Titik Nol 170: Mehndi
Berakhir sudah hari-hari saya di Kashmir. Hari ini seorang kawan sukarelawan, Syed Ijaz Gillani, menjanjikan akan membawa saya ke sebuah pesta pernikahan di Islamabad.
“Pesta ini pasti akan menarik buat kamu,” katanya, “besok kamu siap jam 8 pagi ya, kita berangkat ke Islamabad sama-sama.” Saya menunggu di Muzaffarabad sedangkan Ijaz akan datang dari dusun Noraseri.
Saya punya banyak kawan di Muzaffarabad yang ingin mengucapkan selamat jalan. Ali, pemuda Kashmir berumur 16 tahun misalnya, sudah berniat mengantar saya dengan sepeda motornya untuk menyantap sarapan pagi. Saya menolak, karena Ijaz akan datang jam 8 pagi. “Ah, pasti terlambat,” katanya, “aku orang Pakistan dan aku tahu bagaimana kebiasaan orang Pakistan. Ayolah, pergi sama-sama.”
Saya tetap memilih menunggu di rumah kontrakan di Muzaffarabad. Tapi Ali memang benar, Ijaz baru datang jam 1 siang. Itu pun dengan melenggang santai tanpa beban. Jam karet sudah bagian dari darah dan daging.
Kami baru tiba di Islamabad pukul 8:15, padahal kata Ijaz acara pernikahan dimulai pukul 8. Tetapi dia santai sekali, sama sekali tidak takut terlambat. Kami masih sempat kembali ke rumahnya, ganti baju, dan mengumpulkan seisi rumahnya untuk berangkat bersama. Yang perempuan diangkut di satu mobil, yang laki-laki di mobil lainnya.
Seorang pemuda kerabat Ijaz duduk di samping saya, memberikan penjelasan tentang kultur pemisahan laki-laki dan perempuan di Pakistan. “Di kampus saya ada banyak mahasiswa dari Indonesia, banyak juga yang suami istri, mereka belajar hukum Islam. Karena di kampus kami mahasiswa tidak bercampur dengan mahasiswi, sering kali suami baru bertemu istrinya waktu jam makan siang di Super Market.” Pakistan adalah tempat di mana pemisahan laki-laki dan perempuan begitu kentara. Ada taman khusus perempuan, tempat parkir mobil khusus perempuan, sampai bank perempuan. Tetapi itu bukan berarti peempuan tidak punya hak dan kebebasan – di Pakistan perempuan bahkan bisa jadi pilot.
Kami sampai di rumah pengantin pria setelah pukul 10, padahal undangannya jam 8. Tetapi acara baru dimulai pukul 11 malam. Benar kata Ijaz, kita tak perlu terburu-buru, karena di sini Pakistan.
Gemerlap lampu neon menghiasi gedung rumah besar itu. Pengantin pasti bukan dari kalangan orang sembarangan. Tulisan bahasa Inggris Welcome dan huruf Urdu ‘Shadi Mubarak’ – Selamat Menikah, berkelap-kelip. Di tanah lapang di sebelah rumah sudah bersiap kelompok band musik kawinan yang menyanyikan lagu-lagu India dengan hingar bingar. Musik Bollywood sangat digemari di Pakistan, tetapi musik Pakistan tidak laku di India.
Acara tamasha, pesta, dimulai. Bocah-bocah menari semrawut, walaupun penuh semangat, ketika penyanyi yang suaranya sedikit sumbang mendendangkan lagu romantis Kyon Ki (Karena) dan lagu terpopuler Aashiq Banaya (Kau Jadi Kekasih). Lagu demi lagu terus mengalir, menggiring malam sampai pada puncaknya. Bocah-bocah yang menari mendapat sematan uang kertas dari tamu dewasa.
Perempuan tidak terlihat sama sekali. Mereka memang tidak sepatutnya berada di ruang penuh hiburan musik ini, karena di sini khusus laki-laki. Kaum hawa berada di tempat tersembunyi di dalam rumah. Tak ada musik, gegap gempita band, atau pesta dansa. Mereka cukup terhibur dengan kegemaran alamiah – mengobrol.
Pernikahan di Pakistan biasanya berlangsung selama beberapa hari. Setiap hari ada upacara yang berbeda, sampai pada acara puncak di hari terakhir – akad nikah dan resepsi. Acara tengah malam kali ini adalah pembubuhan mehndi ke tangan dan kaki pengantin. Mehndi adalah hiasan tangan dan kaki berwarna coklat kemerahan dengan motif dekorasi bunga atau sulur-suluran yang rumit, menjadi hiasan wajib di acara pernikahan.
Bicara soal mehndi, saya jadi ingat sebuah film fenomenal dari Pakistan berjudul “Mehndi Waley Hath”, tangan yang berhias mehndi. Film ini berkisah tentang sebuah keluarga Punjabi di pedesaan yang memaksa putrinya menikah dengan Al-Qur’an. Pernikahan dengan kitab suci tidak sesuai dengan aturan agama. Ini dilakukan semata-mata untuk melindungi tanah dan kekayaan keluarga. Menurut adat, keluarga mempelai perempuan harus menyediakan mas kawin yang tidak sedikit untuk menikahkan anak gadisnya. Dengan mengawinkan si gadis dengan Al-Qur’an, maka kekayaan tidak akan mengalir ke mana-mana. Si gadis, sekarang menjadi istri tanpa suami, juga menjadi layaknya perempuan yang sudah menikah – terkurung di rumah dan tak terlihat siapa pun. Praktik pernikahan seperti ini sekarang sudah langka.
Acara mehndi yang saya alami ini jauh dari kesan sedih. Calon pengantin pria berpakaian putih bersih. Selendang kuning panjang melingkar di lehernya. Ia dikalungi untaian bunga mirip pandita Hindu.
Tepat tengah malam acara dimulai. Satu per satu anggota keluarga, perempuan terlebih dahulu, menyematkan hiasan kecil di sekujur tubuh pengantin. Di atas telapak tangan kanannya ada selembar uang kertas 10 Rupee yang masih baru, dan di atasnya lagi ada serbuk hitam. Para perempuan yang mengikatkan gelang pernak-pernik hiasan ke tangan sang mempelai, juga mengambil sedikt serbuk itu dan dioleskan ke jari telunjuk sang pengantin.
Pada saat yang bersamaan, di rumah pengantin perempuan, acara mehndi juga berlangsung. Telapak tangan dan kaki sang pengantin perempuan dihias dengan henna. Adat pernikahan bersifat resiprok. Upacara yang dilangsungkan di rumah pengantin pria juga dilaksanakan di rumah pengantin wanita pada saat yang sama.
Malam semakin larut. Tawa kebahagiaan terus mengalir. Pengantin nampak semakin berat karena kebanjiran berbagai macam hadiah, hiasan tangan, kalung bulu, dan cocolan serbuk hitam, dari puluhan tamu yang berbaris tak sabar.
Acara masih belum selesai menjelang subuh. Kami sudah pulang terlebih dahulu karena tak kuat menahan kantuk. Sedangkan mempelai pria masih harus berjaga menerima hujanan hadiah. Jadi pengantin memang susah.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 31 Maret 2009
Leave a comment