Garis Batas 40: Kazakhstan Memanggil
Negeri luas ini sedang bergelimang kemakmuran. Penghasilan luar biasa dari produksi minyak ratusan ribu barel per hari membuat apa yang dulu tak mungkin sekarang menjadi mungkin. Sebuah ibu kota baru dibangun di tengah padang kosong. Ribuan orang asing berdatangan, mencoba mencicipi kue yang ditawarkan Kazakhstan.
Saya termasuk dalam ratusan orang yang berdesak-desakan masuk ke gerbong kereta api di stasiun Almaty II sore itu, ketika langit biru bersih akhirnya menghiasi angkasa setelah hampir seminggu kota ini dirundung mendung dan siraman salju. Tujuan saya adalah Astana, ibu kota baru Kazakhstan, sebuah kemewahan yang dibangun di tengah padang kosong.
Perjalanan selama 20 jam dari Almaty menyajikan pemandangan yang membosankan. Yang tampak dari jendela hanyalah tanah datar, padang rumput yang membentang tanpa batas. Di musim dingin ini, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya warna putih dan kelabu. Padang luas itu berubah menjadi lapisan salju tebal. Cerahnya Almaty kemarin telah berubah menjadi mendung yang muram hari ini.
Saya duduk satu kompartemen dengan dua orang pria dari China dan seorang wanita Kazakh. Kedua pria China ini etnis Mongolia, dan salah satunya malah sudah punya paspor Kazakhstan.
“Sekarang bikin paspor Kazakhstan sangat mudah,” kata Ye Shunde, pria 40 tahunan berperut sangat besar itu.
“Hanya dengan kawin dengan wanita Kazakh kamu sudah bisa dapat kewarganegaraan,” jelasnya.
Walaupun Ye sangat menyederhanakan prosedur imigrasi Kazakhstan, tetapi memang benar pemerintah Kazakhstan sedang membuka pintu lebar-lebar kepada warga negara baru. Negeri ini yang luasnya hampir setengah kali lebih luas daripada Indonesia, dengan pertambahan penduduk yang terkadang minus, dihuni sekitar 16 juta jiwa saja. Bayangkan Jakarta yang penduduknya 10 juta lebih. Betapa kosongnya seluruh dataran negeri itu. Presiden Nazarbayev dari tahun ke tahun menaikkan kuota untuk orang Kazakh yang tinggal di luar Kazakhstan, untuk kembali ke kampung halaman.
Panggilan untuk repatriasi segera disambut dengan antusias. Kazakhstan adalah negeri kaya yang dikelilingi negara-negara miskin. Dalam sekejap, ratusan ribu etnis Kazakh berbondong-bondong masuk dari China, Uzbekistan, dan Mongolia. Saat ini, masih sekitar 1,7 juta etnis Kazakh tinggal di China dan 1,5 juta di Uzbekistan. Namun tak sedikit pula dari oralman, para pendatang Kazakh yang pulang ke kampung halaman ini, datang tanpa kualifikasi apa pun. Bukannya mendukung perkembangan negara, mereka malah menjadi beban di kota-kota besar yang sudah padat dan mahal.
Pemerintah Kazakhstan memang menjanjikan kemudahan naturalisasi. Yang berpendidikan tinggi malah mendapat fasilitas akomodasi dan bantuan keuangan. Semuanya ini untuk menambah jumlah penduduk di negara yang luas tapi kosong. Etnis Kazakh yang ketika Kazakhstan baru merdeka adalah minoritas di negaranya sendiri, sekarang setelah hampir 15 tahun merdeka, sudah mendekati 60% dari total populasi.
Tentu saja bukan hanya etnis Kazakh yang datang. Dari propinsi Xinjiang di China sana ikut mengalir pula orang Uyghur, Mongol, Dungan, dan Han, semuanya tergiur iming-iming harta yang melimpah di negeri kaya. Bagi pendatang non-Kazakh ini, cara termudah untuk mendapatkan kewarganegaraan adalah dengan menikahi penduduk Kazakhstan.
Kazakhstan memang sedang berbagi kemakmuran, yang nampaknya sudah mulai menjamin masa depan para penduduknya. Apa lagi yang tak mungkin bagi negeri kaya ini? Angka GDP per capita melonjak dari 100 dolar saja menjadi sekitar 6.000 dolar dalam hitungan belasan tahun. Bahkan mimpi-mimpi masa lalu, yang dulunya tidak pernah berani dibayangkan, sekarang bisa menjadi kenyataan. Salah satunya adalah membangun sebuah kota baru yang megah di tengah ganasnya padang gembala. Kota itu adalah Astana.
Astana, dalam bahasa Kazakh artinya ‘ibu kota’, menggantikan Almaty sebagai ibu kota negara sejak 1997. Keputusan presiden yang sangat kontroversial, memindahkan pusat pemerintahan dari Almaty yang modern ke Astana yang terpencil di tengah jantung padang luas Kazakhstan. Siapa yang mau memindahkan ibu kota ke tempat di mana angin dingin menerpa dahsyat di musim salju dan matahari memanggang ganas di musim panas? Astana adalah ibu kota terdingin kedua di dunia (setelah Ulaanbaatar di Mongolia) dengan suhu terendah -40 derajad Celcius. Apalagi Astana begitu jauh dari Almaty, mantan ibu kota yang sejuk dan modern di bawah puncak-puncak salju Pegunungan Tien Shan.
Jika kita menengok peta Asia Tengah, Astana terletak tepat di tengah-tengah Kazakhstan, sedangkan Almaty jauh di selatan, berbatasan langsung dengan Kyrgyzstan dan hanya beberapa jengkal dari China. Visi Presiden Nursultan Nazarbayev adalah menjadikan Astana sebagai wajah baru negeri modern Kazakhstan, dengan posisi geopolitik yang sempurna. Pemindahan ibu kota ke Astana juga untuk merangkul etnis Rusia yang banyak mendiami kota-kota utara Kazakhstan.
Seperti memindahkan Jakarta ke tengah pedalaman hutan Kalimantan, Astana merupakan kejutan di akhir abad ke-20. Kazakhstan terkenal suka berpindah-pindah ibu kota. Dari Orenburg (sekarang wilayah Rusia) ke Kyzyl Orda, kemudian dari Almaty ke Akmola (kemudian berganti nama menjadi Astana), semuanya hanya dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun. Bahkan nama negara ini pun berganti-ganti dari Kazakhstan menjadi Kazakstan, kemudian balik lagi jadi Kazakhstan. Pembuat peta dunia pasti pusing dibuatnya.
Tetapi Nazarbayev berjanji, “Astana, jantung negara, sekarang dan selamanya!” Kazakhstan yang baru, bangsa yang baru, dan ibu kota yang baru, semua dimulai dari sini. Jutaan dolar dihabiskan untuk membangun kota kecil Akmola menjadi kota modern Astana. Dikabarkan, dana pembangunan infrastruktur bagi kota baru Astana adalah 2 milyar dolar per tahun atau kira-kira Rp 18 triliun lebih.
Apa yang tidak mungkin bagi Kazakhstan, yang memproyeksikan dirinya masuk ke dalam jajaran 50 negara terkaya dunia pada tahun 2030 nanti?
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 April 2008
Tahun 2030 Indonesia diramalkan jadi negara yg gagal…