Titik Nol 188: Bahauddin Zakariya Express
Senja mulai merambah tanah Punjab. Stasiun kereta api Bahawalpur penuh dengan calon penumpang yang mulai resah karena kereta api Bahauddin Zakariya Express yang berangkat dari Multan menuju Karachi tak kunjung tiba.
Multan hanya beberapa puluh kilometer jauhnya sebelum Bahawalpur, sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kereta ‘ekspres’ ini. Tetapi baru menjelang tengah malam, kereta panjang berwarna kuning dan hijau ini merapat di stasiun.
Yang tercipta pada detik berikutnya adalah kericuhan. Ratusan penumpang yang sudah tidak sabar lagi setelah penantian berjam-jam, segera menyerbu masuk ke dalam gerbong. Petugas pun tak kuasa menahan luapan manusia. Masing-masing penumpang membawa barang bawaan berkarung-karung.
Saling dorong, maki, cakar. Suasana pertempuran dipindahkan ke dalam koridor gerbong sempit dan gelap ini. Saya meraba-raba di tengah dorongan dan teriakan beringas orang-orang yang tidak sabar.
Nyaris saya menginjak seorang bayi yang teronggok di bawah kaki. Sementara dorongan orang-orang semakin kuat. Saya terjebak dalam histeria. Semua orang seperti sudah tak punya waktu tersisa untuk segera menaruh barang dan duduk di tempat yang paling nyaman.
Setelah bercucur peluh saya akhirnya berhasil duduk. Sudah tidak ada tempat lagi untuk menaruh tas ransel, karena semua tempat sudah ditempati oleh karung dan tas penumpang lainnya. Bahkan tempat untuk menaruh kaki pun tak ada, karena bayi-bayi berbaring tepat di bawah kursi saya.
Pemilik bayi-bayi ini adalah seorang wanita malang berkulit hitam, terduduk pasrah di lantai dikelilingi tumpukan barang dan bayi. Baju kameez kumal merah muda berbunga-bunga, dan celana kombor shalwar berwarna hijau cerah membungkus badannya. Selendang dupata tergantung rendah di dadanya, memamerkan tonjolan dan lekukan tubuhnya. Di negeri yang sangat religius ini, tentu saja cara berpakaiannya tak pantas.
Tetapi ia tak peduli.
Sumpah serapah terus mengalir dari mulutnya karena saya hampir-hampir menginjak bayinya, yang masih pulas di bawah kaki saya. Total ada empat bocah, ikut dibawanya bersama karung-karung barang dan sayuran yang entah ada berapa jumlahnya. Masing-masing bayinya berumur satu, dua, tiga, dan empat tahun. Kecepatan bersalin ibu ini rata-rata satu bayi per tahun.
Yang umur satu tahun terpejam pulas dalam pelukannya. Dua bayi yang lain berpelukan bak malaikat tanpa dosa di bawah kaki saya. Terpaksa saya duduk berjam-jam dengan mengangkat kaki tinggi-tinggi sepanjang perjalanan.
Dengan sebegitu banyak bawaan, perempuan ini cuma punya satu karcis. Petugas kereta marah-marah.
“Saya cuma punya 50 Rupee,” ratap wanita ini, menatap sayu bayi-bayinya yang tergeletak di mana-mana.
Malam semakin suntuk. Orang-orang pun beranjak tidur. Di negara di mana pria dan wanita selalu terpisahkan, tidur pun ada aturannya. Seorang wanita penumpang tidur di atas dipan. Suaminya dengan penuh kasih sayang memasang kelambu dari selimut tebal berwarna hitam. Panasnya Punjab, yang malam pun masih menyengat, harus ditambah dengan selimut tebal untuk menutup aurat. Pokoknya tidak sampai terlihat laki-laki lain.
Tak ribet seperti penumpang lain yang masih sempat berpikir tentang norma agama, si perempuan miskin dengan empat bayinya tidur begitu saja di lantai. Semua bayinya lelap. Tetapi terkadang menangis meraung-raung, ketika kereta lambat kami berpapasan dengan kereta lain, yang anginnya dan getarannya membuat seluruh gerbong terguncang-guncang dahsyat.
Bayi-bayi yang tidur bak malaikat manis itu ternyata menjelma menjadi setan-setan kecil di pagi hari. Ketika matahari mulai membilas sudut-sudut gerbong, si bocah tiga tahun berbaju merah langsung kumat semangatnya: melompat-lompat, menumpahkan jus, menangis, minta jus lagi, dan seterusnya. Gadis empat tahun mengupas pisang dengan tak sabaran seperti orang menyobek-nyobek kertas. Alhasil potongan-potongan kulit pisang dengan berbagai bentuk dan ukuran bertebaran di lantai.
Bayi yang lain menumpahkan seluruh isi perutnya. Muntah-muntah hebat. Si ibu, dengan mengumpat-umpat karena diomeli penumpang lainnya, akhirnya terpaksa membersihkan lantai yang semakin kumuh karena ulah anak-anaknya.
Kereta Bahauddin Zakariya Express merapat di kota kuno Hyderabad, kota terbesar kedua di provinsi Sindh, di ujung selatan Pakistan. Sepuluh jam perjalanan yang menyiksa, karena saya harus merangkul tas ransel saya rapat-rapat sepanjang jalan, duduk tegak di atas kursi keras, dengan kaki yang terus terangkat karena bayi-bayi tertidur lelap tepat di bawah.
Saya menghela nafas lega, karena perjalanan ini berakhir sudah.. Sementara ibu dan empat anaknya yang terus rewel terbawa gemuruh Bahauddin Zakariya Express yang terus berlari menuju Karachi.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 24 April 2009
Leave a comment