Mazar-i-Sharif – Perjalanan Menuju ke Utara
Biya ke berim ba Mazar, Mullah Muhammad jan
(Mari pergi ke Mazar, Mullah Muhammad sayang) – Lagu tradisional Afghanistan
Sudah hampir sebelas bulan berlalu sejak saya melintas perbatasan Uzbekistan-Afghanistan di desa Hairatan, beberapa kilometer jauhnya dari kota Mazar-i-Sharif. Sejak saat itu kehidupan saya hanya terkurung dalam lingkup kota Kabul. Saya bahkan tidak pernah bepergian lebih dari lima kilometer. Tak bisa dibayangkan, betapa rindunya lagi saya untuk kembali ke jalan, pergi ke tempat-tempat baru dan belajar hal-hal unik.
Tahun baru Naoruz, tahun barunya orang Afghan yang didasarkan pada perhitungan matahari, akan segera tiba. Naoruz adalah perayaan penting untuk orang-orang berlatar belakang kebudayaan Persia. Di Iran, tradisi merayakan Naoruz penuh dengan pengaruh dengan tradisi pra-Islam, seperti mengumpulkan tujuh buah bahan yang berawalan huruf ‘s’ (haft sin), atau merayakan Rabu malam dengan api dan petasan. Di Uzbekistan, Navruz adalah hari di mana orang menyiapkan sumalak – puding dari rerumputan – dan tari-tarian indah menghiasi kota-kota kuno. Naoruz juga tahun baru bagi masyarakat Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Turkmenistan, Azerbaijan, dan Afghanistan.
Kota Mazar-i-Sharif adalah pusat perayaan Naoruz di Afghanistan. Ratusan ribu orang berbondong ke kota besar di utara itu. Apalagi tahun ini libur Naoruz sangat panjang, karena kebetulan jatuh pada hari Kamis. Hari Rabu adalah hari Maulid Nabi. Jumat dan Sabtu hari libur. Jadilah kami menikmati long weekend.
Demi perjalanan ini saya khusus membeli seperangkat shalwar qameez baru, lengkap dengan rompinya. Selama berada di Kabul, saya selalu memakai pakaian ala Barat. Kejadian digebukin polisi tahun 2006 gara-gara dicurigai sebagai teroris Pakistan pernah membuat saya kapok untuk memakai pakaian nasional orang Afghan ini. Tetapi sudah hampir dua tahun berlalu, rindu juga rasanya mengenakan kembali pakaian yang pernah menemani keseharian saya selama jadi backpacker dulu di Pakistan dan Afghanistan.
Saya terpaku di hadapan cermin, memandangi jubah dan celana kombor warna biru muda yang kemarin saya beli. Tahun Baru Naoruz, walaupun berasal dari tradisi pra-Islami, adalah perayaan keagamaan yang akan dipusatkan di makam suci Hazrat Imam. Tidak ada salahnya kalau saya memakai pakaian yang lebih ‘sopan’ seperti ini.
Bus menuju Mazar berangkat dari terminal Sarai Shomali di utara Kabul. Di Kabul ada banyak terminal untuk berbagai tujuan yang berbeda. Sebelum berangkat kita memang mesti mencari tahu dulu harus berangkat dari terminal mana. Sarai Shomali sudah teramat sibuk pada pukul enam pagi. Orang Afghan terbiasa untuk mengawali perjalanan pagi-pagi buta, karena perjalanan malam hari di negara yang masih baru bangkit dari perang ini sama sekali tidak dianjurkan. Jalan yang rusak sama sekali tidak diterangi lampu. Belum lagi lintasan naik turun gunung lewat likungan tajam di tepi jurang. Masih ada lagi ancaman keamanan. Karena itu, saya juga bangun subuh-subuh untuk berangkat ke Mazar.
Seiring dengan kenaikan harga bensin, harga karcis bus pun sudah naik gila-gilaan. Hampir setahun lalu, saya ingat harga karcis bus dari kota Mazar ke Kabul hanya 250 Afghani. Sekarang sudah 400 Afghani, 8 dolar. Ini sudah yang paling murah. Kalau taksi atau flying coach bisa sampai 1000 Afghani. Padahal Mazar hanya terletak sekitar 400 kilometer dari Kabul.
Sebelum bus berangkat, bocah-bocah penjaja permen karet mencari peruntungan dari penumpang yang sudah tidak sabar. Suasana semakin ramai oleh penumpang perempuan dalam burqa biru yang sangat rewel dalam memilih tempat. Di Afghanistan, seperti halnya di Iran dan Pakistan, di kendaraan umum pria dan wanita tidak boleh duduk bersebelahan kalau bukan muhrimnya. Aturan ini ketat sekali. Kondektur sudah berusaha mencari tempat untuk ibu-ibu tanpa wajah dalam burqa kumal itu, tetapi rupanya mereka kurang suka. Terdengar umpatan wanita dan sumpah serapah dari balik kain tak berupa itu, dan sambil mendengus kesal, dua sosok kain itu pun akhirnya rela duduk juga.
Di hari raya seperti ini, orang memang tidak boleh bawel. Masih banyak penumpang yang terpaksa harus duduk di lantai karena sama sekali tidak ada tempat duduk.
Seorang malang, pertapa peminta-minta, memimpin kami berdoa. “Safar be khatar… Amin!!!” Semoga perjalanan ini aman tanpa bahaya. Para penumpang kemudian memberikan uang receh kepada orang tua itu.
Akhirnya, kami meninggalkan Kabul. Saya terharu. Inilah perjalanan yang pernah menjadi bagian hidup saya sehari-hari, selama bertahun-tahun, melintasi gunung dan lembah mulai dari Tibet, hingga ke Asia Selatan, lewat gunung-gunung tinggi Afghanistan dan padang rumput Asia Tengah. Semuanya terasa seperti kenangan lama yang diputar kembali dalam ingatan saya. Betapa saya menghabiskan waktu hampir setahun penuh, di dalam kota Kabul saja, terjebak oleh pekerjaan demi menyambung perjalanan. Betapa saya merasakan kelegaan luar biasa, ketika bus mulai bergerak meninggalkan kota, dan saya kembali ke kehidupan perjalanan yang telah lama saya geluti. Saya kembali hidup.
Di perbatasan kota Kabul, bus kami dihentikan sekelompok tentara. Mereka memeriksa bagasi. Dua orang tentara, masih usia remaja, juga naik untuk memeriksa wajah para penumpang. Saya agak cemas, karena beberapa bulan lalu sempat ada larangan orang asing untuk meninggalkan Kabul dengan alat transportasi umum, entah apakah sekarang sudah dicabut. Kebanyakan pria muda Afghan mengenakan pakaian ala Barat, saya yang orang asing malah mengenakan pakaian Afghan. Tetapi mungkin karena penampilan saya sudah persis orang Hazara, tentara melirik pun tidak.
Pemandangan berganti seketika, dari tandusnya kota Kabul menjadi bukit-bukit mulus berselimut permadani hijau. Musim semi sudah tiba. Hijau dan cerahnya dunia siap menggantikan kelabunya musim dingin. Landskap Afghanistan bagian utara mirip negeri-negeri tetangganya di Asia Tengah sana.
Jalan yang menghubungkan Kabul ke kota Mazar terbilang sangat bagus dan mulus, walaupun melewati puncak gunung tinggi. Fenomena modern di negeri perang Afghanistan ini dalah terowongan Salang. Terowongan yang panjangnya hampir 3 kilometer di ketinggian 3363 meter boleh dibilang salah satu keajaiban di negara ini. Gunung-gunung tinggi pun sekarang bisa ditembus oleh bus dan truk berat.
Terowongan ini dibangun pada zaman Soviet, sempat menjadi garis depan pertempuran Mujahiddin. Bayangkan saja para tentara gerilyawan yang bersembunyi di puncak-puncak gunung itu, tinggal dengan santainya menembaki musuh yang melintas. Salang adalah salah satu titik strategis di Afghanistan. Waktu saya pertama kali ke Afghanistan tahun 2003, Terowongan Salang dalam perbaikan sehingga Kabul dan Mazar terputus sama sekali. Salang adalah urat nadi utama yang menghubungkan Kabul dengan Afghanistan utara.
Terowongan Salang masih diselimuti salju. Gunung-gunung menjulang tinggi, menampakkan sisi musim dingin yang masih tersisa. Saya semakin terpesona melihat rentetan menara listrik dan telepon sepanjang gunung-gunung terpencil ini. Afghanistan sedang membangun. Pelosok pegunungan mulai menyala bersama datangnya aliran listrik. Signal HP merambah kota dan desa. Afghanistan akan bangkit kembali.
Walaupun pembangunan sudah mulai menampakkan hasilnya, masalah keamanan di Afghanistan malah semakin memburuk. Saya ingat tahun 2003 adalah masa-masa penuh romantisme ketika saya datang ke sini. Semuanya begitu ramah dan aman. Tetapi 2007 adalah tahun yang penuh bom, penculikan, hujan roket. Sungguh sedih rasanya.
Naoruz juga merupakan masa sensitif di sini. Ratusan ribu peziarah berkunjung ke Mazar. Dan puncak keramaian adalah target empuk bagi perusuh yang ingin mengacaukan keamanan. Tak heran, sepanjang jalan, banyak sekali pos pemeriksaan. Semuanya diperiksa dengan teliti. Barang bagasi dibuka. Semua penumpang disuruh turun. Terjadi antrean panjang di jalan raya.
Polisi pemeriksa di Tashkurgan, yang senang sekali melihat ada orang asing yang mau ke Mazar untuk merayakan Naoruz, malah sibuk mempraktekkan bahasa Rusianya dengan saya. Saya hanya menunjukkan paspor dan visa, langsung dibolehkan lagi naik ke bus, bergabung lagi dengan kaum hawa Afghan yang hanya menunggu di dalam kendaraan. Para pria Afghan harus melewati pemeriksaan sekujur tubuh.
Total ada tujuh pos pemeriksaan sampai ke Tashkurgan. Tak heran, perjalanan ini memakan waktu sampai 12 jam. Begitu saya sampai di Mazar, kaki ini sudah lemas sekali rasanya.
“Rumah kami adalah rumahmu,” kata Naqeebullah, pemuda 22 tahun yang menjadi tuan rumah saya di Mazar, “kapan pun kamu mau datang, silakan datang. Mobil kami adalah mobilmu. Ke mana pun kamu mau pergi kami selalu siap.”
Saya merasakan kembali kehangatan keluarga Afghan, yang sudah lama hilang dari keseharian saya di Kabul.
Leave a comment