Mazar-i-Sharif – Orang Pashtun
Kantor Pajhwok Afghan News dipenuhi orang Pashtun. Selain Zabiullah Ehsas dan adiknya yang tinggal di sini, hari ini mereka kedatangan serombonan tamu dari Kabul. Sebagian dari tamu ini saya kenal sebelumnya, karena kami pernah bekerja di kantor yang sama di ibu kota.
Suasana lantai atas hotel ini semakin ramai oleh kedatangan tamu-tamu ini. Dalam sekejap, saya menjadi sangat kikuk.
“Jangan sekali-sekali kau bicara bahasa Persia di sini,” kata Israr, seorang pemuda Pashtun dari Kunar yang pernah memperoleh gelar juara dalam lomba programing internasional, memperingatkan dengan tegas, “di sini cuma boleh ada bahasa Pashtu!”
“Orang Tajik itu brengsek,” kata yang lain, “mereka sama sekali tidak taat dan banyak melakukan dosa. Bahasa mereka sama sekali tidak terhormat.”
Saya merasa tidak enak dengan Naqeeb yang mengantar saya ke sini, karena Naqeeb adalah orang Tajik. Tetapi Naqeeb bisa berbahasa Pashtu dan para pemuda Pashtun ini sama sekali tidak tahu ke-Tajik-an Naqeeb.
Primordialisme etnik adalah fenomena yang sangat kuat di Afghanistan. Semua suku punya kebanggaan kesukuan yang luar biasa, jauh melebihi segala-galanya. Identitas Islam tidak cukup kuat untuk mengikat semua suku ini bersatu. Dalam sejarah Afghanistan kita teringat bagaimana semua suku Afghan bersatu padu melawan invasi Rusia tetapi kemudian setelah tentara Rusia pergi, Afghanistan kembali jatuh dalam jurang peperangan tanpa akhir. Semua suku saling bantai untuk memperebutkan tampuk kekuasaan.
Matiullah, adik Zabiullah yang baru berumur 20-an tahun, menunjukkan gambar pemimpin Afghan, mulai dari Ahmad Shah Baba sampai Karzai. “Ini adalah Amanullah Khan,” kata Mati, “ia adalah pemimpin yang baik.” Amanullah Khan adalah pembaharu Afghan, menyerukan para wanita Afghan melepaskan burqa, menerapkan pembaharuan model Kemal Ataturk tanpa memperhitungkan kekuatannya sendiri, dan dalam sekejap langsung dikudeta. “Dokter Najib, Abdurrahman, dan Mujadidi juga baik.”
Di deretan foto itu juga ada Mullah Omar, pendiri Taliban. “Mullah Omar juga bagus, menegakkan hukum Islam,” kata Mati.
Siapa pemimpin yang tidak baik? “Baccha Saqao dan Rabbani. Mereka ini orang-orang Tajik. Mereka yang membawa kehancuran Afghanistan.” Di antara deretan pemimpin Afghan itu hanya ada dua orang Tajik. Baccha Saqao, artinya Bocah Pemikul Air, adalah orang Tajik yang menggantikan Amanullah tahun 1929. Tetapi orang Pashtun tidak bersedia dipimpin Tajik. Baccha Saqao hanya menikmati kekuasaan selama beberapa bulan dan langsung dibunuh. Bagaimana pun juga, bocah pemikul air ini sudah menorehkan sejarah sebagai orang Tajik pertama yang memerintah Afghanistan.
Mullah Burhanuddin Rabbani adalah pemimpin Mujahiddin yang menggantikan Shebghatulah Mujadidi. Matiullah dengan penuh kekesalan berkisah tentang bagaimana Rabbani mengakali Mujadidi dan mengingkari perjanjian, sehingga si orang Tajik itu bisa berlama-lama menjadi presiden Afghanistan.
Dari semua kesedihan Matiullah, adalah sang raja Pashtun Abdurrahman Shah yang ‘menjual’ negaranya sehingga Afghanistan menjadi seperti sekarang ini. “Kamu tahu Durand Line?” tanyanya mengawali sebuah diskusi tanpa akhir yang akan selalu saya dengar setiap hari di kantor ini. Saya mengangguk. Durand Line adalah garis pemisah antara Pakistan dan Afghanistan, membelah tanah yang didiami bangsa Pashtun menjadi dua bagian.
Bagi Matiullah, tidak ada hal yang lebih menyedihkan daripada kehilangan separuh negaranya ke tangan orang Pakistan. “Pakistan? Siapa mereka itu? Durand Line adalah punya kami. Pakistan tidak lebih dari Punjab dan Sindh. Sisanya adalah kepunyaan Afghanistan. Insya Allah, suatu hari nanti, kami akan merebut wilayah kami kembali dari Pakistan!”
Semangatnya menggebu-gebu. Itulah semangat Pashtunistan, menyatukan tanah Pashtun Afghanistan dan Pakistan. Diskusi macam ini adalah tipikal di kalangan orang Pashtun.
Kantor ini dipenuhi foto-foto Afghanistan masa lalu. Ada foto keluarga Mujahiddin, mulai dari kakek, bapak, sampai anak kecil semuanya pegang senjata. Ada foto Lembah Bamiyan dengan patung Buddhanya, beberapa puluh tahun sebelum dihancurkan Taliban. Tetapi yang paling membuat Matiullah bangga adalah foto barisan unta yang dituntun pria bersurban.
“Ini foto dari Kunar,” kata Matiullah, “orang-orang Pashtun.” Ia tersenyum girang.
Saya membaca caption foto itu: Smugglers looting of 1000 year-old trees from Kunar’s jungles exploiting Pamir camels.
Seharusnya bukan sebuah caption yang membuat bangga.
“Kamu tahu arti kata ‘looting’?” tanya saya curiga.
Matiullah tampak sedikit bingung, mulai menggaruk-garuk lagi ingatannya, kemudian langsung membantah, “orang-orang ini bukan Pashtun. Ini orang Punjabi!”
Saya sudah benar-benar lelah dengan diskusi etnik dan kesukuan yang tidak akan ke mana-mana seperti ini. Ketika Matiullah bercerita tentang berbagai kebusukan orang Tajik dan Hazara, saya sudah malas mencatat lagi.
Juga kawan-kawan dari Kabul yang semula saya kira akan menjadi teman mengasyikkan malah membuat suasana tidak enak. Mereka tidak mengizinkan saya berbahasa Dari tetapi terus-menerus berbahasa Pashtu dengan saya walaupun mereka tahu betul saya tidak paham bahasa itu. Mereka bisa berbahasa Dari tetapi tidak mau menggunakan bahasa itu hanya semata-mata karena alasan superioritas etnis. Saya merasa terkucil di sini. Zabiullah yang kemarin berbahasa Dari dengan saya karena bahasa Inggrisnya kurang bagus sekarang pun terputus komunikasinya.
“Mengapa harus berbahasa Dari?” kata seorang pemuda, “itu bahasa minoritas. Mulai hari ini kamu harus belajar Pashtu. Beberapa hari bersama kita, setiap hari kita hanya bicara bahasa Pashtu dengan kamu, maka Insya Allah kamu juga akan bisa bahasa Pashtu.”
Tetapi orang Pashtu, terlepas dari superioritas dan kebanggaannya yang berlebihan, sebenarnya adalah orang yang sangat terpercaya. Setiap ucapan mereka adalah kesungguhan. Mereka tidak mengenal adat bermanis-manis mulut, berbasa-basi dengan janji kosong setinggi langit, yang menjadi adat orang Persia (Iran dan Tajik).
“Nanawatai,” kata seorang pemuda, “adalah kata bahasa Pashtu paling penting yang harus kamu ingat. Tak apa kamu tak bisa bahasa Pashtu, tetapi jangan lupakan kata nanawatai.” Kata ini berarti pemberian ampunan. Berapa pun dosa yang kamu lakukan, jika korban mengampuni dengan mengucap nanawatai, maka semua kesalahan kamu akan dilupakan. Taliban pun menghormati nanawatai, dan kata ini bisa menjadi penyelamat saya jika berada di daerah-daerah berbahaya di selatan sana.
Malam itu Matiullah datang lagi kepada saya, mengajak diskusi yang itu lagi itu lagi.
“Augustine, bagaimana pendapatmu tentang masa depan Afghan? Tentang Durand Line? Apakah kita bisa merebut kembali?”
Masa depan Afghan, kata saya, akan terjamin kalau setiap suku melupakan superioritas berlebihan dan mengutamakan identitas Afghanistan di atas segala-galanya.
Matiullah manggut-manggut, setuju, kemudian bertanya lagi, “tetapi bagaimana kami bisa hidup bersama Tajik-Tajik brengsek itu? Mereka punya Tajikistan. Mestinya mereka pulang ke sana.”
Saya mengacuhkannya dan kembali tenggelam dalam buku sejarah Afghanistan.
Agus: Dari Ayahmu Zhenhe(振和) saya baru tahu kisah petualanganmu yang mengagumkan, kamu meninggalkan hidup yang enak demi menyelami kehidupan yang beragam didunia ini.sungguh tidak mudah.
disini saya ingin menanyakan, foto di kompas ada dua lembar apakah gambarmu?
1.yg berdiri diatas balok antara truck gandeng? 2.disebuah dapur rumah makan dgn seorang koki?
There’s clearly an array of powers at work creating the case right now for a war on the Pashtun tribal regions. These things don’t just happen in a vacuum. Wars seem to start with the careful choreography of the news media. The war masters, the maestros, start feeding their lap dogs, the press. The music is then played by the press for the rest of us to hear.
Notice how all the papers are beginning to play the same thing about the Afghan and Pakistan border? The theme of “lawless frontier” is being played every week. The sound drowns out the reality of a noble 5000 year old culture of some 42-million people.
We hear instead about the vilified denizens of a “lawless tribal frontier.”
What you missed it? Well, it’s only been playing for about two weeks. You need to tune in to the inside pages. The maestros have been composing for a while longer…. Their creative juices kicked in about the time Sen. Obama, answering one of those deadly sucker-punch sound bite questions showed us his war face telling us he would take action on “high-value terrorist targets” in Pakistan if President Pervez Musharraf “won’t act.
That’s the sunshine it took to start the war-sap flowing. War-sap is sticky stuff, its residue has been known to encapsulate the creatures that get too near and preserve them there for posterity.
There is a legal system in place of course, in this lawless frontier. It’s been there for 5000 years. The Pashtun call the system the jirga. But its not part of the sharia law, it’s unique to the Pashtun and precedes Islam by thousands of years. But we don’t sing about that just now.
Please, I definitely don’t want the Pashtun to start signing their homeland song either. I don’t want to learn that an 1893 border line drawn with the blessing of Queen Victoria divided a group of mountain dwellers along the Afghan and Pakistan boarder in two.
I thought mountain ridges where proper borders. Everybody uses them. I just can’t handle the sound of another this-a-stan or that-a-stan popping up. So please, I don’t want to know about a Pashtunistan. And I definitely have no interest in anything 5000 years old, if it means Obama can catch Osama on good intelligence, bring it on! That should be Commander Obama’s war face call: “Bring it on!” Hmmmm, that sounds familiar.
What is this Pashtuni-whatever, Pashtunwahli, anyway?
It’s a code of conduct. The Pashtun openly express somewhat defiantly, total cultural independence and have seen conquering armies and powers come and go through the millennia. Probably because of their original geographic high mountain foothold they could stand off vast armies with terrain advantage. Well it’s about time maybe for all that to stop.
If the Pashtun just hang in there with there non-violent thesis a few more generations, they’ll be the dominant culture of the entire region with the new awakening of intellectual prowess and coming Islamic Reformation which is beginning right now. Their hopes of control over their resources, a name for themselves, and an end to fundamentalist radical Islamic persecution will fade away and they will be the dominant culture. They would be wise to muster whatever assets are needed, magically go find Osama bin Laden and turn him over to the world court thus avoiding a coming war in the tribal area.
And, how come they sound more like American cowboys than foreigners? Darn it, if we are going to start another little war, can’t we start it with some body that doesn’t live like my great, grandfather? The old Pashtun nationalist non-violent Kahn Abdul Gaffari Kahn 1930’s photo, even looks like grandpa!
Setting aside the Pashtun mostly pray to the same God I do, grandpa did, and great grandpa too, how on earth did they adopt the same code as the old cowboy code of the west?
According to “lawless frontier” musical score, the first impressions I hear is Pashtun love rifles, chewing green tobacco, and appreciate a good sense of humor. So what’s not to like? I can’t go to war on that.
If I fell out of the sky and landed in a group of people like that, I’d get along just fine, especially if I were being chased by the law. What they call Nanawateh we call asylum. Nanawateh is extended even to an enemy, just like the Cowboy Code of the Old West. Except if you are granted asylum (called Lokhay Warkawal) by the Pashtun elders as a group you’re in like Flynn! They protect you even if it means forfeiting their own lives. Man that is lawless. Imagine a code of living where a principal was so honored, that it exceeded my duty to the state. Hmmm. Now that is lawless. Isn’t it?
Better to just seek hospitality, then they’ll treat you like a king, which makes me want to open a 5-Star hotel somewhere in the snowy peaks along the boarder if I can find a few acres for a ski-lift not planted in opium poppies, viewed on Google Earth satellite, not that anyone is actually checking the carefully cultivated fields above 6,000 feet along the borders. I would feel right at home there, not unlike parts of Tennessee or California.
Look at the forces arrayed here. My little fantasy war is going to happen.
The Democrats need to show they can be trusted with national defense again, be it Hillary or Obama. And McCain says fight to win.
The second verse of the song is still being written: Floating the contingency balloon. Up, up, and awa-a-a-ay, in my beautiful ball-o-o-o-on….
Obama or Hillary, or McCain get sworn in January 20, 2009. By mid June, whoever is President is going to make a push into the boarder regions the so-called “lawless frontier tribal zones” and “on good intelligence,” unless of course my leader does it first before June 20th. The operation will be Pakistan’s (well okay we’ll give them a few billion). It will be a fast coordinated air-ground attack with airborne US intelligence and lots of surrounding US air cover as a safety check to insure the operation stays within operational parameters. Pakistani’s will not go into Afghanistan and vice a versa. Meantime the Pakistan Navy will be backed up (some would say surrounded and outgunned) by the US Navy to keep a lid on the operation seeing to it they don’t launch an attack on India by Pakistan Islamic fundamentalist-leaning ground forces. We’ll hold India’s hand throughout the entire episode and offer security where needed.
Up, up and awa-a-a-ay in my beautiful …. This thing’s going to happen regardless of who wins.
You can’t deny the poetic justice in someone with a Muslim name (Obama) catching a renegade terrorist (Osama). Can you imagine the songs that we could write about that? To the tune of “Froggy went a courting.”
Obama went a hunting and he did hunt, uh-huh
Obama went a hunting and he did hunt, uh-huh
Obama went a hunting and he did hunt, he hunt Osama on the Mount
Obama went a hunting and he did hunt, un-huh. …..
The best time to wage this little war would be during the Chinese Olympics. China would likely remain quiet with their hands temporarily full with the Olympics.
So my fantasy, glorious, contingency war needs to be brief, violent, and force the Pashtun jirga to rethink their long term cultural interests. It needs to end with Osama in a holding tank, brought up on charges in the world court.
If it fails? Well what do you expect from the lawless tribal frontier area in Pakistan with questionable army allegiance? Corruption is everywhere.
I’d still like to open a 5-star hotel with some good ski-runs. You don’t suppose the opium production their so good at, has anything to do with the foolishness of some of our drug laws? Nah.
Victor Davis Hanson says you have to look at war with a long term perspective in order to understand its meaning. Long term is real long term. It may well turn out that while many say Bush’s legacy must be a failure, history may have a completely different take on things, long after both you and I and our great grand children have come and gone. It may turn out, that doomed legacy of a Bush Presidency we hear so often this campaign-cycle ends up being written 1000 years from now as the President who started Islamic Reformation and brought freedoms that enabled thinking people to ask questions about religious practices that eventually changed the world and started the east and the west talking again.
The Ritz, I like that franchise, a 5-star Ritz, 18-hole PGA golf course, mini-conference center. A Pashtun bag-piper paying my old favorite, “The Ass in the Graveyard” with double malt scotch, in the bracing night air.
Respectfully,
Warbucks
Tertarik menanggapi artikel berkenaan dg nasib Pastunia,sangat trenyuh nasib mereka tirakat terus yah.Ada kesalah pahaman pendapat umum tentang sejarah Israel.setiap Yahudist (jewish) pasti jenis bangsa Israel,tapi setiap Israel tidak mesti Yahudist,itu yg belum banyak diketahui orang umum.berkali kali Al qur,an menyebut kata kata Israel ratusan kali,dan menyertainya kata2 -illa-dlm bhs Arab isttistna, pengecualian .Dalam sejarah peradaban manusia Israel menurut A.yousefus (1Masehi) ada 12 suku.yang ngotot pro Emperor Daud-David,Solomo adalah pro Raja Yerusalem.sedangkan faham Yahudisme.sedangkan Emperor Smaria pro demokrasi raja pilihan rakyat bukan keturunan Duad.yerobeam lawan Rubeam.namun Smaria amblas kerajaannya di serang Babilonia,dan Syiria.penduduk warga Smaria inilah nenek moyang orang Pasthun,jadi 10 suku Israel yg hilang ini di tuliaskan sejarah berlokasi bermasarakat di daerah sungai Efrat,Khurasan,Pastun.mereka telah Islam sejak awal hijriyah.nota bene keturunan Israel dari Yusuf +st zulecha akan tak jauh berparas cantik menuruni hereditas fisik genetika Yusuf.
Sejarah berulang kembali bila kita lihat sejarah Israel kuno.Bani Israel saling tangguh beradu otot sebagai cici perwtakan fisik2 bangsa Israel.Keturunan Dinasti SAMARIA VERSUS DINASTI YEHUDA.Mereka oleh Allah diberi peringatan husus.bahwa mereka oleh Allah sungguh diberikan keistemewaan menandingi bangsa2 lain dalam segala hal.Jadi yg akan sanggup mengalahkan Yahudeanist adalah anak anak Israel(YAKKUB) yg lainnya yg bukan suku Yahudi.
aku punya banyak teman dari suku pashtun ini , dan ya saya akui mereka terlalu berlebihan dalam membanggakan bangsanya ..dan yang paling menyakitkan mereka membandingkan perempuan mereka bagaikan permata sementara wanita dari bangsa lain diluar bangsa mereka tidak lebih hanya sederajat dengan sampah ! mengecewakan