Titik Nol 159: Hindko
Cahaya remang-remang bohlam mungil mengaburkan raut wajah para penghuni rumah. Tetapi tawa riang tak pernah berhenti membawa kesegaran di sini.
Yang saya ingat dari Samera, kakak Hafizah yang berusia 25 tahun ini, adalah seorang wanita berkulit gelap yang menangisi kepergian ayahnya, almarhum Haji Sahab. Di bawah rintik hujan, suara Samera meraung memilukan. Liang kubur ayahnya baru saja ditutup ketika ia menginjakkan kaki di tanah Noraseri yang becek.
“Mengapa tidak ada foto Bapak?” kata Samera kecewa, memencet-mencet tombol kamera digital saya. Saya memang tidak mengambil foto jenazah Pak Haji karena takut melanggar norma masyarakat setempat. “Saya tidak sempat melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya, tetapi kamu malah tidak memotretnya,” keluh Samera lagi, air matanya menetes membasahi pipi.
Tetapi Samera hari ini, tiga minggu lebih setelah kepergian ayahandanya, sudah berubah menjadi perempuan yang ceria. Ia tertawa lepas ketika melemparkan bayinya yang baru enam bulan tinggi-tinggi, dan kemudian memeluk si bayi erat-erat. Bayi laki-laki itu sama sekali tidak menjerit atau menangis.
“Anakku ini bocah pemberani,” katanya sambil mengusap-usapkan kepalanya di atas kepala si bayi. Bayi itu hanya tersenyum kecil. Samera kemudian mengangkat bayinya tinggi-tinggi, memutar makhluk malang itu seperti kincir angin. Si bayi tertawa lepas. Samera lebih bangga lagi.
Si bayi pemberani ini sudah melewatkan masa-masa paling mencekam di Kashmir. Ketika bumi bergoncang, bayi Samera tidur dengan nyenyaknya di dalam kamar. Ajaib, bayi ini selamat. “Anak pemberani memang dilindungi Khuda – Allah,” katanya.
Rumah Pak Haji ini dipenuhi oleh perempuan. Selain Bu Haji, Hafizah, Samera, masih ada lagi kakak beradik lainnya, juga sepupu dan tetangga. Saya yang sudah lama tinggal di Pakistan, di mana hubungan dengan lawan jenis selalu dibatasi purdah – tirai pemisah kasat mata. Jangan menginap di rumah yang hanya dihuni kaum wanita, untuk berbicara atau bergurau dengan perempuan saja saya tak berani membayangkan.
Di negara ini, hubungan antar gender harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Terlepas dari keramahtamahan orang Pakistan yang tiada terkira, seringkali mereka ragu-ragu mengundang saya masuk ke dalam rumah kalau ada ibu atau saudara perempuan yang tak boleh tampak dalam pandangan saya. Seorang kawan mengingatkan saya, kita tak boleh menatap mata jika berpapasan dengan perempuan di jalan. Tak boleh sembarang bicara dengan perempuan, apalagi memotret. Malam ini di bawah sinar lampu remang-remang, saya malah berada di kamar yang sama dengan putri-putri Pak Haji, yang tak berhenti bercanda dan tertawa. Saya begitu dekat dengan gadis dan perempuan muda ini, yang sudah tanpa rasa sungkan melepas balutan kerudung dan kungkungan sosial yang membatasi hubungan antara pria dan wanita.
“Augustine,” Uzma, adik Samera, merajuk manja, “mulai sekarang, kamu jadi kakak dan saya jadi adik ya. Kamu jadi bagian keluarga ini.”
“Iya. Sudah tidak perlu sungkan lagi,” kata Samera.
Hafezah menyembulkan senyum di wajahnya yang bundar.
Saya meletakkan telunjuk ke telinga kiri, kemudian ke telinga kanan, berulang-ulang sebanyak tiga kali, sambil mengucap, “tobah…tobah...”, gestur penduduk setempat setelah melakukan dosa. Para wanita itu tertawa lepas melihat kekikukan saya.
“Kamu sudah bukan tamu lagi,” kata Hafizah, “kamu sudah benar-benar dianggap anggota keluarga. Lihat, kami tadi tidak memberi kamu makan waktu pengajian tadi, kan? Sekarang kamu makan bersama kami, karena kamu bagian dari rumah ini.”
Mereka memang sudah menghancurkan dinding tembus pandang yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Sudah lama saya tak melihat wanita tertawa begitu lepas seperti ini. Saya sekarang berada di sebuah sudut rumah, bercanda bersama kaum wanita yang bukan muhrim, sesuatu yang nyaris mustahil bagi pria lainnya di Pakistan. Segala macam gurauan, mulai dari yang konyol, kasar, sampai jorok, terus mengalir tanpa henti. Saya juga baru tahu kalau perempuan Pakistan, dari balik kerudung dan purdah, ternyata punya koleksi kata-kata umpatan yang tidak kalah dahsyatnya.
“Ayo, sekarang kamu harus belajar bahasa Hindko,” kata Samera. Hindko adalah bahasa setempat yang masih berkerabat dengan bahasa Punjabi, dan masih tidak terlalu jauh jaraknya dari bahasa Urdu sehingga saya masih bisa menebak-nebak artinya. Hindko, secara harafiah berarti ‘gunung India’, adalah bahasa lokal yang banyak digunakan di Pakistan Utara. “Kalau kamu bisa bahasa Hindko, kamu sudah jadi penduduk Noraseri kelas satu,” Samera terus meyakinkan.
Samera kemudian mengucap kalimat Hindko, “Tum julsi? Men na julta. Tum ko pata? Mu ko ni pata.” Artinya, ‘Kamu pergi? Saya tidak pergi. Kamu tahu? Saya tidak tahu.’ Saya kemudian mengulangi barisan kata-kata itu, yang langsung disambut ledakan tawa seluruh rumah. Mungkin karena logat saya yang masih hancur.
Orang-orang Noraseri ini memang punya selera humor yang sukar saya pahami. Mereka sering tertawa lepas untuk gurauan-gurauan yang entah di mana lucunya. Sejak beberapa minggu lalu, pemuda desa punya kebiasaan baru dalam mengucap salam setiap kali bertemu. Pertama-tama salah seorang berseru, “Mari pergi ke Barhean!”, yang disambut dengan jawaban, “Saya mencegat mobil, tetapi tidak ada yang berhenti!”, yang kemudian disambung tawa tanpa henti dari kedua belah pihak. Apa yang lucu? Hanya orang desa ini dan Tuhan yang tahu.
Konon orang Noraseri terkenal dengan keramahtamahan dan kebiasaan bercanda yang berlebihan. Tetapi, sudah sekian lama saya di sini, saya masih belum bisa mencerna pula karakter candaan mereka. Saya hanya ikut tertawa tanpa tahu apa yang sebenarnya saya tertawakan.
Tetapi ternyata saya tak sendirian. Hafizah mencibir, “Benar-benar orang bodoh, tertawa tanpa sebab. Apanya yang lucu dengan ‘pergi ke Barhean’ atau ‘Kamu tahu? Saya tidak tahu”.. Orang-orang sini sekarang mulai bertahan hidup dengan mentertawakan ketotolan yang maha bodoh!”
Malam semakin larut. Canda dan tawa harus diakhiri ketika Bu Haji datang dan memperingatkan kami semua untuk segera pergi tidur. Saya tidur di kamar sebelah, bersama keponakan dan sepupu Samera yang laki-laki.
“Mari pergi ke Barhean!”
Kami pun menutup malam dengan tawa dan cekikikan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 Maret 2009
Leave a comment