Titik Nol 160: Akhir Sebuah Perkabungan
Saya masih ingat nuansa pilu pada acara perkabungan di bawah rintik hujan itu. Almarhum Haji Sahab meninggalkan berbagai kenangan di sanubari penduduk Noraseri. Tak lama lagi masa berkabung empat puluh hari ini akan berlalu.
Sekali lagi saya menginap di rumah almarhum Pak Haji yang didiami janda dan putra-putrinya. Kali ini saya datang setelah menerima undangan peringatan chehlum, empat puluh hari, kepergian almarhum.
Rumah Haji Sahab kali ini jauh lebih meriah daripada biasanya. Semua sanak saudara dan kerabat berdatangan untuk memperingati hari terpenting dalam rentetan acara perkabungan ini.
“Ini kawan saya,” kata Hafizah dengan ramah, memperkenalkan seorang wanita. ‘Teman’ yang dimaksud ternyata saudara iparnya. Kemudian ada lagi ‘kawan’ yang lain, yang ternyata bibinya. Ada puluhan ‘kawan’, datang dari segenap penjuru Kashmir dan Punjab untuk memanjatkan doa untuk almarhum. Bocah-bocah berlarian ke sana ke mari, loncat ke sini, loncat ke sana. Terkadang suara tangis menambah semrawutnya suasana rumah ini.
Chehlum, bagi Bu Haji, adalah sebuah kesempatan bahagia yang cukup langka. Tidak sering sanak saudara bisa berkumpul seperti ini. Bu Haji cukup sibuk, setiap ada tamu yang datang beliau menemani para tamu memanjatkan doa bagi almarhum Haji Sahab. Tetapi beliau masih sangat bersemangat dengan datangnya hari besar ini.
Samera datang dari Lahore bersama kedua putri dan seorang bayinya. Sejak hari kematian Pak Haji hingga hari keempat puluh, Samera tinggal di rumah ini. Kedua anaknya sudah lama bolos sekolah. “Tak mengapa,” kata Samera, “karena acara perkabungan ini penting sekali. Saya sudah tidak sempat melihat wajah Bapak terakhir kalinya. Apalagi sekarang keluarga ini sibuk sekali, dengan banyaknya tamu-tamu yang datang. Semoga acara chehlum ini bisa lancar sampai akhir.”
Malamnya kami berkumpul di kamar yang sama. Berdesak-desakkan, karena banyak sekali tamu yang menginap malam ini. Bohlam lampu berkelap-kelip, remang-remang.
Lantunan naat membahana dari mulut seorang pria berjenggot berjubah putih di sudut ruangan, setelah barisan ayat-ayat suci Al-Qur’an dibacakan dengan khidmat.. Nuansa syahdu memenuhi ruangan ini. Para wanita duduk di sekelilingnya, mendengarkan dengan takzim.
Tetapi sekelebat setelah melihat kamera saya, Samera dan adik-adiknya malah lebih tertarik untuk dipotret daripada mendengarkan naat. Pria berjenggot itu sama sekali tak terpengaruh ketika para perempuan di ruangan itu sudah mulai ribut berpose dan bercanda lagi.
“Lihat ini,” Samera membawa seorang bayi lain sambil menyampaikan pengumuman maha penting, “ini, calon istri bayiku!” Bayi ini adalah punya kakak perempuan Samira, sama lucunya dengan bayi Samira. Perempuan lain di kamar ini tergelak, memuji Samira untuk perjodohannya yang luar biasa tepat.
Pria berjenggot itu tak buyar konsentrasinya. Lantunan barisan naat yang lambat namun mengetuk hati terus mengalir.
Naat ditutup doa panjang untuk Pak Haji. Saya pun berdoa dengan khusyuk. Saya sudah benar-benar merasa bagian dari keluarga besar ini.
Malamnya saya bermimpi tentang ayah. Segala curahan cinta kasih dan perhatian putri-putri Pak Haji membuat saya begitu merindukan kehangatan keluarga. Sudah lama sekali saya meninggalkan orang tua saya di seberang lautan. Apalagi keluarga kami bukan keluarga besar. Saya tak pernah merasakan kegembiraan ketika lusinan kerabat berkumpul bersama dalam rumah, saling bertukar kabar dan berbagi cerita. Sistem kemasyarakatan kita sudah banyak berubah. Ukuran keluarga kita semakin menyusut. Hubungan antar kerabat semakin menjauh. Dan manusia hidup dalam petak-petak yang semakin sempit.
Seketika, saya seakan menemukan kedamaian dalam keramaian keluarga Haji Sahab ini, sebuah kedamaian famili besar yang seakan menjadi lubang dalam masa lalu saya. Mimpi tentang ayah membuat saya semakin rindu bercampur haru.
“Jangan sedih,” kata Hafizah, “kamu sudah punya keluarga di Pakistan. Kami adalah saudara-saudaramu di tanah Kashmir ini.”
Saya semakin terharu.
Pukul empat subuh, orang-orang sudah mulai sibuk. Pertama-tama mereka mendirikan namaz, salat, dilanjutkan dengan lantunan pembacaan ayat-ayat suci untuk almarhum, hingga matahari benar-benar menerangi setiap sudut perbukitan ini.
Kaum wanita sibuk membuat roti chapati dan membersihkan rumah, karena pagi ini para tamu dari seluruh penjuru desa akan berdatangan untuk acara chehlum. Dupa, yang di sini berfungsi sebagai pengharum ruangan, dipasang di tiap sudut kamar. Ada yang pergi mencari air dengan mengusung kendi, ada yang menyiapkan kursi dan terpal. Para pria sibuk membantu koki menyembelih ayam, memasak nasi biryani dan kari di panci berukuran raksasa. Bu Haji nampak kelabakan menerima tamu yang terus berdatangan. Suasana semakin kacau dengan lusinan bocah yang berlari ke sana ke mari dan tangis bayi-bayi yang meraung.
Acara membaca Quran dimulai. Bu Haji alias Bari Amma terpaksa ‘mengamankan’ saya karena kamera yang saya bawa selalu membuat gadis-gadis sibuk berpose dan bukannya khidmat mengaji.
Warga desa berdatangan. Para pria mengambil tempat sepanjang terpal panjang berlogo UNHCR, digelar di lapangan terbuka. Kaum perempuan cuma ada anggota keluarga Pak Haji saja. Mereka menengadahkan tangan, memanjatkan doa panjang dipimpin seorang imam. Bari Amma tampak sangat khusyuk dalam doanya. Mulutnya komat-kamit. Air matanya menitik penuh keharuan.
Acara berikutnya adalah mahfil, pesta. Nasi biryani yang tersaji di atas terpal langsung diserbu para tamu. Piring demi piring terus mengalir ke tengah barisan tamu yang lapar. Lusinan ayam yang berkokok nyaring sepanjang pagi tadi kini sudah berakhir riwayatnya di atas piring bersama nasi dan bumbu masala.
Masa berkabung pun usai sudah.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 Maret 2009
Leave a comment