Titik Nol 191: Little India
Harum dupa semerbak mengisi ruangan. Mantra bermelodi terus mengalir dari mulut pandit, yang membawa nampan dan lilin. Tiga orang umat di belakangnya, ikut mengiringi mantra. Dentingan lonceng mungil bergemerincing, menambah daya magis lantunan mantra-mantra.
Di hadapan mereka, sebuah patung biru berdiri gagah. Tangannya banyak, masing-masing memegang senjata dan menjambak kepala-kepala manusia. Di lehernya tergantung kalung dari untaian tengkorak. Lidahnya terjulur, merah membara. Tetapi di balik semua deskripsi seram itu, sepasang mata indah memancarkan kewelasasihan. Ini adalah patung Dewi Kali, pasangan Sang Dewa Syiwa. Mantra terus mengalir memanjatkan puja dan puji, ritual rutin setiap pagi di Shiv Mandir, Kuil Syiwa.
Ini bukan India. Ini adalah Umerkot, kota terakhir Pakistan di tepian padang pasir Thar yang luas menghampar.
Hiruk pikuknya Umerkot, dengan gang-gang sempit yang berkelok-kelok ruwet seperti benang kusut, diiringi dentuman lagu-lagu Bollywood yang menyalak tiada henti dari tape kuno, dihiasi warna-warni indah dari kuil-kuil Hindu yang bertebaran, dipenuhi percakapan yang tak lupa menyebut kebesaran Syiwa, Brahma, dan Wishnu, memang membuat saya sejenak merasa diterbangkan ke India.
Umerkot adalah tempat yang unik di Pakistan. Mayoritas penduduknya Hindu, tersembunyi di pedalaman Republik Islam.. Kota ini didirikan oleh seorang Hindu, Amer Singh, yang menjadi ihwal nama Amerkot, kota Amer. Kemudian, seorang Muslim bernama Umer menaklukan daerah ini, dan mengganti namanya menjadi Umerkot, kota Umer. Muslim menyebutnya Umerkot, umat Hindu Amerkot. Pakistan kemudian mengesahkan namanya Umerkot.
Ada yang mengklaim, 80 persen penduduk Umerkot adalah umat Hindu. Dominasi nuansa India sangat kental di sini, walaupun huruf-huruf Arab bahasa Sindhi bertebaran di mana-mana, termasuk di dalam kuil-kuil Hindu.
Sudah dua minggu ini saya tinggal bersama keluarga Hindu Om Parkash Piragani. Rumah besarnya dihuni 52 orang. Dalam tradisi India, keluarga besar seperti ini sudah biasa. Extended family, di mana masing-masing anggota dalam keluarga besar mempunyai peran dan kedudukan sebagai penyokong roda keluarga, adalah sebuah nilai yang terus hidup dalam masyarakat tradisional di Asia Selatan.
Tiga generasi hidup bersama di rumah ini. Hampir separuh penghuninya adalah anak-anak, yang senantiasa berlari-lari liar ke sana ke mari sepanjang hari.
Rumah Parkash adalah deretan kamar-kamar yang berbaris membentuk huruf O siku-siku, mengelilingi sebuah halaman terbuka, tempat penghuni rumah tidur bermandi sinar rembulan dan bertudung bintang-bintang melewatkan malam yang panas menyengat. Ada tiga buah dapur, sejatinya masing-masing satu untuk setiap sub keluarga. Tetapi perempuan-perempuan keluarga besar ini lebih sering menyiapkan masakan dalam kebersamaan.
Pagi hari adalah waktu sibuk, di mana para wanita yang jumlahnya lusinan mulai membersihkan lapangan rumah itu. Nenek tua menyemprotkan air yang mengalir deras dari selang, membilas lantai ubin kotak-kotak hitam putih mirip papan catur. Menantu-menantunya mengepel dengan penuh ketekunan. Yang lainnya lagi merapikan kamar-kamar.
Acara selanjutnya adalah ritual harian, puja, memberikan sesajen kepada dewa dan leluhur. Asap dupa mengantarkan doa mereka. Sehabis puja, Parkash berlatih yoga. Dia memang ahlinya. Segala macam posisi mustahil pun bisa dilakukannya. Tubuhnya sudah lentur sekali seperti plastik. Perlahan-lahan, keringat membasahi badan kekarnya.
Kemudian, ketika para pria berangkat bekerja, kaum perempuan tinggal di rumah untuk memasak dan mengurusi anak-anak yang semakin bandel menghabiskan masa liburan ini. Nenek tua masih sangat lincah. Tanggannya masih kuat untuk menggiling irisan tepung dan membuat cetakan gorengan kecil-kecil. Menantu-menantunya juga sibuk menumbuk bawang, tepung, dan segala macam bumbu-bumbu lainnya.
Ini adalah waktu yang paling ramai bagi para wanita di keluarga ini, yang jumlahnya nyaris selusin. Canda dan gosip mengisi setiap pembicaraan. Tawa meledak tanpa henti, sementara tangan tak pernah berhenti menggiling dan menumbuk.
Tiga orang laki-laki bekerja. Dengan penghasilan total 26.000 Rupee per bulan, sekitar 430 dolar, para pria ini menghidupi semua penghuni keluarga ini. Bayi-bayi terus lahir, menambah meriahnya rumah besar ini. Parkash sedang menanti kelahiran bayinya, yang akan menggantikan anak semata wayangnya yang baru meninggal beberapa tahun silam.
Ketika sore datang, dahsyatnya mentari musim panas di padang pasir Thar pun mulai meredup. Parkash mengajak saya berjalan-jalan menyusuri kota Hindu ini. Kami menuju rumah seorang guru, pemimpin spiritual.
Guru yang satu ini, kata Parkash, sangat luar biasa. Sudah tiga tahun tak setetes pun air dan sesuap makanan masuk melintas kerongkongannya. Dia hidup hanya dari ekstrasi energi yang bertebaran di udara, dihirup dan dikonsumsi dengan teknik kontrol pernapasan tingkat tinggi.
Susah percaya, memang. Parkash meyakinkan, tak makan tak minum selama bertahun-tahun sama sekali tidak mustahil. Dia sendiri pernah bertahan tiga bulan tanpa makanan, mengikukti teknik-teknik yang diajarkan gurunya.
Di kesempatan lain Parkash membawa saya ke rumah pamannya, seorang dukun tradisional, yang menyiapkan obat-obat ajaib diiringi mantra-mantra.
Mantra-mantra sakti, bersama kasih sayang keluarga besar, membuat saya bertahan hidup dalam terik yang membakar.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 29 April 2009
Menarik sekali tulisanya mas agus, deskripsinya detail sekali, salam petualang