Titik Nol 196: Perjuangan Hidup
Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita.
Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot.
“Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.”
Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman.
Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru.
Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang mengibakan hati. Tetapi warga desa Ramser Hindu punya sumber pemasukan lain yang membanggakan. Hampir setiap keluarga di sini punya mesin tenun.
Di siang hari, pria desa dan bocah-bocah ramai-ramai duduk di depan mesin tenun. Sepetak permadani minimal dikerjakan oleh dua orang yang menenun bersama-sama selama sebulan penuh. Mereka punya kertas panduan, yang menunjukkan warna benang untuk setiap orang. Desain permadani ini cukup rumit, bernuansa tribal, eksotis dan misterius.
“Tradisi karpet sebenarnya berasal dari masyarakat gurun,” kata Soresh, seorang pegawai NGO yang memberikan pelatihan menenun permadani kepada masyarakat pedalaman, “kami hanya menghidupkan kembali tradisi itu, sekaligus memberikan alternatif sumber pemasukan bagi suku-suku gurun.”
Sepetak permadani harganya minimal 6.000 rupee, atau sekitar 100 dolar. Biaya bahannya 3.000 rupee. Jadi sebuah keluarga yang menghasilan sepetak permadani per bulan bisa meraup pemasukan 3.000 rupee, jumlah yang lumayan.
Tetapi tidak semua desa pedalaman hidup dari tenun-menenun. Desa Muslim Ramser, misalnya, sama sekali tidak memiliki mesin tenun. Selain Jamal yang guru dan punya toko, orang-orang masih hidup dengan cara yang tradisional sekali. Di pagi hari, ibu-ibu menyiapkan ampas gandum yang dicampur air untuk pakan ternak. Ini makanan favorit keledai dan unta. Tetapi kandungan nutrisinya memang patut dipertanyakan. Semua hewan ternak ini kurus kering, yang kalau pun dijual orang bakal segan membeli.
Semasa hidup, keledai berfungsi sebagai alat transportasi utama. Di atas punggungnya biasanya orang meletakkan karet dan bak berisi air, setelah perjalanan panjang melintasi berkilo-kilometer bukit pasir mencari sumur. Zaman dahulu kala, unta juga alat angkut yang tangguh dan kuat melintas padang luas selama berhari-hari. Tetapi sekarang sudah ada bus dan truk yang menjangkau semua penjuru gurun.
Sapi juga diperah susunya. Hanya saja, karena kekeringan berkepanjangan, sapi-sapi di Ramsar semua tinggal tulang berbalut kulit. Susu sapi segar cuma khayalan indah di sini. Setidaknya, bagi penduduk Muslim, daging sapi masih nikmat disantap.
Orang Ramsar juga beternak kambing, yang hasilnya cukup lumayan kalau dijual di bazaar kota Umerkot. Seekornya 3.000 Rupee. Tetapi susah sekali menjualnya, karena kambing-kambing ini kurang nutrisi, jauh dari sehat.
Di pagi hari, sapi dan kambing digiring bocah-bocah desa untuk merumput di jangal. Kata jangal dari bahasa Hindi kemudian menjelma menjadi jungle dalam bahasa Inggris, yang berarti hutan rimba. Tetapi jangan bayangkan hijaunya rimba. Jangal di sini hanya semak belukar kering dan menguning, tumbuh jarang-jarang, di tengah padang Thar yang liar. Bocah-bocah kecil dari Ramsar seketika berubah menjadi koboi yang gagah perkasa di atas keledai, menyambiti sapi dan kambing yang tidak menurut.
Masih ada menu alternatif bagi hewan-hewan ternak itu. Biji bunga matahari. Setiap minggu, warga desa Ramsar mengorganisasi pembelian biji bunga matahari dari Umerkot secara kolektif. Datangnya berkarung-karung, ditimbang pelan-pelan dengan neraca primitif dari timbal dan tali tampar, sebelum didistribusikan kepada keluarga-keluarga. Orang-orang dari dusun Ramser Hindu pun datang membeli bagiannya.
Untuk 40 kilogram biji harganya 120 Rupee. Cuma bertahan tiga hari, diserbu oleh hewan-hewan yang sudah lama kelaparan. Bukan cuma hewan saja. Anak-anak kecil dari berbagai penjuru desa juga berhamburan, memunguti biji-biji bunga matahari yang tercecer di atas pasir. Mereka makan bersama-sama dengan kambing-kambing, langsung dari tanah.
Tetapi senyum gembira tersungging di wajah bocah-bocah itu, laki-laki dan perempuan. Makan biji-bijian yang sudah kotor bercampur pasir sama sekali bukan masalah. Bukankah pasir sudah menjadi menu pokok? Kambing juga teman hidup. Dan rasa lapar yang mendera bertahun-tahun membuat apa pun bisa dimakan.
“Berapa jumlah anakmu?” tanya saya kepada seorang penduduk Ramser.
“Dua belas,” jawab pria paruh baya itu.
“Hah? Dua belas! Banyak sekali! Tidak ikut program KB?”
“Hai, bhai, Saudara! Kami ini orang beriman! Tuhan berkata, janganlah kita khawatir akan hari esok, karena Tuhan akan selalu memelihara anak-anak kita. Lihatlah, kambing-kambing pun masih bisa hidup di sini. Apalagi anak-anak kita yang dipelihara Tuhan.”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 Mei 2009
Leave a comment