Titik Nol 172: Bersanding
Di hadapan para tamu, dulha dan dulhan – mempelai laki-laki dan perempuan, tak bersanding. Dulha hanya menemani tamu laki-laki dan dulhan duduk bersama tamu perempuan.
Pukul lima sore, setelah kelaparan yang menyiksa dalam penantian panjang di balairung pernikahan Shadi Hall yang cuma disangga dengan kue-kue ringan, akhirnya yang kami nantikan datang juga. Dulhan turun dari mobil, melangkah membungkuk dan terseok-seok menuju ke pelaminan. Gerak langkahnya lebih mirip nenek tua daripada seorang pengantin yang menyongsong hidup baru. Gaunnya ungu menyala, tergerai panjang menyeret tanah.
Sama sekali tak terlihat wajah cantiknya. Kepala dulhan sepenuhnya terbungkus kain hitam pekat. Entah bagaimana ia masih bisa menerawang jalan dari balik burqa itu. Tangan kanannya yang indah bersolek mehndi dituntun oleh seorang perempuan muda.
Tiga puluh menit kemudian, tibalah saatnya dulha untuk bersanding dengan dulhan yang duduk di ruangan perempuan. Tak semua laki-laki yang boleh datang ke tempat khusus wanita ini. Hanya keluarga dekat dulha yang boleh ikut masuk. Saya mendapat tempat istimewa untuk menyaksikan proses bersanding.
Dulha tidak bisa seenaknya saja masuk ke ruangan ini. Empat atau lima orang perempuan dari keluarga dulhan menghadang di depan pintu, menghalang-halangi masuknya sang pengantin. Di sinilah permainan dimulai. Para perempuan bercuap-cuap mengusir sang dulha. Dulha tak kehabisan akal, dia sudah sedia setumpuk uang kertas yang dibagi-bagikan pada kaum wanita ini. Lembar demi lembar disebar ke arah kaum perempuan, yang akhirnya memberi jalan bagi sang mempelai menjemput sang putri.
Dulhan berdiri menunduk, membelakangi dulha. Di atas dahinya bertahta perhiasan keemasan. Di hidungnya tersemat gelang bundar berdiameter sepuluh sentimeter, tersambung dengan untaian kalung manik-manik yang menggantung sampai ke atas kepalanya. Kerudung ungu menutupi rambutnya, berpadu dengan pakaian mewah dan indah berwarna ungu. Tangannya yang tertutup rumitnya hiasan mehndi bersimpang di perutnya. Barisan lusinan gelang berwarna ungu menghiasi lengannya. Setitik air mata membasahi pipinya yang gemuk.
Seorang gadis yang tergerai rambutnya melarang dulha menyentuh sang mempelai. Sekali lagi, dulha menyerahkan segepok uang. Acara pernikahan selalu banjir uang nampaknya.
Para wanita sekarang membalikkan wajah sang dulhan. Akhirnya sepasang mempelai ini bersanding juga. Wajah dulha yang berkumis tebal nampak tersenyum bahagia, sedangkan dulhan terus menunduk. Air matanya meleleh. Kerabatnya buru-buru mengusapkan tissue sebelum air mata merusak dandanan wajahnya yang cantik.
Sekarang giliran sanak saudara memberi ucapan selamat kepada sang dulha. Saudara perempuan dulhan membawa nampan berisi segelas lassi, yoghurt yang diblender. Setelah itu acara foto-foto kemantin dimulai, sampai hampir satu jam.
Wajah dulhan kembali dibungkus kain coklat, ditutup lagi dengan kain hitam. Ia dituntun berdiri, melangkah menyeret menuju mobil pengantin. Seorang saudara laki-laki dulhan mengangkat Quran yang dibungkus kain merah tepat di atas kepala dulhan. Inilah acara paling memilukan dalam rentetan acara ini. Isak tangis merebak.
Di Pakistan, di mana hubungan antara pria dan wanita begitu terbatas, tidak ada istilah acara cinta-mencinta sebelum perkawinan. Shadi adalah melepaskan seorang gadis, putri, saudara perempuan, adik yang terkasih, kepada keluarga lain. Entah kapan sang dulhan akan kembali lagi ke rumah orang tuanya. Air mata membanjiri pipi para wanita kerabat dulhan. Saudara pria menenangkan kaum wanita yang histeris. Seorang nenek bahkan sampai terjatuh pingsan saking sedihnya.
Saya ikut iring-iringan mobil barat, para kerabat dulha, yang kini boleh berbangga setelah memboyong sang dulhan. Kami menuju ke rumah pengantin laki-laki, yang kelak akan menjadi tempat tinggal dulhan seumur hayat.
Dulha duduk di samping dulhan di ruang tamu keluarga. Wajah dulhan masih terus menunduk. Tak pernah saya melihat pengantin perempuan tersenyum penuh riang dalam pernikahan di India dan Pakistan yang sempat saya hadiri. Saya jadi bisa membayangkan bagaimana sedihnya wajah Siti Nurbaya ketika dikawinkan dengan Datu Maringgih. Di Asia Selatan, justru perkawinan perjodohan keluarga seperti inilah yang dianggap terbaik.
Bungkusan Al Qur’an, yang sedari tadi selalu dipegang di atas kepala dulhan, dibuka. Para wanita keluarga dulha membalik-balik halaman kitab suci itu, meminta sang dulhan membaca beberapa ayat.
Acara penghargaan bagi mempelai dimulai. Satu demi satu anggota keluarga dulha, dimulai dari ayah dan ibu, kemudian paman bibi yang jumlahnya lusinan, kawan-kawan, rekan kerja, memberikan hadiah bagi sang pengantin pria. Ada yang mengalungkan kalung besar dari uang kertas. Ada yang menyematkan uang. Tetapi banyak yang hanya menyuapkan manisan ke mulut sang dulha. Setelah berapa puluh kali disuapi manisan yang gulanya minta ampun banyaknya, pengantin pria pun kewalahan. “Sudah, cukup manisannya,” katanya terengah-engah.
Bagian akhir dari shadi adalah ketika mempelai wanita dibawa ke kamar pengantin. Acara ini juga penuh tawa dan canda. Sanak saudara dulha memblokir pintu menuju kamar pengantin, melarang dulha dan dulhan semudah itu bersanding di ranjang pengantin. Sekali lagi, pengantin harus merogoh kocek dalam-dalam, membagi-bagi uang, untuk membuka jalan.
Akhirnya…, mereka pun berhasil masuk kamar pengantin. Sebuah kasur empuk yang dihiasi dengan kerlap-kerlip kertas plastik dan bunga-bungaan sudah menanti. Apa yang terjadi berikutnya? Tak perlulah saya tulis di sini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 April 2009
Leave a comment