Mazar-i-Sharif – Perayaan di Makam Suci
Perayaan Naoruz pun dimulai.
Pukul 6 pagi, barisan orang sudah mengular di depan keempat pintu gerbang menuju Rawza Sharif, makam suci Hazrat Ali. Bangunan ini megah berdiri dengan kubah-kubahnya yang bak fantasi negeri seribu satu malam. Dindingnya berukir mozaik indah. Orang asing biasa menyebutnya sebagai Blue Mosque, walaupun gedung ini tidak biru dan sama sekali bukan masjid.
Mazar, artinya kuburan. Sharif berarti yang agung. Mazar Sharif menjadi ternama karena dipercaya jenazah Hazrat Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, beristirahat di kota ini. Umat Sunni menganggap Ali sebagai khalifah keempat sedangkan Syiah menganggapnya sebagai Imam pertama. Di kalangan umat Syiah sendiri sebagaian besar menganggap tempat peristirahatan Ali (A.S) ada di Najaf, Iraq. Tetapi di Asia Tengah ada Mazar Sharif dan Shakhimardan (Uzbekistan) yang punya klaim yang sama.
Bangunan megah Rawza terletak di tengah taman. Bangunan ini dibangun pada abad ke-13. Berbagai kesaksian mengenai kesucian tempat ini selalu menghiasi buah bibir orang Afghan. Makam suci Hazrat Ali dipenuhi oleh ribuan merpati putih. Konon merpati hitam yang datang akan dengan sendirinya berubah menjadi putih dalam 40 hari.
Demikian pula ribuan orang yang datang ke Rawza di hari Naoruz ini. Semuanya menantikan mukjizat dari tempat suci ini, diurapi dan disembuhkan dari segala macam penyakit, seperti merpati hitam yang berubah menjadi putih.
Dengan kartu press, saya dan Zabiullah bisa memotong antrean panjang para peziarah langsung ke pintu gerbang taman. Pemeriksaan sangat ketat. Sekujur tubuh kami digerayangi para tentara dan polisi, untuk memastikan kami tidak membawa barang berbahaya ke dalam. Tahun lalu ada yang mau melaksanakan bom bunuh diri di sini. Tetapi mungkin karena memang tempat ini bermandi mukjizat, bom itu meledak sebelum waktunya dan hanya pelaku sendiri yang tewas. Padahal di tempat ini ada puluhan ribu peziarah yang hendak merayakan Naoruz.
Setelah kami masuk ke dalam kompleks Rawza, kami harus bergegas mendapatkan kartu tanda pengenal dan peralatan kami yang diinapkan kemarin. Tetapi orang-orang dari kementrian ini memang payah sekali organisasinya. Tidak ada yang bisa ditemui, dan para jurnalis yang masuk dari pintu barat terpaksa berkeliling Rawza hampir satu putaran penuh, memanjat pagar pembatas, dibentak polisi, dan sebagainya.
Pembagaian peralatan pun sangat berantakan. Para jurnalis berbaris tanpa aturan di depan tangga sempit dan gelap. Hampir setengah jam lamanya saya menunggu baru mendapat kembali kamera saya. Itu pun dapat bonus lensa saya dijatuhkan oleh petugas yang memasang wajah tanpa dosa.
Kartu tanda pengenal tidak diberi. “Nanti, minta di bawah.” Pembagian kartu tanda pengenal lebih kacau balau lagi. Petugas kehabisan kartu. Yang tersisa hanya kartu satpam dengan foto orang-orang brewok. “Tidak apa, dengan kartu ini kamu bisa masuk,” kata petugas itu meyakinkan seorang kameraman Eropa yang minta kartunya ditukar.
Sang bule pun melenggang masuk ke arah Rauza, sebelum kemudian diusir lagi oleh polisi di sana.
Sungguh amburadul. Saya tidak mengerti apa gunanya acara pendaftaran jurnalis yang ribet sekali sejak beberapa hari yang lalu, kalau pada hari H jadi kacau seperti ini. Kami hanya diberi kartu tanpa foto dan nama. Saya malah tidak dapat kartu pengenal apa-apa.
Sudahlah, sebelum digiring masuk ke kompleks Rawza, di luar pagar ini ada ratusan pria yang duduk dengan sabar tanpa mengomel. Mereka sudah di sini sejak kemarin siang, karena waktu sore Rawza sudah dikosongkan. Orang tidak bisa masuk lagi ke kompleks ini sejak kemarin karena alasan keamanan, tetapi polisi tidak mengusir yang sudah di dalam.
Orang-orang yang sudah dengan sabar duduk di sini adalah mereka yang percaya dan takwa. Masing-masing dari mereka membawa anggota keluarga yang sakit atau cacad. Abdullah, pria paruh baya yang jauh-jauh datang dari propinsi Baghlan, menginap di kompleks Rawza sejak kemarin siang. Ia membawa anak gadisnya yang sakit jiwa, mengharapkan turunnya mukjizat di tempat suci ini.
Mereka percaya, yang buta, yang pincang, yang terganggu jiwanya, yang lumpuh, semua akan disembuhkan. Saya teringat danau suci Band-e-Amir, yang dipercaya penduduk juga sebagai mukjizat ciptaan Hazrat Ali, mempunyai daya magis yang sama menyembuhkan orang-orang yang percaya.
Kepercayaan itulah yang membuat orang rela berjalan ratusan kilometer, melewatkan siang yang terik dan malam yang dingin di udara terbuka, hanya untuk menyentuh dan berada sedekat-dekatnya dari tempat suci dan bendera suci di Mazar. Sama juga dengan kepercayaan yang membuat orang berani menceburkan diri ke dalam air danau Band-e-Amir yang sedingin es dan sedalam lautan, untuk dibasuh mukjizat dari Hazrat Ali.
Mata Abdullah berkaca-kaca ketika berkisah tentang puterinya. “Insya Allah,” katanya, “putriku akan sembuh di hari yang suci ini.”
Pria Amerika yang masuk Islam kemarin pun terlihat di pelataran Rawza. Orangnya masih muda, mengenakan pakaian Afghan, duduk bersila dengan tenang bak pertapa. Ia dikeliling orang-orang bersurban, menjadikannya bak seorang pandita. Apa yang membuatnya masuk Islam? Apa pun itu, menjadi seorang mualaf di tempat suci macam Rawza Sharif di hari yang serba suci ini adalah peristiwa yang akan selalu ia kenang dalam hidupnya.
Orang-orang kementerian ingin memasukkan kami walaupun tanpa kartu tanda pengenal, sedangkan polisi kukuh melaksanakan tugasnya, melarang siapa pun yang tak berpengenal, apa pun alasannya, siapa pun orangnya.
“Gubernur sekali pun tidak bisa lewat sini tanpa pengenal,” kata polisi itu sambil menutup rapat-rapat pintu gerbang. Belasan jurnalis tanpa kartu, termasuk saya, terpaksa hanya menunggu pasrah. Seorang kameraman bule berkomentar, “Jarang-jarang nih polisi Afghan benar-benar berkuasa menegakkan peraturan. Pertanda bagus.”
Pejabat kementrian akhirnya menggiring kami lewat jalur memutar karena gerbang tadi tak bisa ditembus tanpa kartu. Kami masuk masjid agung dan keluar lagi dari pintu lain, langsung ke tempat acara. Saya sebenarnya sudah berkali-kali datang ke tempat ini. Tetapi dengan portal dan pagar besi yang dipasang di mana-mana, saya jadi bingung juga sedang berada di sisi Rauza yang mana sekarang.
Dan sebentar lagi, peristiwa bersejarah yang dinantikan puluhan ribu orang ini, akan dimulai.
Thank you for this blog. I am currently reading about Afghanistan, and as a woman it is hard to be non-judgmental sometimes about this male-dominated culture. But your photographs are beautiful and you were able to show your subject’s warmth and humanity in a way that finally helped me make a connection.
Beautiful work!