Titik Nol 190: Kuning Lagi
Punjab diserang badai panas. Harian Dawn 14 Mei 2006 memberitakan, tiga puluhan orang tewas di Sialkot dan Lahore, karena suhu udara yang meledak hingga 50 derajad Celcius.
Saya terbaring lemah. Saya juga korban badai panas yang melanda Punjab. Minggu kemarin saya masih nekad keliling Multan dan Bahawalpur dengan berjalan kaki ke mana-mana. Kini, saya cuma bisa menghabiskan hari-hari di atas ranjang rumah Om Parkash Piragani di Umerkot.
‘Kawan lama’ saya, penyakit hepatitis, hinggap lagi di tubuh saya. Hasil cek darah kemarin menunjukkan angka SGPT melonjak dari batas normal 10 menjadi angka fantastis 1355. Bola mata saya kuning pekat, hilang cahaya kehidupannya. Saya tak pernah berhenti melihat cermin, mencoba menerima kenyataan, sekaligus berharap-harap cemas warna kuning menjengkelkan ini lekas-lekas pudar.
Satu hal yang patut disyukuri, penyakit liver saya meledak tepat ketika saya mencapai rumah Om Parkash. Di rumah besar yang dihuni puluhan orang ini, saya dibasuh dengan belaian kasih sayang dan perhatian. Saya tak pernah kenal Parkash sebelumnya. Tetapi dia begitu lembut merawat saya, seorang kawan baru, yang terkapar di rumahnya.
“Kamu harus istirahat total,” kata Parkash, “jangan berpikir macam-macam. Tidur saja!”
“Berapa lama?”
“Berapa lama pun kamu mau. Rumah ini adalah rumahmu. Kamu boleh tinggal di sini selama-lamanya,” Parkash terus berusaha menenangkan kegundahan saya, seorang pasien yang tidak sabaran.
“Jangan kuatir dengan mata kuningmu itu,” kata Parkash, “lihat mata saya!”
Mata Parkash juga kuning sekali. Dia pernah menderita hepatitis B yang saking parahnya sampai harus terkapar di ranjang enam bulan penuh. Bahkan hingga sekarang, kuning itu meninggalkan bekas di matanya.
Apakah mata saya akan menjadi kuning selamanya seperti mata Parkash, kehilangan pancaran cahaya kehidupan?
“Hah. Siapa bilang? Bahkan Lam Li pun memuji mata saya cantik. Justru kuning ini membuat mata semakin indah.”
Saya memandangi mata Om Parkash lekat-lekat. Memang cantik. Kuning yang samar-samar itu tetap memancarkan semangat hidup.
Beban keluarga besar Parkash semakin besar dengan rewelnya saya. Tak boleh makan berminyak, tak boleh daging, susu, dan telur. Semula istri Parkash selalu membikin masakan dengan minyak yang sampai menetes-netes, seperti biasanya masakan India. Parkash kemudian mengajari istrinya menu masakan baru, sup tomat ala Tiongkok, dicampur irisan kentang rebus. Biasanya orang hepatitis tak nafsu makan. Tetapi saya selalu kelaparan membayangkan sup tomat kental yang lezat ini.
Selain itu saya juga rajin beli glukosa, dicampur dengan serbuk putih, yang kata Parkash adalah ‘obat ajaib’. Paman Parkash adalah seorang dokter homopaetic. Saya sendiri tak tahu artinya. Yang jelas beliau ini mahir sekali membuat obat-obatan tradisional India, yang disebut obat Ayurweda.
“Minum obat ini, lima kali sehari. Minum terus sampai kantung ini habis. Dan kamu akan berpisah dengan hepatitis selama-lamanya,” kata paman dokter itu meyakinkan.
Apa pun janjinya, obat ini tak nikmat diminum. Rasanya masam, walaupun sudah dicampur glukosa bersendok-sendok.
Madan, bocah berumur 10 tahun, keponakan Parkash, juga setia melayani saya. Waktu saya tidur, ia mengusir anak-anak kecil yang lainnya supaya tidak ribut dan berlari-larian di kamar. Anak-anak hiperaktif ini, terutama seorang bocah 5 tahun yang badannya berbulu lebat dan lahir waktu gerhana bulan, bisa melakukan hal-hal tak terduga seperti bermain bola di kamar, melempar-lempar kasur, atau berjingkrak di atas meja.
Waktu saya lapar, Madan langsung mengingatkan istri Parkash untuk menyiapkan makanan. Setelah matang, ia langsung menyiapkan kendi berleher panjang berisi air panas, lengkap dengan handuknya, buat saya mencuci tangan. Saya pun tak pernah haus, karena Mardan selalu menaruh es batu di jerigen berisi air dingin. Roti tawar, selai stoberi, glukosa, air tebu, semuanya selalu tersedia.
Parkash dan kakaknya Soresh pergi bekerja di LSM Sami Samaj Sujag Sangat sepanjang hari. Supaya saya tidak bosan, kamar tamu tempat saya tidur dipasangi televisi dan DVD player. Siang hari yang terik saya habiskan dengan tiduran dan membaca buku. Sorenya, ketika matahari mulai berkurang keganasannya, Soresh mengajak saya duduk-duduk di pinggir jalan, sambil berbagi cerita tentang segala macam, mulai dari agama, politik, sampai masalah keluarga.
Parkash juga selalu membawa pulang koran Dawn, koran terbesar yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinnah, the Father of Pakistan. Koran berbahasa Inggris ini adalah jendela dunia luar buat saya, yang terkurung dalam sepetak kamar sepanjang hari.
Hari demi hari berlalu seperti ini. Seminggu serasa terbang, karena saya hanya terlelap hampir sepanjang hari dan malam. Angka SGPT saya sudah turun di kisaran 700-an. Masih amat-sangat tinggi, tetapi sudah lumayan.
Kalau ditanyakan kepada 52 orang anggota keluarga besar Piragani, kata apa yang paling menyebalkan, pasti itu adalah pilia, kuning. Setiap hari, setiap jam, sambil menunjuk mata, saya selalu bertanya ke siapa saja, “Pilia hai? Pilia hai? Masih kuning? Masih kuning?”
Mereka, mulai dari bocah balita sampai ibu-ibu, akan serempak menjawab “Pilia nehi! Tidak kuning!” sambil tertawa-tawa. Saking bosannya, Madan sampai menyembunyikan cermin kecil yang selalu saya pakai untuk memandangi wajah.
Sepuluh hari berselang, saya masih lekat-lekat memandangi cermin rias kecil itu.
Kali ini saya sudah bisa tersenyum kecil, “Pilia nehi.. Benar-benar pilia nehi.”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 28 April 2009
Selalu aja keren abang agustinus ini ia.
diluar adalah rumah ke2 bagi treveling
Dan saya baru tahu kalau Mas Agus ada bikin blog juga. Keren mas.