Titik Nol 157: Majlis di Noraseri
Ternyata bukan hanya di Muzaffarabad saja Chehlum diperingati. Bahkan di desa terpencil Noraseri, di atap rumah yang hampir ambruk, di hadapan gunung agung Nanga Parbat, orang-orang dengan takzim mendengar ceramah suri tauladan Imam Hussain.
Farman Shah, seorang penduduk desa terpandang, mengundang saya untuk mengikuti peringatan Chehlum yang diadakan di rumahnya, tepat pukul 1 siang. Seorang lelaki bernama Tajjamal khusus diutus untuk menemani saya yang masih di Muzaffarabad. Pria ini berkumis, berjenggot, dan bercambang lebat. Sebenarnya masih muda, tetapi karena rambut-rambut di wajahnya, jadi kelihatan tua sekali.
Perjalanan ke Noraseri dengan angkutan umum ternyata tidak mudah. Kami berdua sempat ganti kendaraan tiga kali. Yang pertama saya harus berdiri bergelantungan di luar mobil Suzuki, dengan kedua tangan memegang erat-erat tiang besi supaya tidak jatuh. Ini sebenarnya sudah lazim kalau berjalan-jalan di Pakistan. Tetapi jalanan Kashmir bergunung-gunung, berlubang dan bergerunjal. Berapa kali saya terlompat, belum lagi wajah saya diraupi debu jalan. Sungguh tidak nyaman.
Saya bertanya kepada Tajjamal tentang Aliwallah yang merayakan Ashura dan Chehlum. “Hai. Saya juga Aliwallah, karena saya juga cinta Ali. Bukan hanya orang Syiah saja yang Aliwallah. Semua orang yang mencintai Ali, termasuk Sunni, juga disebut Aliwallah.”
Tajjamal, sebagaimana kebanyakan orang Sunni di Pakistan, sangat tidak suka dengan kebiasaan menyakiti diri sendiri untuk menunjukkan rasa cinta dan perkabungan. “Tidak ada itu dalam Quran. Kebiasaan itu jahil, dari zaman jahiliyah sebelum Islam datang.”
Sekarang kami mencegat truk di jalan. Kebetulan supir truk adalah etnis Pashtun, yang merupakan suku mayoritas di Afghanistan. Suku ini terkenal dengan kulturnya yang konservatif.. Taliban adalah salah satu produknya yang tersohor. Si supir truk sepanjang jalan terus mengumpati kebodohan orang-orang yang melakukan zanjirzani.
Sejak bencana itu, Tajjamal tinggal di Muzaffarabad. Ini kali pertama ia kembali ke kampungnya. Gempa dan longsor yang terus mengguncang Noraseri membuatnya tak mengenali lagi jalanan di kampung halamannya itu. Tetapi semua orang desa rindu padanya. Sepanjang jalan, Tajjamal dipeluk dan dirangkul oleh penduduk yang kami jumpai.
Rumah Farman, sang empunya acara hari ini, terbilang cukup besar dan mewah. Keluarganya termasuk sangat kaya di desa ini. Tetapi sejak gempa mereka tinggal di tenda yang dipasang di pekarangan. Rumah Farman sudah retak. Temboknya bisa ambrol setiap saat, sangat berbahaya untuk ditinggali.
Tetapi justru di rumah yang dalam kondisi kritis ini, acara perhelatan dengan mengumpulkan orang-orang desa, akan diselenggarakan. Bukan di dalam rumah, melainkan di atas atap.
Farman, pria 36 tahun dan bertubuh subur ini, mengenakan jubah hitam-hitam. Hitam adalah warna berkabung, warna pakaian favorit selama bulan Muharram hingga Chehlum.
Bocah-bocah mulai berdatangan, kebanyakan adalah murid sekolah kepunyaan Farman. Beberapa penduduk desa pun ikut hadir, walaupun tak begitu banyak. Di Noraseri tak banyak pemeluk Syiah. Bahkan tamu yang hadir ini pun kebanyakan pemeluk Sunni. Pembicara yang akan berceramah di hadapan majlis adalah seorang guru Syiah dari Muzaffarabad.
“Imam Hussain bukan hanya monopoli umat Syiah,” kata guru itu, “Umat Hussain dicintai oleh semua Muslim, baik Sunni maupun Syiah.” Bagi Muslim, Imam Hussain telah gugur sebagai syahid melawan kesesatan. Keberanian dan ketaatannya adalah suri tauladan bagi semua ummah.
Walaupun mayoritas penduduk Pakistan memeluk sekte Sunni, Ashura dan Chehlum adalah hari libur nasional di negara ini. Muslim Sunni pun ikut meratap dan berkabung selama bulan Muharram. Di sini, tidak ada yang merayakan Muharram dengan gegap gempita seperti menyambut tahun baru. Bahkan musik pun nyaris tak terdengar.
Bendera hitam berkibar-kibar gagah di atas atap ini. Puluhan pelajar sekolah dasar dan beberapa penduduk desa duduk di atas tikar. Acara majlis dimulai dengan lantunan doa dan shalawat oleh seorang bocah tetangga. Suaranya merdu sekali, membahanakan keagungan gunung-gunung yang mengitari segala penjuru. Nanga Parbat, gunung mistis bertudung salju, takzim dalam kebisuannya.
Khotbah majlis sudah beberapa kali saya dengar. Jalan ceritanya saya mulai hafal. Dimulai dari kisah Ali, penderitaan Imam Hussain yang bertempur di padang pasir, keteguhan imannya, ketaatannya pada Allah, serta keberaniannya melawan kebatilan. Saya yakin, penduduk pun sudah beratus kali mendengar kisah ini. Walaupun demikian, setiap khotbah majlis tentang Imam Hussain, selalu banyak yang menangis tersedu-sedu.
Tajjamal yang sudah lapar dan bosan malah menyeret saya ke rumah bibinya. Saya disuguhi nasi kari sapi yang luar biasa lezatnya. Setelah kekenyangan, saya bukannya segera kembali ke rumah Farman, malah ketiduran di kemah Tajjamal.
Jam 5:30 sore, baru saya bangun, dan bergegas ke rumah Farman. Langit sudah hampir gelap. Semua orang sudah bubar. Saya berkali-kali minta maaf ke Farman, karena ‘bolos’ dari acara majlis. Farman malah menyuguhi saya biryani lezat masakan koki kami yang pernah bekerja di Yunani. Saya sudah tidak kuat makan lagi.
Bendera hitam di rumah Farman terus berkibar, dihembus angin pegunungan yang kencang. Betapa indahnya kehidupan di sini, ketika umat dari sekte-sekte yang berlainan bisa hidup bersama dalam damai. Semoga damai ini menjalar ke seluruh penjuru Pakistan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 12 Maret 2009
Leave a comment