Titik Nol 167: Negeri Para Petarung (3)
“Kamu percaya dengan segala kebohongan itu? Tidak benar itu. Orang Kandar bukan petarung seperti yang kamu bayangkan,” kata Behsar, pria Kandar berumur 24 tahun, “lagipula desa-desa yang kamu lihat sama sekali bukan Kandar!” Saya dalam perjalanan mencari jawaban misteri orang Kandar, dan kini terperangkap dalam kebingunan antara kenyataan, drama, dan mitos.
Tubuh saya sudah banjir keringat ketika kami sampai di sebuah desa yang menurut Farman adalah desa Kandar Tengah. Di sinilah Behsar, pemuda yang bahasa Inggrisnya fasih sekali, membongkar habis semua serpihan tentang misteri orang Kandar yang saya kumpulkan sepanjang perjalanan. “Orang Kandar adalah orang yang ramah tamah, tetapi mereka sangat miskin. Kami tidak berkelahi. Mungkin memang ada orang yang suka berkelahi, jumlahnya tak lebih dari 25 orang, mungkin. Dan mungkin orang-orang inilah yang membuat reputasi Kandar hancur.”
Jadi, yang dari tadi mengaku sebagai jago petarung dari Kandar, sama sekali bukan orang Kandar? Behsar menggeleng. Wajahnya tak berkumis dan berjenggot. Gerak-geriknya penuh percaya diri, yang malah membuat saya semakin ragu dengan segala pembicaraan yang sudah saya catat. Saya juga mulai terngiang-ngiang ucapan dokter Zaman, yang mengingatkan bahwa Farman sangat mungkin malas membawa saya sampai ke Kandar, dan sebagai gantinya akan membawa saya ke desa-desa lain yang jalannya mudah.
Membingungkan. Seorang warga desa yang lain malah dengan bangga bercerita tentang serunya berkelahi dalam pesta pernikahan. “Kami ini miskin. Kami lapar. Tetapi kami suka makan, apalagi makan daging. Dan itulah sebabnya kami pergi ke pesta pernikahan,” ujar kakek bersurban ini menjustifikasi kegemaran mereka berkelahi. “Dezim-dezim itu mutlak, kalau tidak kami tidak kebagian makanan.”
Saya jadi sangat tertarik menghadiri acara pesta pernikahan orang Kandar. Pasti seru sekali dengan acara pukul-pukulan, tendangan, dan segala jenis bunyi dezim-dezim, hanya untuk berebut sesuap nasi pullao atau sepotong daging ayam. Katanya pernah acara perkelahian ini tidak sengaja terekam dalam handycam seorang tamu dari desa seberang, dan reputasi orang Kandar sebagai jago berkelahi semakin mantap.
Tetapi cita-cita saya untuk menyaksikan sendiri acara pernikahan di Kandar langsung kandas. “Tidak ada pernikahan di sini,” kata penduduk desa yang lain, “sehabis gempa, kami hidup menderita. Tidak ada uang, tidak ada rumah. Bahkan helikopter pun tidak datang lagi membawa bahan makanan. Tidak ada organisasi asing yang menyalurkan bantuan. Jadi tidak ada pesta nikah-nikahan sekarang, untuk hidup saja susah.” Sangat kontras dengan desa-desa di bawah gunung yang semakin semarak dengan datangnya musim kawin selepas masa berkabung bulan Muharram.
Kakek tua di desa ini berwajah garang. Pakaiannya juga jubah shalwar kamiz, tetapi semakin gagah dengan syal putih dan topi pakkol. Syal ini, kalau dililitkan di sekitar topi, berubah wujud menjadi surban yang menyiratkan aura keganasan suku petarung. Tangan kirinya memegang tongkat, yang selain membantu berjalan juga berfungsi sebagai alat pemukul lawan. Tangan kanannya memanggul senapan laras panjang. Kalau lelah tinggal bersuit, dan datanglah bocah kesayangannya membantu sang ayah membawa bedil.
Inilah kebanggaan orang Kandar – surban, tongkat, bedil, dan bocah. Keempat barang yang selalu dibawa bahkan hanya untuk menggembalakan kawanan kambing, yang kini merumput dengan nikmat di lereng gunung yang menghijau.
Bocah-bocah Kandar juga tidak kalah liarnya. Melihat orang asing yang datang, mereka langsung menghambur ke arah saya seperti kesetanan. Saking buru-burunya, sampai ada bocah kecil yang memakai sepatu cantik milik ibunya atau bibinya.
“Kandari-Kandari kecil ini,” komentar Farman, “sudah jago berkelahi sejak usia balita.” Di mata saya, mereka adalah bocah-bocah lucu yang sedikit terlalu hiperaktif.
Sekarang giliran Nawab Khan, kakek tua dari desa ini, yang bercerita tentang gelora perjuangan penuh semangat kepahlawanan, ketika orang-orang Kandar berhasil membajak helikopter.
“Semua salah tentara Pakistan,” katanya menggebu-gebu, “mereka tidak mengijinkan helikopter pembawa bala bantuan untuk mendarat di sini. Suatu hari, sebuah helikopter NGO datang. Orang-orang desa yang sudah marah karena kelaparan berbondong-bondong untuk menyergap helikopter itu, tidak sabar lagi barang sedetik pun untuk menerima barang-barang bantuan.”
Sekitar 35 orang lelaki dari desa para petarung ini penuh semangat menyerbu helikopter, yang bahkan belum mendarat. Betapa dahsyatnya pemandangan itu, ketika para penduduk yang seperti kesurupan bisa memanjat helikopter yang masih terbang, bahkan sampai menawan pilotnya.
“Setelah kejadian itu, tidak ada helikopter lain yang datang ke sini,” keluh Nawab Khan, seolah tidak menyadari apa penyebabnya, “sekarang, kamu bayangkan, masa kami harus berjalan jauh naik turun gunung sampai ke Harama, hanya untuk mengambil barang-barang yang sudah menjadi hak kami?”
Saya teringat cerita Rashid, kawan sukarelawan dari Danish Muslim Aid, orang-orang Kandar ini pun membawa tongkat masing-masing menuju Harama. Di sana tongkat-tongkat beradu, seperti perang pedang, ketika para penduduk desa terpencil ini saling berkelahi memperebutkan barang-barang yang dikirim dari langit.
Bahkan mereka pun adu jotos hanya demi sepotong daging. Tak usah heran kalau mereka punya segudang kisah antik tentang riwayat perkelahian yang bergelora di puncak-puncak gunung yang tersembunyi.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 26 Maret 2009
Leave a comment