Jurnal Nasional (2013): Perjalanan untuk Memahami Diri Sendiri
Perjalanan untuk Memahami Diri Sendiri
Judul Buku : Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : kedua, Maret 2013
Tebal : 556 halaman
Inilah catatan perjalanan yang tidak biasa. Biasanya sih, jika kita melihat catatan perjalanan atau petualangan seseorang di surat kabar atau buku, kita akan mendapatkan cerita yang indah atau kisah yang memukau.
Enaknya menyantap makanan dan minuman khas setempat. Nikmatnya perjalanan dengan kendaraan unik yang ada di tempat tersebut atau kemudahan menjangkau lokasi wisata. Senangnya mendapatkan keramahtamahan penduduk setempat. Atau cara bagaimana sampai ke tempat itu, berapa biayanya, menginap di mana, makan apa, dan segala macam tetek bengek lainnya.
Agustinus Wibowo tidak seperti itu. Titik Nol : Makna Sebuah Perjalanan bukanlah catatan perjalanan dan petualangan yang berisi kisah yang melulu indah. Ceritanya sudah tentu menarik tentang petualangan gila Agustinus dari Cina, India, Nepal, Afghanistan, Pakistan, Kashmir, dan lainnya.
Tetapi yang tidak kalah ajaibnya, kisah ini malah dibuka dan diselang-selingi dengan penuturan Agustinus perihal ibundanya yang sakit keras. Pengungkapan soal pribadi terkait relasi dia dengan keluarga, ayah, ibu, dan adiknya. Tentu ini rada ajaib untuk catatan perjalanan.
Petualangan Agustinus dibuka dengan perjalanan menuju ke Tibet. Agustinus yang masih keturunan Tionghoa memanfaatkan wajahnya yang seperti orang lokal untuk menyatu dengan para teman seperjalanan dan juga masyarakat setempat. Apalagi dia memang mau belajar bahasa setempat.
Layaknya novel, Agustinus bisa bercerita rinci soal perjalanannya dengan bahasa yang menarik. Tidak lupa dia memberikan sekelumit cerita lain soal tempat yang dikunjungi dan juga sejarah beberapa tempat. Agustinus bisa bertutur runut dengan bahasa yang indah.
Meski bukan buku antropologi atau sosiologi, toh kita bisa belajar sejumlah adat istiadat, budaya, dan kebiasaan masyarakat Bhutan, Nepal, Tibet, India, atau Afghanistan. Betapa masyarakat Tibet dan Afghanistan mereka begitu menghargai tamu sehingga saat Agustinus kehilangan benda berharga, mereka panik mencarinya dan merasa bersalah karena tidak dapat menjaga keamanan tamu. Atau cueknya orang-orang India yang bergeletakan tidur di mana saja.
Ulasan menyinggung sosial politik juga terungkap ketika Agustinus mengunjungi Uyghur, salah satu wilayah Cina yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Soal betap sulitnya menjadi kaum minoritas dalam negara yang berpenduduk lebih dari 1 miliar jiwa tersebut menjadi hal yang menarik untuk disimak. Sedikit cerita tentang sosial ekonomi terpapar ketika dia bicara soal India dan kemiskinan. Negeri ini juga sesak dengan pendudukan dan harus bergulat dengan ratusan juta jiwa orang yang berebut mencari sesuap nasi.
Agustinus juga bicara soal religiusitas ketika dia berada di Afghanistan. Kaitan kehidupan masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam dan juga minoritas non Muslim. By the way, ada kisah menarik ketika Agustinus mendapatkan pelecehan seksual dari laki-laki di sana. Kejadian ini seolah lazim terjadi. Seorang sahabat perempuan Agustinus sempat berkelakar kalau Agustinus lebih sering mengalami pengalaman dirampok, kecurian, dilecehkan dibandingkan dirinya yang nota bene seorang wanita.
Religiusitas juga banyak terungkap sepanjang buku terutama ketika bicara perihal ibunya yang sakit kanker. Sejumlah kerabat meminta ibunya berdoa dengan agama tertentu, sementara Agustinus ingin ibundanya bisa memilih cara berdoa menurut yang dia yakini.
Yang tidak kalah serius adalah ketika Agustinus bicara soal penjelajahan dan penjajahan. Begitu banyak masyarakat yang akhirnya terjajah setelah munculnya penjelajah dari dunia lain. Ya, begitu banyak orang yang merasa harus mengunjungi “surga yang eksotis‘. Lantas berbondong-bondonglah orang mengunjungi tempat itu sehingga terjadi eksploitasi dalam berbagai segi kehidupan.
Turis apa pun jenisnya backpacker, travel writer, atau punya nama lain pada intinya ya sama saja. Mereka memburu tempat baru yang kabarnya eksotis untuk dijelajahi, mengabarkan pada yang lain, lantas berdatanglah para turis itu dengan segala macam kebudayaan yang bisa jadi merusak masyarakat dan alam sekitarnya, terjadilah penjajahan tersebut.
Agustinus mengungkapkan dia berpetualang dari Cina dan ke sejumlah negara lainnya yang bertetangga dalam rangka melakukan perjalanan jauh ke Afrika Selatan, tetapi dia justru belajar tentang perjalanan hidup pada ibunya yang tidak pernah ke mana-mana. Seperti yang diungkapkan tadi, inilah perjalanan mengungkap filosofi hidup yang ada selain dari perjalanan bertualang ke tempat-tempat yang eksotis.
Relasi dengan ibunya dan juga ayah serta adiknya terungkap. Kisah perjalanan hidup keluarganya juga dituturkan. Ya, inilah kisah dan catatan perjalanan yang tidak biasa, tidak melulu indah, tetapi juga bermakna.
Dalam buku ketiganya, Agustinus juga menyelipkan sejumlah foto-foto yang menarik, ajaib, dan absurd seperti halnya catatan perjalanannya ini. Ngomong-ngomong, dia pernah merilis dua buku sebelumnya yaitu Selimut Debu dan Garis Batas. Sejumlah tulisan dalam buku ini pernah dimuat di Kompas.com.
Seperti memulai sebuah perjalanan, membaca buku Agustinus ini juga seperti meretas perjalanan petualangan, lantas ketika menyelesaikannya seperti pulang ke rumah. Memulainya dari titik nol dan kembali lagi ke titik nol.
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Leave a comment