Dewi (2007): Samarkand – Perjalanan Melintasi Waktu
DEWI MAGAZINE (SEPTEMBER 2007)
SAMARKAND: Sebuah Perjalanan Melintasi Waktu
Apa yang terbayang dalam benak Anda ketika mendengar nama Uzbekistan? Apakah gadis-gadisnya yang berkulit putih mulus nan molek? Ataukah sebuah negara muda yang berdiri di atas puing-puing Uni Soviet? Ataukah sebuah negeri padang pasir yang panas dan kerontang? Apa pun itu, Uzbekistan, sebuah negara yang terletak di tengah benua luas, terkunci dari segala penjuru dan berjarak ribuan kilometer jauhnya dari samudera mana pun, memamerkan semua pesona keeksotisannya yang membuat silau semua bangsa di dunia. Itu pula yg dapat dilihat di Samarkand.
Perjalanan bebas hambatan dari Tashkent menuju kota tua Samarkand cukup ditempuh dalam waktu 4 jam saja dengan taxi. Perjalanan ini melintasi perkebunan kapas yang seakan tidak ada habisnya. Dan begitu menginjakkan kaki di Samarkand, Anda sudah melintasi waktu setidaknya empat ratus abad ke belakang.
Siapa yang tak akan terpekur di bawah keagungan nama Samarkand? Sang pujangga Umar Khayyam tiada hentinya memuja kemuliaan kota ini, bahkan sebelum bangunan-bangunan molek raksasa itu berdiri. Di sinilah sang penakluk Amir Timur (dikenal juga sebagai Timurleng, Timur si Pincang), memulai kerajaannya yang menguasai wilayah dari padang rumput Asia Tengah hingga ke negeri India di timur dan Turki di barat. Di sinilah sang raja besar mendirikan gedung-gedung raksasa yang merupakan mahakarya yang tiada duanya. Di sini pulalah peradaban Islam pernah mencapai puncaknya.
Tiga bangunan raksasa diselimuti mozaik warna-warni yang menyembunyikan nama-nama agung Tuhan dan Nabi, berdiri gagah mengelilingi lapangan besar Registan. Pada abad pertengahan, lapangan Registan adalah bazaar utama kota Samarkand, di mana pujangga besar Islam, Umar Khayyam, pernah menginjakkan kakinya. Ketiga bangunan raksasa itu adalah madrasah, sekolah-sekolah agama yang membawa Islam mencapai puncak peradaban dan ilmu pengetahuan.
Madrasah Ulughbek di sebelah timur, diselesaikan pada tahun 1420 oleh Ulughbek, cucu sang raja Timur. Konon Ulughbek pernah menjadi profesor matematika di madrasah ini. Selain itu, bangunan dengan pintu gerbang setinggi 35 meter ini juga pernah menjadi pusat pendidikan ilmu bintang, agama, dan filsafat. Berhadapan dengan Madrasah Ulughbek adalah madrasah Shir Dor, yang dalam bahasa Tajik berarti ‘Ada Singa’. Dinamai demikian karena pada gerbang masuknya yang didominasi mosaik hijau dan biru sejuk, dihiasi oleh sepasang singa yang ditunggangi oleh matahari berwajah manusia. Dekorasi yang menggambarkan makhluk hidup pada arsitektur Islami sangatlah unik, karena penggambaran hewan dan manusia tidak dianjurkan dalam agama Islam.
Dari ketiga bangunan super besar ini, Madrasah Tilla-Kari (secara harafiah berarti ‘bersepuh emas’) adalah yang paling muda sekaligus yang paling mengundang decak kagum. Bagaimana tidak, gedung tua yang selesai pembangunannya pada pertengahan abad 17 ini memilik sebuah mesjid yang mihrab dan langit-langitnya berlapiskan emas murni. Tentu saja setelah berabad-abad berlalu, emas yang melapisi kaligrafi-kaligrafi di dinding itu sudah tidak sebanding dengan aslinya empat abad yang lalu.
Walaupun ketiga gedung raksasa ini kini sudah beralih fungsi menjadi museum, Anda masih bisa merasakan khasanah peradaban Persia masa lalu yang sangat kental. Penduduk Samarkand, berbeda dengan penduduk Uzbekistan pada umumnya, menggunakan bahasa Tajik yang sangat dekat dengan bahasa Persia-nya Iran dalam kehidupan sehari-hari. Di bangsal-bangsal gedung-gedung tua ini yang kini ditempati toko-toko yang menjual cindera mata, Anda masih bisa menyaksikan bagaiamana karpet Persia ditenun oleh tiga, empat orang gadis yang bekerja bersama-sama terus-menerus selama satu bulan. Menjelang senja, di pelataran madrasah Sher Dor, para pemusik tradisional mulai menggesekkan kecapi dan memukul genderang, gadis-gadis menari, dan laki-laki menyanyi. Orkestra tradisional berbahasa Tajik ini mengisahkan seorang pria jelata yang mencintai puteri raja beserta segala perjuangannya mendapatkan cinta sang puteri. Hanya dengan enam dolar saja Anda boleh duduk bersantai di balai-balai sekeliling panggung kecil, sambil menyeruput teh hijau dan melemparkan diri Anda ke dunia seribu satu malam. Adakah pengalaman yang lebih dahsyat daripada menyaksikan gadis-gadis Uzbek dengan rambut berkepang panjang menari lincah serta laki-laki gagah menyemburkan api, dikelilingi sendunya bangunan-bangunan kuno dari zaman Jalan Sutra?
Registan juga tempat bagi yang ingin membawa kenang-kenangan dari negeri Uzbek. Mulai dari patung kakek tua Nasruddin di atas keledai kerdilnya, topi-topi sulaman dari negeri Tajik, hingga karpet-karpet unik yang didatangkan dari Turkmenistan, semuanya bisa didapatkan di sini. Ruang-ruang kelas madrasah kini telah berubah fungsi menjadi toko suvenir dan ruang pameran kerajinan Tajik. Jangan lupa untuk selalu menawar harga di sini. Walaupun sangat susah berkomunikasi di Uzbekistan yang penduduknya hanya mengenal bahasa Uzbek, Rusia, dan Tajik, namun para pedagang di tempat wisata seperti Registan umumnya fasih berbahasa Inggris dan bahkan Jepang.
Hanya dengan berjalan kaki dari Registan, Anda akan terkesima oleh sebuah bangunan lain yang tak kalah agungnya. Masjid Bibi Khanym semestinya adalah bangunan termegah yang dibangun pada masa pemerintahan Amir Timur. Alkisah, Bibi Khanym adalah istri Amir Timur yang diboyong dari negeri Cina. Bibi Khanym memerintahkan seorang arsitek untuk membangun sebuah masjid raksasa sebagai hadiah bagi sang raja. Rupanya arsitek tersebut jatuh hati pada kecantikan sang permaisuri. Dia mengancam tak akan menyelesaikan pembangunan masjid ini jika permaisuri tidak mau dicium. Timur yang kemudian mengetahui kejadian ini segera memenggal arsitek itu dan sejak saat itu menitahkan seluruh perempuan untuk mengenakan cadar.
Masjid raksasa ini, dibangun melebihi teknologi arsitektur pada zaman itu. Akibatnya, gedung ini tak mampu menahan berat badannya sendiri. Bayangkan, pintu gerbangnya saja setinggi 35 m. Dalam hitungan tahun, masjid ini pun runtuh. Sekitar seabad yang lalu, gempa besar di Asia Tengah cukup meluluhlantakkan permata sejarah ini. Namun walaupun tinggal reruntuhan, Anda pasti masih akan berdecak kagum melihat gerbang dan kubah-kubahnya yang sangat elok.
Tak hanya sekolah dan masjid yang dibangun dengan megah, pemakaman pun dibalut dengan ukiran dan mosaik yang memiliki cita rasa seni sangat tinggi. Sebuah kota kuburan, terdiri dari barisan gedung-gedung kuno sepanjang jalan, tempat bersemayamnya orang-orang suci, kini menjadi tempat berziarah penduduk lokal. Shah-i-Zindah, yang artinya adalah Raja Hidup, adalah sebutan kompleks mausoleum ini. Konon yang disebut sebagai sang Raja Hidup adalah Qusam bin Abbas, yang makamnya terletak di ujung jalan sekaligus menjadi tempat paling suci di sini. Qusam adalah sepupu Nabi Muhammad yang konon membawa ajaran agama Islam ke negeri ini.
Samarkand dengan segala permata arsitekturnya yang berkilauan, tentu tidak cukup ditengok hanya dalam waktu satu hari. Paling tidak jika Anda ingin mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sini, termasuk kuburan Amir Timur dan Nabi Daniyor, paling tidak Anda harus menyisihkan waktu tiga hari di Samarkand saja. Mengapa Samarkand begitu indah? Bagaimana tidak, Amir Timur sang penghancur yang ganas itu, ternyata juga pecinta seni yang demikian agungnya. Para pematung, perajin batu dan pualam didatangkan dari negeri-negeri taklukan seperti Azerbaijan, Esfahan, dan Delhi. Perajin mosaik didatangkan dari Shiraz. Penenun, perajin gelas dan guci dari Damacus. Para artis ini sebegitu banyaknya sehingga kota Samarkand pada masa itu sampai-sampai penuh sesak oleh seniman.
Bagi saya, berdiri di hadapan bangunan-bangunan raksasa Samarkand seperti melemparkan diri ke masa keemasan jalur sutera. Saya bayangkan suasana menyusuri hiruk pikuknya bazaar kuno Asia Tengah. Tiba-tiba saya bisa menghidupkan imajinasi akan sebuah masa di mana permadani berterbangan di angkasa dan iring-iringan saudagar melintasi gurun dengan kawanan unta, mengerumuni oasis segar di tengah padang pasir. Nama Samarkand kini tak lagi bersembunyi di alam mimpi, tapi mewujud dalam bangunan-bangunan megah yang memancar cahaya lazuardi.
Profil Kontributor
AGUSTINUS WIBOWO
Lulus dari Jurusan Komputer Universitas Xinghua, Beijing, tidak membuat Agustinus tertarik menekuni bisnis komputer. Mengikuti panggilan hati, ia awali perjalanannya pada Juli 2005, menjelajah hampir selusin negara di Asia, terutama yang hanya iakrabi orang sebagai headline surat kabar, seperti Kazakhstan, Kyrgyzstan, Iran, dan Turkmenistan. Kini ia menjadi senior fotografer di kantor berita Pajhwok Afghan, Afghanistan. Ini salah satu cara menabung untuk melanjutkan perjalanan sekaligus mengabarkan kesulitan negara itu pada dunia. Semua pengalaman ia dokumentasikan di website www.avgustin.net. Satu cuplikan perjalanannya ada di Travel dewi kali ini.
Tokoh yang paling dikagumi: Marco Polo. “Dari dia saya terinspirasi mengelilingi dunia, terutama tempat-tempat yang tidak populer.”
Impian Terbesar: Mengunjungi negara-negara yang “ada dan tiada” seperti Nagorno Karabakh, Abhkazia, dan Ossetia.
Leave a comment