Titik Nol 162: Rindu Rumah
Kehangatan keluarga-keluarga Noraseri terkadang membuat saya tersiksa. Ada kerinduan yang menggebu di dalam hati – kerinduan akan rumah, kampung halaman, ayah bunda dan keluarga.
Sudah lebih dari satu bulan saya tinggal di desa ini. Saya masih ingat betul, betapa garangnya hujan di Kashmir kala itu, diikuti gemuruh longsor yang sambung-menyambung, dan gelap gulita di setiap malam. Di bawah kelip lampu petromaks, saya menyantap nasi biryani dan kari tanpa sendok, berkenalan dengan belasan kawan baru yang nama-namanya hampir mustahil untuk diingat semua.
Tetapi sekarang, ketika gunung-gunung menjulang di seluruh penjuru itu berbalut permadani rerumputan hijau, saya merasa sudah menjadi bagian dari kampung ini. Saya mulai tahu gosip-gosip yang beredar. Penduduk desa pun selalu memanggil nama saya. Medan gunung yang berat, naik turun tebing, meloncati batu besar, sekarang sudah menjadi keseharian saya.
Dulu saya hanya tahu Pak Basyir cuma penjaga tenda, tetapi sekarang saya tahu bahwa Bu Basyir sering menangis di malam hari hanya karena merindukan saya. Ketika saya ‘turun gunung’ untuk berinternet, Afaq, Danish, Ilham, dan para pemuda desa lainnya selalu menanyakan keberadaan saya. Pak Dokter yang penuh candaan konyol ternyata menyimpan kisah sedih di sudut rumahnya. Demikian pula keluarga Pak Haji yang selalu ramai penuh canda di tengah masa berkabung. Masih banyak kisah-kisah penduduk Noraseri lainnya yang tidak mungkin saya tulis satu per satu di sini. Semuanya adalah bagian lembaran hidup saya. Tawa itu, tetes air mata itu, canda dan rabaan itu, semuanya tak akan terhapus dari kenangan.
Justru ketika saya sudah merasa punya keluarga baru di sini, saya merasa sangat kehilangan keluarga di Indonesia. Malam tadi, saya bermimpi melihat ayah bunda, makan lauk kegemaran saya, dan berjumpa kembali dengan guru sekolah, dan berjalan-jalan menikmati sejuknya pagi di Lumajang. Hanya mimpi, indah namun menyakitkan. Waktu bangun, air mata sudah meleleh. Entah apakah mereka yang jauh di sana juga sama merindukan saya?
Kawan-kawan sesama sukarelawan yang melihat keanehan saya terus menguatkan. “Jangan bersedih. Kita di sini semua adalah saudara. Kau tak pernah sendiri,” kata Syed Mahmood. “Kalau ada kesulitan, kamu cerita saja dengan kawan-kawan. Semua pasti akan membantu,” tambah Anis Sahab. Rashid, yang bahasa Inggrisnya paling fasih, kemudian bercerita tentang arti pentingnya persahabatan, berbagi tawa tetapi juga bersama membasuh air mata. Yang lain menganjurkan saya untuk ‘turun gunung’ lagi, ke Muzaffarabad, untuk kontak email atau telepon keluarga.
Akhirnya saya ‘turun gunung’ juga. Bukan ke Muzaffarabad, tetapi ke Pattika, letaknya di tepi jalan utama, dua atau tiga kilometer ke utara. Pattika adalah kota pasar. Penduduk sekitar pegunungan ini biasanya berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pattika yang lebih praktis daripada Muzaffarabad.
Kota pasar ini sebenarnya cukup sederhana. Ada barisan beberapa toko CD, sayuran, pakaian, dan sepatu. Hampir semuanya sudah hancur kena gempa. Pedagang sepatu menggelar dagangannya di atas tumpukan batu. Pedagang sayuran di pinggir jalan, sesekali terciprat lumpur yang disemburatkan oleh mobil jip. Kios-kios tinggal kerangkanya saja, doyongnya mengkhawatirkan, seperti bakal ambruk juga kalau ditiup. Tukang jahit masih menerima layanan di rumah yang dindingnya sudah retak parah. Tukang batu masih mengorek-ngorek reruntuhan, mencari barang yang masih bisa dipakai.
Terlepas dari kehancurannya yang teramat parah, ada nafas di sini.
Toko-toko ini begitu hidup. Semangat para pedagang untuk mencari pelanggan sungguh menakjubkan. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan harta benda, rumah tinggal, kendaraan, sanak kerabat dalam gempa empat bulan silam, dan kini sedang berusaha bangkit dari keterpurukan.
“Kita sama-sama fotografer,” kata tukang foto keliling, “Bedanya, kamu ke mana-mana, saya cuma di desa-desa saja memotret acara kawinan.” Dulu ia punya toko yang lumayan besar, sekarang cuma tersisa kerangka rumah hantu. Di sinilah masa lalunya. Tetapi di sini pulalah ia menyambung hidup. Tak disangka, tumpukan batu besar hancur lebur itu ternyata masih berfungsi sebagai tempat menyimpan foto-foto pelanggan, yang terkadang datang dengan penuh penasaran untuk melihat hasil cetak lembar foto mereka.
Foto-foto ini tak mungkin dicuci di Pattika. Sang tukang potret harus ke Muzaffarabad beberapa kali seminggu untuk mencuci film. Kios cetaknya sudah menjadi rumah hantu dari masa lalu. Sepanjang hari ia duduk di bangku di seberang tumpukan bebatuan bekas tokonya, menanti konsumen di pinggir jalan.
Walaupun bisnis tak bisa dibandingkan dengan masa sebelum gempa, sang tukang potret tak mengeluh. Apalah guna mengeluh? Sudah empat bulan berlalu, dan hidup tak boleh terus terpuruk, bukan?
Vicky, pemuda Noraseri kawan dekat saya, juga punya toko di Pattika. Nama aslinya Vakash, tetapi memang lebih keren dipanggil Vicky. Umurnya 22 tahun, sering dianggap sebagai pemuda tertampan di kampung karena kulitnya yang putih bersih dan raut wajahnya yang lembut. Toko VCD milik Vikash menjual film-film India dan Pakistan, dari yang terbaru sampai terlawas. Tokonya pun sudah doyong, sungguh berbahaya kalau misalnya ada gempa kecil sekali pun. Jumlah pembeli sangat minim. Di kala orang masih kesusahan berusaha bangkit dari puing-puing, ada berapa yang punya waktu luang dan mood untuk menonton film? Lagi pula, di pedusunan ini, listrik juga sangat terbatas.
Melihat Pattika, juga seluruh Kashmir, yang masih berjuang dari keterperukan, menyaksikan mata-mata indah yang bersinar penuh semangat, juga merenungi setiap tawa bocah-bocah jalanan, membuat saya semakin sadar betapa kuatnya orang-orang di sini. Kehilangan segalanya bukan berarti akhir kehidupan. Masih ada harapan yang terus membentang. Sungguh saya malu akan diri saya sendiri yang masih manja dan tak bisa melepaskan keterikatan yang memasung ego. Semangat dari reruntuhan Pattika membangkitkan jiwa saya untuk terus bertahan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 Maret 2009
Leave a comment