Titik Nol 174: Mehfil-E-Naat
“Ya Rasulullah….. Ya Habibullah…” suara sendu melantun lambat, suara yang keluar dari hati yang paling dalam, bergetar dan bergema. Ribuan penonton duduk bersila, tenggelam dalam ketakziman, terhipnotis dalam histeria spiritual, terbasuh hatinya dalam puja dan puji bagi Sang Nabi.
Naat adalah barisan lantunan memuja kebesaran Nabi Muhammad S.A.W. Di Pakistan, Naat sangat populer bukan hanya sebagai dakwah tetapi juga bagian ibadah. Saya sering mendengarkan alunan Naat diputar di radio lokal, tape recorder, dan pementasan di masjid-masjid.
Walaupun punya segala macam unsur musik, mulai dari syair bersajak, irama, komposisi, iringan suara mulut berdentum-dentum layaknya akapela, panggung pementasan, penonton yang histeris, jangan sekali-sekali menyebut naat sebagai musik atau lagu di Pakistan. Barisan kata-kata dalam naat semuanya berisi tentang Nabi, suri tauladannya, puja-puji dan doa baginya. Bagi mereka yang sangat religius, kata ‘musik’ atau ‘lagu’ berkonotasi negatif dan tidak pantas untuk menyebut kesucian lantunan naat. Bahkan orang menyebutnya sebagai naat-e-sharif, naat yang suci.
Kawan saya, keluarga Syed dari Islamabad, adalah salah satu keluarga terpandang di kota ini. Bukan hanya karena Syed adalah keturunan langsung Nabi Muhammad, atau karena mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan menolong korban gempa di Kashmir, keluarga Syed Gilani yang satu ini juga dihormati masyakarat sebagai pemuka agama. Saya menginap di rumah Syed Asmat Gilani, yang khotbahnya sering muncul di televisi dan konon telah mengajak ribuan orang Eropa masuk Islam. Malam ini keluarga besar Syed Gilani ini menyelenggarakan acara mehfil-e-naat – pesta naat – di daerah Rawal Town, daerah kompleks perumahan di tengah-tengah Islamabad dan Rawalpindi.
“Ini bukan pesta naat biasa,” kata Syed Rashid, “karena bintangnya adalah Owais Qadri. Kamu tahu, di Pakistan Owais Qadri populer sekali. Kalau di Amerika mereka punya Michael Jackson, maka di Pakistan Owais Qadri adalah superstarnya naat.”
Saya sendiri adalah penggemar Haji Muhammad Owais Raza Qadri. Saya punya beberapa MP3 lantunan naat pria dengan kualitas suara kelas tinggi ini. Tentu saja saya tak melewatkan kesempatan untuk berjumpa secara langsung dengan sang bintang dan larut dalam histeria keagamaan.
Pesta naat ini dimulai tepat tengah malam. Walaupun demikian, jumlah pengunjung membludak. Orang-orang berjenggot, memakai surban atau kopiah duduk dengan sabar bersila di depan panggung. Tak ada perempuan sama sekali. Saya tak tahu jumlah penonton yang datang, tetapi sejauh mata memandang yang ada hanya kepala manusia. Kalau bukan datang dengan keluarga Syed sudah pasti saya sudah tenggelam dalam lautan manusia ini. Acara ini pun diliput oleh QTV – televisi agama Pakistan yang isinya seputar dakwah, Quran, qawwali, dan naat. Bintang naat yang hadir malam ini memang bukan orang sembarangan.
Sebelum Owais Qadri muncul, yang tampil adalah para naatkhwan – pelantun naat – yang kurang terkenal. Walaupun demikian, histeria penonton sudah mulai meninggi. Lautan manusia itu, semua duduk bersila, terayun-ayun ke kiri dan kanan. Tangan melambai-lambai. Bendera hijau berkibar-kibar.
“Mendengarkan naat harus penuh perhatian,” kata Syed Khalid Raza, kawan saya dari keluarga Syed Gillani, “kita akan hanyut dalam kontemplasi. Tubuh akan berayun-ayun sendiri, dan tangan pun ikut melambai dalam irama lantunan naat yang mengagungkan kebesaran Nabi.”
Sesekali ada dari kalangan penonton yang berdiri, meneriakkan seruan Narai. “Narai takbir….!” dan ribuan orang berseru serempak, “Allahuakbar!!!”. Teriakan “Narai Risalat…!” disambung seruan “Ya Rasulullah!!!” Teriakan “Narai Haidri” disambut dengan kompak, “Ya…. Ali!!!”
Histeria ini terkadang membuat orang lupa akan rohnya. Seorang pria yang duduk di panggung sampai hilang kesadaran, berteriak-teriak seperti kesurupan. Ia tak bisa berhenti, tak bisa bicara. Hanya berteriak hebat dengan tubuh kejang.
Setiap penampilan naat berakhir diselingi dakwah. Kemudian dilanjutkan lagi dengan pelantun naat berikutnya. Semua pelantun naat ini bersurban dan berjenggot lebat, mengenakan jubah atau salwar kamiz. Menurut sang guru Owais Qadri, naatkhwan tidak boleh melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan Sunnah Rasul seperti misalnya mencukur jenggot dan berpakaian tak pantas. Naatkhwan juga harus berhati-hati dengan syairnya, tak boleh menyebut cinta terhadap Rasul ataupun hal-hal yang tidak sesuai Qur’an dan Syariah. Setiap kata harus dicek kebenarannya. Naat memang bukan sekadar seni tarik suara biasa, ia adalah ibadat. Demikian pula dengan penonton. Setiap lambaian dan gerakan badan harus muncul dari dasar hati, bukan karena overacting ingin disorot kamera.
Naat adalah ibadah. Itulah sebabnya setiap kali saya kesleo lidah menyebut naat sebagai lagu atau pertunjukan musik, kawan-kawan saya langsung mengoreksi, cepat-cepat diikuti gerakan menempelkan telunjuk ke daun telinga kiri dan kanan berulang-ulang, seraya berujar, “taubah… taubah…”
Hingga akhirnya, sang bintang pun muncul ke panggung, mengenakan jubah putih panjang, jenggotnya hitam lebat. Kedatangan pria bertubuh besar ini disusul kericuhan ribuan orang yang ingin melihatnya dari dekat, menggapai tubuhnya seakan percaya akan keberuntungan akan menular hanya dengan menyentu, menciumi tangan dan kaki sang pujaan. Ketika Owais Qadri menaiki tangga, seorang pria berusaha dengan keras menyalami dan menciumi tangan Owais. Tak disangka, Owais melemparkan orang itu, dan ia sendiri hampir jatuh dari tangga. Fanatisme terhadap sang idola naat ini begitu besar sampai suasana hampir tak terkontrol lagi.
Owais dengan elegan duduk bersila di panggung. Semua naatkwan melantunkan naat dalam posisi duduk, memegang mikrofon, sendirian di baris paling depan. Di belakangnya ada barisan pria berjenggot, bersurban, dan berkerudung – serba putih. Juga pelantun suara latar belakang. Tak ada alat musik dan tepuk tangan seperti halnya pertunjukan qawwali.
“Ya Rasulullah…..” suara Owais panjang mendenting, “Ya ….. Habibullah….” Suaranya begitu jernih, tarikan nafasnya panjang dan kuat. Ribuan orang yang mendengarnya terhanyut, tubuh mereka terombang-ambing oleh dahsyatnya keindahan naat. Beliau melantunkan naat andalannya, “An Nabi Sallu Alaih…Salawwatullah Alaih…Wayanlul barakat kulumansulle Alaih…”. Pelantun latar tak henti-hentinya menyebut Allahu, diucapkan “Allah huh, Allah huh, Allah huh,” dengan ‘huh’ dibunyikan berdentum-dentum seperti penyanyi akapela, cepat dan berirama.
Syair naat adalah peraduan bahasa Arab dengan Urdu. Dalam penampilan An Nabi Sallu Alaih bagian bahasa Urdu menyebutkan bahwa miliaran doa dilimpahkan kepada Nabi, yang menjadi cahaya terang kesucian dan pelindung dari segala bala bencana. Satu penampilan naat bisa berlangsung sampai 20 menit tanpa jeda. Naatkhwan dituntut punya pita suara yang teramat kuat.
Ribuan penonton menjadi lautan manusia yang bergelombang. Lambaian tangan, bendera, gerakan tubuh manusia yang duduk bersila. Mereka sama sekali tak sadar, jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Mereka hanyut dalam kebahagiaan spiritual, seperti orang yang terpuaskan lapar dahaganya.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 April 2009
Leave a comment