Recommended

Garis Batas 2: Selamat Datang di Tajikistan

Perempuan Tajikistan di dalam bus, bebas bercampur dengan penumpang pria. Sebuah kontras dibandingkan Afghanistan di seberang sungai yang sangat konservatif (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan Tajikistan di dalam bus, bebas bercampur dengan penumpang pria. Sebuah kontras dibandingkan Afghanistan di seberang sungai yang sangat konservatif (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota terakhir Afghanistan adalah Shir Khan Bandar, di tepian sungai lebar bernama Amu Darya. Sungai ini ditetapkan sebagai batas antara Afghanistan dengan Kekaisaran Rusia pada akhir abad ke-19. Sekarang menjadi batas negara Afghanistan dengan Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.

Bandar dalam bahasa Persia artinya pelabuhan. Tetapi jangan bayangkan Shir Khan Bandar sebagai kota pelabuhan yang sibuk dengan berbagai macam aktivitas perdagangan. Yang ada hanya gedung-gedung bolong seperti rumah hantu. Gedung itu ternyata asrama tentara perbatasan Afghanistan. Debu menyelimuti jalanan. Ada barisan reruntuhan sejumlah rumah di tengah padang pasir luas. Ada sekolah yang tak berdaun pintu, tak berkaca jendela, dan tak beratap. Anak-anak belajar dengan bersila di atas lantai dingin. Di Afghanistan dunia adalah milik laki-laki. Sama sekali tak nampak perempuan di jalan, kecuali dua sosok tubuh dibalut burqa biru, dari ujung mata sampai ujung kaki.

Saya menghela napas lega. Di seberang sana Tajikistan sudah tampak di pelupuk mata. Di tengah bulan Ramadan ini, keamanan di Kabul justru semakin gawat. Bulan Ramadan malah jadi musim bom, karena Taliban mendorong pengikutnya untuk ‘berjihad’ di bulan suci. Pernah suatu kali bom meledak tak lebih dari lima puluh meter dari tempat saya berdiri, di depan kantor kementrian dalam negeri. Yang tewas bukan hanya pegawai kementrian, tetapi juga perempuan dan anak-anak.

Kengerian perang Afghanistan benar-benar terlupakan di Shir Khan Bandar yang sepi ini. Tak ada orang lalu lalang. Tak ada toko dan pasar. Yang jelas, tak ada bom. Untuk apa meledakkan tempat yang memang sudah rusak dan terlupakan seperti ini? Tak ada warung makanan yang buka. Saya tidak wajib berpuasa, apalagi sebagai musafir. Afghanistan adalah negara yang sangat konservatif, tetapi bukan berarti tidak bersahabat. Mehman navaz, atau memberikan yang terbaik bagi tamu, adalah adat Afghan yang selalu dibangga-banggakan. Pemilik penginapan mengajak saya berbuka puasa bersama. Palao, nasi lemak dengan irisan daging, menjadi santapan terakhir saya di Afghanistan.

“Jangan kuatir. Di Tajikistan sana, kamu masih bisa makan palao,” kata si pemilik penginapan, seakan membaca pikiran saya.

Keesokan paginya, saya berjalan kaki ke kantor imigrasi Afghan. Tas bawaan saya hanya dilirik sekilas, paspor saya dicap, dan saya dipersilahkan menuju ke bandar, pelabuhan. Sebenarnya ada jembatan yang menghubungkan Shir Khan Bandar dengan Tajikistan, dibangun oleh Amerika Serikat, tetapi masih belum diresmikan. Sekarang yang mau ke Tajikistan harus naik kapal. Karcisnya 10 dolar, hanya untuk menyeberang sungai ini. Bisnis internasional yang lumayan juga.

Beberapa orang mahasiswa Afghan yang baru saja mendapat beasiswa di Kyrgyzstan, juga ikut menyeberang ke Tajikistan.

“Di Afghanistan tidak ada kedutaan Kyrgyzstan, jadi kita harus ke Tajikistan dulu untuk bikin visa,” kata Muhammad, 20, pemuda etnis Uzbek dari kota Mazar Sharif.

Mereka adalah sekelompok pemuda berjenggot lebat yang kemarin malam saya lihat datang ke penginapan dengan memakai jubah panjang-panjang dan peci kecil khas Afghan. Sekarang kedelapan pemuda ini sudah disulap menjadi pria-pria klimis dengan dasi dan jas mahal.

“Ke mana jubah-jubah yang kemarin?” tanya saya.

“Kata bapak kalau mau ke Tajikistan harus pakai baju seperti ini. Orang sana tak suka melihat orang Afghan pakai jubah,” kata pemuda itu polos.

Mesin kapal bergetar dahsyat. Kapal kecil ini perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan Afghanistan, menuju negeri Tajikistan di seberang sana. Sekarang kami berada di tengah-tengah sungai coklat yang mengalir deras ini. Nama Amu Darya memang sudah terikat bersama-sama dengan peradaban Asia Tengah, bahkan sejak zamannya Iskandar yang Agung berabad-abad sebelum Masehi. Sekarang, sungai ini menjadi pemisah negeri-negeri di sini, dan menjadi penentu takdir bagi manusia yang terletak di sisi-sisi yang berbeda.

Saya begitu takjub melihat petugas imigrasi wanita di Tajikistan. Gadis ini hidungnya mancung, matanya besar, dan rambut pirangnya tergerai bebas. Suaranya melengking tegas. Saya sudah tiba di sebuah dunia yang sama sekali berbeda dengan Afghanistan di seberang sungai sana. Tengok saja pakaian gadis ini. Seragam lengan pendek dengan rok setinggi dengkul. Sedangkan di seberang sana, perempuan Afghan harus membungkus dirinya rapat-rapat dengan burqa biru dan putih, hingga mata pun tak terlihat, itu pun dikurung di dalam rumah pagi siang malam.

“Di Tajikistan, tak ada burqa. Perempuan hidup bebas,” kata petugas itu tersenyum, sambil memeriksa dengan teliti semua barang bawaan saya.

Datang dari Afghanistan, otomatis masuk daftar orang yang dicurigai. Afghanistan, tak salah lagi, adalah penghasil candu nomer satu di dunia. Semua barang, mulai dari tas, buku-buku, sampai baju yang paling dalam, semua digeledah. Kemudian dicocokkan satu per satu dengan daftar isian deklarasi yang saya serahkan. Untuk checking ini itu, saya masih harus bayar lima dolar kalau mau mendapat stempel. Itu pun setelah tawar-menawar dari sepuluh dolar. Tidak ada tanda terima pula.

Korupsi di negara-negara Asia Tengah begitu tersohornya, yang membuat saya tiba-tiba teringat negara saya sendiri.

Taksi sudah menunggu di luar pos perbatasan, siap mengantar ke Dushanbe, ibu kota Tajikistan. Saya berbagi ongkos taksi dengan beberapa mahasiswa Afghan itu. Sepuluh dolar per orang. Mahal juga.

“Brat, sekarang semua mahal. Satu liter bensin tiga Somoni,” kata supir taksi dalam bahasa Rusia. Ini adalah percakapan yang kemudian akan menjadi keseharian saya di negeri ini. Harga bensin selalu disebut-sebut setiap saat.

Tajikistan adalah kejutan setelah Afghanistan. Saya seperti dilempar oleh mesin waktu ke sebuah zaman modern. Jalan beraspal berkelok-kelok naik turun perbukitan. Pria-pria berkemeja dan bercelana hitam mengenakan topi yang juga berwarna hitam, mirip topinya orang Uzbek. Tak ada jubah gombor macam di Afghanistan. Wanita-wanita desa juga mewarnai jalan. Semuanya berdaster warna-warni, kepalanya dibalut kerpus dan kerudung. Tak ada burqa yang membuat semua wanita jadi invisible seperti di Afghan sana. Tak ada pula cador hitam yang hanya menyisakan sepasang mata bersorot tajam. Gadis-gadis desa malah banyak yang memakai celana jeans ketat.

Seorang nenek tua duduk di atas kereta keledai, tersenyum sambil melambai-lambai ke arah mobil yang kami tumpangi.

“Di Afghanistan perempuan tidak boleh tertawa kan?” kata supir taksi setengah mengejek kepada para mahasiswa Afghan yang disambung dengan cekikikan.

“Gadis Tajikistan memang cantik-cantik,” cetus salah seorang penumpang Afghan dari belakang. Supir taksi menyambung dengan mendendangkan lagu-lagu Rusia dan Tajik.

Jalan berkelok-kelok naik turun. Tajikistan memang negara pegunungan. Slogan-slogan berhuruf Rusia bertebaran di mana-mana. Bahasa Tajik masih saudara dekat dengan bahasa Dari dan bahasa Persia, bahasa nasional di Afghanistan dan Iran. Saya perlahan-lahan mengeja huruf-huruf Rusia itu, dan tiba-tiba kata-kata yang sudah akrab muncul di benak saya. “Rohi Safed”, berarti Selamat Jalan, tertulis di sudut-sudut jalan. “Xus Amaded”, Selamat Datang. “Ob barai Hayot”, air untuk kehidupan, demikian pesan Pak Presiden Imomali. Setelah empat jam perjalanan, saya sampai di Dushanbe.

Saya sudah tiba di dunia lain dari seberang sungai.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 Maret 2008

3 Comments on Garis Batas 2: Selamat Datang di Tajikistan

  1. Punya temen dari tajikistan. Akhirnya tau juga tentang tajikistan. Makasih min

  2. wah mau ke tajikistan ni Gus… kapan ke sana lagi??

Leave a comment

Your email address will not be published.


*