Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang
KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”.
Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah.
Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif.
Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang mulai menurunkan hukum-hukum yang memang sudah menjadi trademark-nya, mulai dari larangan mendengarkan musik hingga kewajiban memakai topi dan pakaian adat.
Sekitar setengah juta penduduk Khyber Agency, sebagian besar adalah orang-orang suku Afridi dan Shinwari. Suku Afridi sudah tersohor keberaniannya seantero negeri. Orang-orang Afridi ikut berjuang dengan garang dalam merebut sebagian tanah Kashmir dari tangan orang-orang India. Orang-orang yang sama terlibat dalam bisnis penyelundupan dan perdagangan senjata ilegal, obat terlarang, dan macam-macam yang lain di Darra Adam Khel.
Saya tidak sendiri datang ke sini. Semua tribal area terlarang bagi orang asing, yang kalau terbunuh di sini tidak ada hukum yang bisa membantu. Namun, Khyber Agency menawarkan romantisme sejarah masa lalu, yang memikat orang-orang asing untuk mencicipi keganasan Afganistan dari bukit-bukit dan lekukan-lekukan Celah Khyber. Untuk surat izin masuk Khyber Agency bisa didapat dengan mudah di Peshawar. Syarat yang harus dipenuhi orang asing yang masuk ke sini, harus mempunyai kendaraan sendiri dan ditemani seorang khasadar bersenjata api. Jadilah saya menumpang taksi menuju ke perbatasan Afganistan, dan seorang tentara suku berseragam jubah hitam dan bertopi baret miring mengimbangi jenggotnya yang lebat, duduk di samping supir dengan menenteng bedilnya.
Baab-i-Khyber, Gerbang Khyber, dengan arsitektur gerbang benteng Eropa, melintangi jalan utama menuju Khyber Pass. Nampak truk dan bus lalu lalang. Saya minta izin turun dari taksi, yang sebenarnya melanggar ketentuan yang berlaku. Kalau ketahuan, khasadar yang mengawal saya bisa dihukum. Di agency ini memang nampak pria-pria berbalut jubah yang lalu lalang sambil mencangklong bedil Kalashnikov di pundaknya. Di sini senjata memang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan hanya untuk belanja ke pasar pun kakek-kakek tua berjenggot lebat mesti bawa senapan.
Khasadar tidak perlu menjalani latihan khusus untuk menjadi petugas keamanan.
“Buat apa latihan? Kita sudah memegang bedil sejak kanak-kanak.”
Bekerja di daerah liar seperti ini, tempat semua orang membawa bedil dan hukum rimba yang berlaku, tentu saja berbahaya. Khasadar yang saya bawa menyebutkan bahwa seorang kawannya mati kena tembak di sebuah sudut jalan dekat Baab-i-Khyber. Tetapi itu tidak menghalangi orang untuk menjalani pekerjaan berbahaya ini. Beberapa khasadar yang saya lihat berpatroli di jalan, banyak yang bahkan berumur sekitar 16 tahun saja.
“Mengapa harus takut? Semua orang butuh pekerjaan untuk hidup!”
Khasadar hanya digaji 2.000 rupee per bulan, sekitar 30 dollar saja. Tetapi setiap hari dia harus bertaruh nyawa. Kalau bukan bom, ada pertempuran antarsuku, tembak-tembakan, dan sebagainya. Tetapi dengan penghasilan segitu, dia masih bisa menghidupi kelima anaknya. Kata mullah, alasannya, program KB itu tidak Islami karena anak itu asalnya dari Tuhan dan kita tidak boleh menolak.
“Orang yang beriman tidak khawatir akan hari esok,” khasadar itu berujar yakin.
Memang, iman yang samalah yang menguatkannya untuk terus bertaruh nyawa karena memang dia tidak khawatir apa yang akan terjadi.
Pasar itu ramai oleh pria-pria bersurban yang berteriak-teriak menawarkan tomat dan melon. Jalan ini berabad silam pernah dilintasi barisan karavan unta para saudagar. Kini tak ada lagi penakluk dan jalan bersimbah darah. Yang ada adalah turis ditemani khasadar bercangklong Kalashnikov dalam sebuah taksi menyaksikan orang-orang bersurban yang juga bersenjata.
Taksi terus melintasi jalan yang berkelok-kelok menanjak. Sepanjang jalan rumah-rumah nampak sangat sederhana. Semuanya satu warna, coklat warna lumpur kering, dan batu bata. Pemandangan gersang. Dari puncak bukit itu, nampak jalan raya mengular di bawah. Truk-truk minyak merayap perlahan. Inilah Khyber Passyang ternama itu. Jalan tembus rantai pegunungan Hindu Kush (sang pembunuh Hindu). Inilah jalan yang dilintasi para penakluk dunia, mulai dari Iskandar Yang Agung, Timurleng, Babur, hingga Mahmud Ghaznavi dari Ghazni, Afganistan, yang datang dengan pedang untuk membabat semua patung-patung umat Hindu India. Jalan yang sama yang membawa Islam ke anak benua Asia Selatan. Jalan yang sama bersimbah darah sejak ribuan tahun lalu, mulai dari jaman para penakluk Yunani, Turki, Mongol, Persia, Afgan, hingga ribuan serdadu Inggris yang terbantai.
Saya berada di puncak Khyber.
Pos perbatasan Pakistan terletak di sebelah kiri jalan. Sesak dan pengap. Kalau tiga tahun lalu ketika saya melintas di kantor perbatasan ini, visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih tulisan tangan di paspor hanya dilihat sekilas, sekarang tampaknya Pakistan sudah jauh meningkatkan prosedur keamanan bagi para pelintas batas. Pertama-tama, izin saya untuk masuk tribal area dicek dulu, difotokopi dan ditandatangani. Kemudian, wajah saya dipotret dengan kamera webcam, untuk dokumentasi. Paspor saya dicek lagi dengan mesin pembaca paspor. War on terror memaksa Pakistan untuk semakin siaga di pintu-pintu gerbangnya. Paspor untuk warga Pakistan baru-baru ini sudah diganti dengan paspor biometrik yang machine-readable. Semuanya sudah digital. Sangat jauh dibanding tiga tahun lalu, di mana buku-buku tebal dan bolpoin kuno masih digunakan untuk mencatat informasi imigrasi.
Orang-orang datang dan pergi. Dari Afganistan, nampak gerobak-gerobak berisi wanita dan anak-anak, didorong laki-laki brewok bersurban yang memikul gembolan seperti Pak Janggut…. Yang pergi dari Pakistan tidak banyak. Hari ini hari Jumat, hari libur di Afganistan. Perbatasan agak sepi.
Saya melewati portal garis batas Pakistan. Sekitar dua puluh meter di depan saya, nampak gapura Afganistan. Negeri yang digambarkan dengan kengerian dalam benak hampir semua orang. Negeri berselimut debu. Saya merasa belum siap memasuki pintu negeri ini.
Ada bimbang dalam hati, ketika melangkah perlahan di antara gerbang kedua negara.
Di belakang saya, sebuah baliho besar berwarna hijau bertuliskan:
WELCOME TO PAKISTAN
KEEP TO THE LEFT
Bendera hijau dengan bulan bintangnya melambai-lambai, seolah mengucapkan selamat jalan.
Afganistan, man miayam.
Saya datang.
(Selesai)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 20 Mei 2009
satu kata yang selalu teringat. Afghanistan man mi ayam
saya pengen mengunjungi daerah ini…hhhh
Agustinus, aku kagum padamu
tulisanmu mengingatkankau pada dua novel khaled hosseini.
gak tau kenapa asal dengar nama Afghanistan selalu ngeri, tapi kalo dilihat dari foto2nya, ciri khasnya kuat dan unik banget. jadi tertarik pengen kesana juga 😀
Perjalanan yang luar biasa sekali Mas Agus.
Selama ini Afganistan kesannya serem.
Saya kagum sekali dengan keberanianmu. yang pertama, adik ini bermata sipit dan warga keturunan, yang kedua beragama minoritas. jarang lho yang seperti ini. Rata-rata orang tidak PD. Ada kawanku, anggota Persatuan Warga theosofi Indonesia (Perwathin). Oleh aparat pemerintah disuruh pasang papan nama di rumahnya, saja tidak berani, dengan alasan takut anak-anak, takut istri, takut lingkungan, dan puluhan rasa takut lagi yang menghambat hidupnya. Sekali lagi, salut untuk adik Agustinus Wibowo.
seru banget… pingin jajan bukunya… tapi untuk ngetrip kesana blum tentu aku seberani mas agus. keren mas.
Cerita perjalanan yg bnr2 “diluar kotak”, inspiratif, dan memberi prespektif lain tentang banyak hal. Disaat nasionalism warga keturunan disini sering jadi pertanyaan, mas agus justru membuktikan kecintaan akan Indonesia di luar sana. Saya udah baca hampir semua postingan mas agus, dan beli bukunya jg tentunya. Mudah2an suatu saat ada kisah dari mas agus tentang negara2 di asia tenggara yg masih minus (kamboja,laos,myanmar), meksiko-kolombia(yg terkenal gengsternya), dan amerika selatan (pedalaman amazon dan suriname yg erat darahnya dgn indonesia). Salam.
wah..pakistan-afganistan kena gempa besar lagi..saya rasa mas avgus langsung kepikiran balik kesana dengar kabar itu..mudah2an jumlah korban tidak terlalu banyak n kerusakannya tidak terlalu parah yaa..
what a wonderful trip
Entah kapan giliranku yang bilang ‘man miayam’
gambar terakhir,, riksaw ala Afganista, pengemudi di belakang..
Akhirnya saya menyelesaikan membaca seri titik 0 dari awal sampai akhir dalam satu hari. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Bagi mereka yang membacanya sangat mungkin membangkitkan naluri petualangan yang selama ini terkubur jauh di dalam Jiwanya. Part yang paling saya suka adalah perjalanan menuju Tibet, tempat yang suatu saat akan saya kunjungi walaupun mungkin akan datang sebagai wisatawan, karena saya belum memiliki keberanian untuk menyelundup. hehehe
membaca blog ini membuat saya mengerti dunia ini begitu luas, walaupun terkadang serasa sempit karena sebuah perjumpaan yang tidak terduga. Bagi orang-orang yang tidak memiliki keberanian atau pun kesempatan untuk melakukan perjalanan luar biasa seperti ini, membaca blog ini cukup membuat kita untuk hadir dan merasakan kondisi pada saat itu. Cara mas Agustinus bercerita membuat kita seolah-olah sedang berada di sampingnya saat melakukan perjalanan. Sukses buat mu mas, saya pribadi menunggu cerita petualangan mu yang lain. Oh ya, mungkin tidak penting tapi hanya mau mengatakan Nama kita sama, salam kenal saya Agustin Hutabarat.
Saya ingin berkunjung ke semua negara stan, ditambah membaca pengalaman mas Agus ini makin membuat jiwa bebas saya menggebu gebu apalagi sudah ada kenalan di beberapa negara stan. Apakah orang kelahiran Agustus memang berjiwa petualang ya? Karena kebetulan nama kita hampir sama & pasti lahir di bulan Agustus.
Apa iya bulan Agustus melahirkan orang orang yg berjiwa petualang?
Memiliki mimpi besar sebagai penakluk dunia.
Saya juga punya hobi yg sama dan berharap suatu saat bisa menjejakkan langkah ke negara2 yg mungkin tak semua orang mau mengunjungi, misalnya Korea Utara dan benua Afrika.
-8 Agustus 1981-