Garis Batas 29: Susahnya Jadi Guru
Sekolah Dasar dan Menengah Birimkulov adalah tempat Satina Eje mengajar bahasa Inggris. Walaupun terletak di desa kecil, Satina sangat bangga bahwa sekolah ini tidak kalah kualitasnya dengan sekolah-sekolah di kota besar seperti Bishkek dan Jalalabad.
Satina, yang nama aslinya Manapova Satkinbu, membawa saya ke ruang kelas tempat saya mengajar. Murid-muridnya keleleran karena Satina terlambat datang. Melihat guru mereka datang, murid-murid yang bermain di halaman dalam hitungan detik langsung masuk ke ruangan kelas, duduk manis, seperti domba-domba tanpa dosa. Satina duduk di bangku guru, dengan kaca matanya yang berukuran super besar, mulai mengabsen murid-muridnya.
Satina mengajar, mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Inggris. Murid-muridnya diam saja. Satina menerjemahkan pertanyaan dalam bahasa Kirghiz, baru ada satu dua murid yang mengacungkan tangan. Satina mengeluh kepada saya yang duduk di barisan belakang, “My students are too much stupid.” Keras sekali. Baru pertama kali ini saya mendengar guru yang mengeluhkan kebodohan murid-muridnya sendiri tanpa tedeng aling-aling. Murid-murid tak bereaksi. Mungkin tak mengerti, mungkin tak berani.
Murid-murid Satina memang sangat pasif, seperti yang dikeluhkan Satina. Dia kebagian kelas mengajar siswa yang kurang mampu. Setiap kelas dibagi menjadi dua grup. Grup A, siswa-siswa yang dianggap pandai, ikut kelas yang dibimbing Anna, seorang sukarelawan Peace Corps dari Amerika yang baru datang. Sisanya masuk kelas Satina.
Ketika saya bertandang ke kelas Anna, saya langsung diberondong pertanyaan oleh murid-murid kelas 4 itu.
“How many brothers and sisters do you have?”
“How many cars do you have?”
“How many apples do you eat everyday?“
Anna tergelak melihat kebingungan saya.
“Jangan kuatir, anak-anak hari ini baru belajar ‘how many‘.” Murid-murid Anna memang cepat sekali menangkap apa yang baru dipelajari.
Kyrgyzstan memang bukan negara kaya. Tetapi saya sangat mengagumi kualitas sekolah di desa ini. Gedungnya sangat kokoh, berlantai dua. Ada perpustakaan dengan koleksi buku-buku bahasa Inggris. Ada museum sekolah, menampilkan pahlawan-pahlawan Kyrgyz dan lambang-lambang nasional. Ada ruang olah raga dan gymnasium. Kantin dan toiletnya pun bersih sekali. Ruang-ruang kelas dibagi berdasar mata pelajaran. Ada ruang bahasa Inggris, ruang matematika, ruang geografi, dan sebagainya. Kalau di Indonesia, anak-anak SD cukup duduk manis di satu ruangan sepanjang hari dan guru datang silih berganti, di sini Ibu Guru Satina Eje cukup duduk manis dari pagi sampai siang, dan murid-murid yang datang silih berganti.
Sekolah Birimkulov memang bukan sekolah sembarangan di Toktogul. Selain sukarelawan pengajar dari Amerika Serikat, perpustakaan sekolah ini pun penuh dengan buku-buku dari luar negeri. Buku pelajaran yang digunakan Satina juga dari Amerika, judulnya WOW – Window of the World. Anak-anak di sini memang beruntung, sudah mengenal dunia luar sejak usia sedini ini.
Sekolah ini dulunya dibantu oleh Soros Fondation, yang mendatangkan buku-buku bermutu dari luar negeri. Tetapi sejak Peace Corps menawarkan jasa sukarelawan pengajar Bahasa Inggris, Soros Fondation mengurangi dana sumbangannya.
“Sayang sekali, Anna tahun depan sudah balik ke negaranya, dan tidak ada sukarelawan lagi yang mengajar lagi di sini,” kata Satina, “saya berharap tahun berikutnya akan ada lagi orang Amerika yang mau mengajar ke Toktogul.”
Pertama kali saya merasakan susahnya jadi guru. Dari pagi bersama Satina, menghadapi murid-murid yang hanya duduk diam tanpa suara, sementara kita harus berceloteh sendiri tanpa direspon, memang susah. Satina, yang sudah puluhan tahun menjadi guru, sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kata-kata saktinya, “My students are too much stupid” selalu terngiang-ngiang di benak saya.
Anak-anak dari kelas dua, walaupun masih belum bisa bicara dalam Bahasa Inggris, jauh lebih aktif. Satina membantu menerjemahkan.
“Berapa saudara yang kamu punya?” tanya seorang bocah.
“Hanya satu,” jawab saya.
Seluruh kelas tersontak.
“Mengapa sedikit sekali?”
Di Kyrgyzstan, apalagi di desa seperti ini, rata-rata keluarga memang punya banyak anak. Negeri ini berpenduduk hanya sekitar lima juta jiwa, bahkan tidak sampai separuhnya penduduk Jakarta. Di sini, satu keluarga dengan tujuh hingga dua belas anak sekali pun adalah hal yang biasa.
Bocah-bocah mungil Kirghiz ini menggeleng-geleng kepala, kemudian tanpa henti mengasihani orang-orang Indonesia yang sudah diprogram untuk punya dua anak saja.
“Kasihan sekali kaum ibu di Indonesia. Tidak ada anak-anak yang membantu mencuci piring,” kata seorang gadis mungil dengan pita rambut merah muda seperti telinga kelinci menjulang di atas kepalanya.
“Bapak-bapak di sana pasti sedih sekali, karena kalau anaknya pergi sekolah, tidak ada anak yang membantunya merawat ternak,” kata bocah lain yang memakai jas hitam.
“Iya. Kalau anaknya sakit, jadi tidak ada yang membantu ibu di rumah,” sambung yang lain.
Saya terhenyak. Bocah-bocah sekecil ini sudah menunjukkan sikap kasih sayang yang luar biasa terhadap orang tua. Dari belasan alasan yang dikemukakan bocah-bocah mungil ini, semuanya bertema ‘kasihan ayahnya’, ‘kasihan ibunya’. Mereka tidak bicara tentang acara TV, atau game Playstation terbaru, atau tentang uang jajan. Padahal mereka tidak diajari dengan rentetan kurikulum pelajaran moral.
Sekali lagi saya menyusuri koridor gedung sekolah ini. Foto-foto siswa berprestasi dipajang sepanjang dinding. Semua foto ini tampak sama. Yang laki-laki berjas hitam, kepala tegak menghadap kamera, bibir terkatup. Yang perempuan memakai pita merah muda melambung tinggi dari ujung kepala. Nama-nama bocah-bocah yang lahir setelah Kyrgyzstan merdeka sudah tidak bergaya Rusia lagi, tak lagi berakhiran ov atau ova. Tetapi yang paling berkesan adalah foto bocah-bocah yang berteriak gembira di depan pintu gerbang.
“Foto ini terpilih menjadi foto terbaik dari seluruh sekolah di Kyrgyzstan,” kata Satina bangga.
Jadi guru memang susah. Jam 2 siang, kerongkongan saya sudah hampir putus rasanya. Padahal saya tidak bicara sebanyak Satina. Sesampainya di rumah saya sudah lemas dan langsung tertidur lelap. Satina masih masak, menyiapkan makan malam, memutar telepon dan mengobrol ngalor ngidul dengan tetangga. Itu memang telepon tua yang masih berbunyi gedek-gedek kalau diputar.
Malamnya, giliran saya yang jadi murid Satina, belajar bahasa Rusia dan Kirghiz. Satina dengan sabar mengajari saya, walaupun kadang-kadang masih sering bilang bahasa Rusia saya jelek sekali. Satina malah ingin belajar membaca huruf Arab dari saya. Sekarang di kamar rumahnya ada beberapa hiasan dinding. Satu bertulis Allah, satu bertulis Muhammad, dan satunya lagi Bismillahirrahmanirrahim.
Seperti sebagian besar orang Kirghiz, Satina juga Muslim. Tetapi dia tidak tahu bacaan tulisan-tulisan Arab yang menghiasi dinding rumahnya.
“Ah, saya ingin sekali bisa mengerti artinya,” keluh Satina, “tetapi bahasa Arab kelihatannya susah sekali ya.”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 15 April 2008
Iya. Anak saya aja kalo disuruh susah banget. Boro2 bantu2. Disuruh makan aja yg tinggal ngambil dimeja gak mau mintanya jajan ama beli kuota teruss. Hadehhh
.
Kak Gus Weng, adakah buku belajar bahasa Farsi, Rusia, Kazakh, dan Mandarin ? Saya nak belajar kok
He he he…kita yg kasihan sama mereka kok malah balas kasihan sama orang Indonesia..he he he