Garis Batas 18: Kisah Seorang Geologis dari Murghab
Barisan rumah muram dengan bayang-bayangnya yang seram menyambut kami ketika tiba di komplek perumahan yang ditinggali Dudkhoda di pinggiran kota Murghab. Seperti rumah hantu, lusinan rumah reyot yang atapnya ambruk dengan dinding yang mengelupas berbaris dan bersaf di komplek ini. Sepertinya hanya keluarga Dudkhoda yang tinggal di tempat ini. Rumah-rumah lain tak berpenghuni. Tetapi, barisan rumah yang hampir rubuh ini mengajarkan sesuatu yang paling berharga dalam perjalanan saya ke Murghab. Tentang cinta dan pengharapan.
Rumah Dudkhoda hanyalah sepetak ruangan berukuran 3 kali 4 meter yang dihuninya bersama istri dan dua orang anaknya, ditambah seekor kucing kecil.
“Musim dingin di Murghab sini dingin sekali, jadi rumah kecil itu yang bagus,” Dudkhoda beralasan menutupi kekurangannya.
Puterinya yang baru berumur 9 tahun langsung sibuk mengiris kentang yang dibawa ayahnya ketika saya dan rombongan supir-supir truk Kyrgyzstan datang. Istrinya menyiapkan penggorengan penuh dengan minyak. Para supir dan kernet dari Kyrgyzstan duduk mengelilingi meja kecil. Tak ada listrik. Mata orang-orang Kirghiz berkelap-kelip memantulkan sinar lampu petromaks yang menggantung di langit-langit. Saya menangkap rasa lapar yang amat sangat di mata itu. Dudkhoda menyiapkan sepoci teh hijau. Tak ada gula. Ia tak punya uang. Harga gula mahal, 4 Somoni per kilogram.
Cukup lama juga istri Dudkhoda memasak. Kami sudah tak sabar menunggu. Kamar ini terlalu kecil untuk dimasuki orang Kirghiz yang berbadan besar. Beberapa harus menunggu di luar, ditelan dinginnya udara puncak gunung yang menggigit. Ketika akhirnya bubur kentang goreng disajikan para supir truk itu menyerbu dengan rakus. Istri Dudkhoda hanya memandang dengan senyum. Kedua anak Dudkhoda juga hanya duduk, menonton, dengan tatapan mata yang saya tahu apa artinya.
Saya menawari Safar Muhammad, putra Dudkhoda, untuk makan bersama kami.
Dia menggeleng.
“Sudah makan,” katanya.
Dia berbohong.
Tak sampai lima menit, lauk kentang berminyak di atas piring supir-supir Kirghiz tandas.
“Spasiba! Terima kasih!” hanya itu ucapan mereka sebelum meloncat masuk kembali ke dalam truk, meneruskan perjalanan ke Kyrgyzstan.
Kloter kedua supir-supir Kirghiz masuk. Kini bersama beberapa wanita dari Murghab, calon penumpang truk yang akan ikut ke Kyrgyzstan. Isteri Dudkhoda kembali menyiapkan irisan kentang untuk dihidangkan di atas meja setinggi lutut di ruangan itu. Tak sampai lima menit, kentang dalam piring besar pun ludes. Hanya genangan minyak yang tersisa. Wanita-wanita desa itu juga jago makan rupanya. Jari-jari mungil anak-anak Dukhoda sibuk mencolek sisa minyak di atas piring lalu lidah merah mereka menjulur menjilati jari-jari kecil itu dengan lahapnya.
Kehidupan Dudkhoda memang mengenaskan. Saya baru tahu kemudian pria miskin ini ternyata seorang ahli geologi. Tapi, seperti sebagian besar orang di negara ini, dia juga pengangguran. Ketika delapan puluh persen penduduk GBAO adalah pengangguran, siapa yang butuh ahli geologi di kota terpencil di pegunungan seperti ini? Gajinya datang langsung dari ibukota Dushanbe. Dua ratus lima puluh Somoni per tahun, sekitar 70 dolar. Dengan uang sebesar itu, apa yang diharapkan? Setidaknya pemerintah memberinya tempat tinggal. Sebuah kamar sempit di komplek rumah hantu ini.
Lembaga swadaya masyarakat yang berbondong-bondong masuk wilayah GBAO memang memberi harapan bagi Dudkhoda dan keluarga-keluarga miskin lainnya di Murghab. Dudkhoda ikut program mikrokredit. Ia menerima 200 dolar untuk memulai usahanya. Tetapi bisnis apa yang bisa dimulai dengan modal segitu? Untuk transport barang saja sudah langsung habis. Usahanya gagal total.
Kini istrinya yang menjadi tulang punggung keluarga. Setiap malam perempuan yang wajahnya sudah berkerut di umurnya yang masih muda itu sibuk menyiapkan adonan tepung. Esok paginya tepung itu dioven. Roti nan yang dibuatnya kemudian dijual di pasar kota Murghab. Setiap hari ia menjual sepuluh nan, 1 Somoni per buah.
Kalau lagi mujur, 10 Somoni bisa didapatkan dari berdagang roti tebal itu. Namun, jumlah itu bukan keuntungan bersih. Untuk membuat sepuluh roti, dibutuhkan 5 kilogram tepung, yang biayanya 7 Somoni 50 diram. Paling banyak, keluarga Dudkhoda hanya mendapat untung 2 Somoni 50 diram per hari. Tak sampai 8.000 Rupiah. Itu sudah maksimal. Biasanya istri Dudkhoda hanya mampu menjual tiga bilah roti setelah menunggu seharian di pasar kota Murghab. Seperti komplek perumahan ini pasar itu juga laksana pasar hantu. Sepi pembeli. Tak heran gula dan beras sudah lama lenyap di atas meja makan keluarga Dudkhoda.
Dudkhoda memang sudah tidak punya apa-apa lagi. Tetapi dia masih punya keramahtamahan. Sebagai pemeluk Ismaili, dia berkewajiban memberi makan para tamu walaupun dirinya sendiri kelaparan. Dia juga masih punya harapan.
“Pamir akan jadi lebih baik. Pamir akan jadi lebih baik,” begitu sering dia berucap.
Dia tak menyesali perginya Uni Soviet. Dia tak meratapi kejatuhan negara baru Tajikistan sejak awal kemerdekaannya. Dia tak menangisi hidupnya yang tak lebih dari bertahan menyambung hari. Hidup di jaman Uni Soviet memang lebih baik, semua orang punya pekerjaan. Tetapi otak tak bekerja, karena semua diatur dari pusat. Sekarang, di kehidupan yang hancur lebur ini, orang mau tak mau harus mempekerjakan otaknya.
“Pamir akan jadi lebih baik. Suatu hari nanti. Pasti,” sebuah kalimat yang diucapkan dengan penuh keyakinan oleh seorang penduduk Murghab yang terpuruk dalam kekecewaan namun penuh oleh harapan. Sebuah kalimat dari komplek rumah reyot tak berpenghuni yang justru mengajarkan saya bagian terpenting dalam hidup: cinta dan pengharapan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 31 Maret 2008
kemiskinan tk lntas membuat keluarga itu enggan berbagi….memuliakn tamu…
kisah yg sngt inspiratif….TOP
Sangat menyedihkan.