakistan. Di kota ini hidup para pejabat pemerintahan, menteri, pemimpin agama, pengusaha, artis, dan kalangan orang penting lainnya. Mereka hidup di balik tembok vila yang menjulang, dijaga lindungan satpam berseragam dan polisi yang berpatroli.
Tetapi tak semua yang tinggal di kota ini adalah warga kelas atas. Ada juga slum atau perkampungan kumuh di tengah sektor-sektor modern Islamabad. Selain orang Pathan, pengungsi Afghanistan, sekarang Islamabad juga dihuni oleh pengungsi gempa yang tinggal di perkemahan. Perkampungan kumuh Islamabad pun masih terbilang cukup teratur dan bersih bila dibandingkan dengan perumahan kelas bawah lainnya di Rawalpindi atau Lahore. Sungguh ada sesuatu yang hilang di sini – vibrasi kehidupan Pakistan yang dahsyat dan penuh hingar-bingar.
Bukan Islamabad – Kota Islam – namanya kalau tidak punya Masjid Faisal, salah satu masjid terbesar di muka bumi ini, mampu menampung hingga 300 ribu umat. Tak seperti kebanyakan masjid di Pakistan, di sini muslimah pun datang sembahyang. Masjid yang selesai dibangun tahun 1986 ini arsitekturnya tak berkubah dan malah menjadi karakter khas kota modern ini. Yang menjadi penyandang dananya adalah Raja Faisal dari Saudi Arabia.
Hubungan Pakistan dan Saudi Arabia terlihat sangat mesra. Baru-baru ini Raja Abdullah berkunjung ke Islamabad, disambut besar-besaran dan di mana-mana tampak fotonya berukuran raksasa diapit gambar Presiden Musharraf dan Perdana Menteri Shauqat Aziz. Baliho besar bertajuk penghormatan pada ‘wali kedua Masjid Suci’ menghiasi sudut-sudut Islamabad. Gedung Saudi-Pak yang tinggi penuh dekorasi etnik juga menjadi kebanggaan ibu kota.
Namun tak semua bangunan modern di Islamabad menyimpan cerita indah. Reruntuhan Margala Tower, kondominium mewah di sektor F-10 yang ambrol digoyang gempa Kashmir 8 Oktober 2005 silam. Separuh bangunan ini masih berdiri, menjadi saksi tragedi yang menewaskan setidaknya 70.000 penduduk dan membuat tiga juta jiwa kehilangan tempat tinggal.
Saya berdiri terpekur di hadapan perumahan mewah yang kini menjadi puing-puing duka ini. Rasa bersalah menyelimuti diri saya, yang bercita-cita menjadi sukarelawan gempa namun malah masih di sini berpangku tangan.
(Bersambung)
(bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 Februari 2009
Leave a comment